Tapi penurunan ekonomis pada industri musik Indonesia tidak berpengaruh terhadap "musik" sebagai sebuah kesenian dan ekspresi budaya. Kita lihat beberapa band yang dikategorikan indie atau di luar industri musik besar, berkibar dengan konser-konser mereka yang laris bahkan sampai ke mancanegara. Contoh: GBS (Gugun & The Blues Shelter) yang mengharumkan nama Indonesia hingga ke Amerika dan Eropa dengan tour-tour mereka kesana, Cupumanik yang tampil di Kanada, Discus yang merajai festival musik progresif di Amerika Latin dan Eropa, LLW yang menggelar konser di Singapura, dan baru-baru ini Indro Harjodikoro & The Fingers yang melanglang buana tampil di Rusia, juga masih banyak lagi. Banyak band-band indie yang juga merajai pentas-pentas di sekolahan dan kampus.
Melihat kenyataan itu, sepertinya ada kesenjangan antara industri musik besar (major label) Indonesia dengan musik yang sukses di panggung-panggung. Fokus industri musik kelihatannya hanya di TV dan beberapa radio. Lihat saja band atau musisi yang saya sebutkan di paragraf sebelumnya itu sangat jarang sekali anda tonton di acara musik pagi hari di beberapa TV, padahal mereka sukses mengharumkan nama Indonesia. Kepentingan apa yang ada di balik kesenjangan ini? Saya mencoba berangan-angan seandainya 2 kekuatan ini yaitu kesuksesan panggung (pada band atau musisi di luar industri musik) dan industri musik (dengan kekuatan modal kapitalisnya) disatukan. Maka tidak akan ada lagi musisi karbitan dengan musikalitas dan komposisi seadanya, musik Indonesia akan makin berkualitas. Nanti yang akan anda lihat di TV hanya band atau musisi dengan kualitas musik yang mumpuni karena teruji di panggung-panggung musik secara live. Dengan demikian otomatis pendapatan industri musik juga akan terangkat. Penikmat musik pasti akan rela membeli CD/kaset dari musisi atau band yang bermutu dan mereka gemari. Tahun 2012 waktu yang tepat untuk Revolusi Industri Musik Indonesia.