Layaknya negara berkembang Asia lainnya, pembangunan ekonomi terutama infrastruktur di Indonesia sangat bergantung terhadap pinjaman luar negeri. Dengan rendahnya suku bunga pinjaman saat itu, Indonesia, khususnya sektor swasta berbondong-bondong melakukan pinjaman ke luar negeri yang menyebabkan meledaknya angka utang luar negeri swasta. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir malah sedikit berkurang. Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 63 hingga US$ 64 milyar, sementara utang pemerintah US$ 53,5 milyar. Permasalahannya terjadi ketika utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah jatuh tempo, namun tidak tersedia cukup devisa untuk membayar utang dan bunganya. Akibatnya, nilai tukar rupiah mendapat tekanan yang sangat berat.
Pinjaman luar negeri dan dana masyarakat yang masuk ke sistem perbankan sering kali dikelola dengan tidak hati-hati. Banyak dari dana ini disalurkan ke proyek-proyek pembangunan real estat dan kondominium yang berlebihan, melebihi daya beli masyarakat, sehingga akhirnya macet dan tidak kembali. Sebagian besar pinjaman luar negeri yang dilakukan oleh sistem perbankan disalurkan ke sektor investasi yang tidak menghasilkan devisa, seperti pembangunan hotel, resor pariwisata, taman hiburan, taman industri, pusat perbelanjaan, dan real estate . Proyek-proyek besar ini umumnya tidak menghasilkan barang ekspor dan bergantung pada pasar domestik, sehingga hanya sedikit devisa yang dapat diandalkan untuk membayar kembali utang luar negeri.
Krisis di Thailand dan Korea Selatan juga berperan secara tidak langsung terhadap krisis di Indonesia. Krisis Keuangan Asia dimulai pada 2 Juli 1997 ketika pemerintah Thailand, yang saat itu memiliki utang luar negeri besar, memutuskan untuk mengambangkan mata uang baht setelah serangan spekulan mata uang terhadap cadangan devisa negara tersebut. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan ekspor, namun strategi ini gagal. Akibatnya, krisis ini dengan cepat menyebar ke negara-negara Asia lainnya karena investor asing, yang telah berinvestasi di negara-negara yang dikenal sebagai 'Keajaiban Ekonomi Asia' selama satu dekade sebelum 1997, kehilangan kepercayaan di pasar Asia dan segera menjual mata uang dan aset Asia mereka.
Krisis kepercayaan dan kepanikan menyebabkan masyarakat luas berbondong-bondong membeli dolar AS untuk melindungi nilai kekayaan mereka dan bahkan mendapatkan keuntungan dari penurunan nilai tukar rupiah. Fenomena ini menciptakan efek bola salju, di mana permintaan terhadap dolar AS semakin meningkat. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi maupun etnis Tionghoa, telah bersiap-siap sejak tahun sebelumnya untuk menyelamatkan kekayaan mereka ke luar negeri sebagai antisipasi terhadap ketidakstabilan politik dalam negeri. Dari awal Desember 1997 hingga awal Mei 1998, terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidakstabilan politik, seperti isu kesehatan Presiden dan Pemilu. Kerusuhan besar pada pertengahan Mei yang menargetkan etnis Tionghoa semakin menggoyahkan kepercayaan masyarakat terhadap keamanan harta, jiwa, dan martabat mereka. Mengingat mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi di Indonesia, mereka membawa kekayaan mereka keluar negeri dan sementara waktu tidak melakukan investasi baru.