Tobi memang gemar berkesenian, dia telah menggelutinya sejak 2014. Pelbagai kesenian telah dia coba, mulai dari seni peran, puisi hingga kolase. Bisa dibilang dia adalah anak muda yang sangat bertalenta. Dia bersama teman-temanya pernah membawa SMA mereka mewakili daerah Boltim (Bolaang Mongondow Timur) untuk pementasan teater di tingkat provinsi. Dia juga keseringan juara dalam lomba pembacaan puisi. Karya puisinya pernah dimuat dalam media Indonesia pura-pura penyair, dan bahkan salah satu puisinya pernah ditawar hingga 1,5 juta tapi dia enggan untuk memberinya. Tidak hanya itu, karya kolasenya berhasil menjadi sampul album musik dan sampul buku Panji Gazali yang berjudul ITU!
Setelah 9 tahun berkesenian dengan segala macam prestasinya, Tobi kemudian mencondongkan dirinya pada kolase. Dia melihat bahwa seni yang baru dia kenal sejak 2016 itu merupakan dunia yang telanjang yang memungkinkannya mengekpresikan segalanya dengan lebih vulgar. Sesuatu yang tidak dia temui dalam proses teatrikal dan puisi. Tobi kemudian berencana untuk memperkenalkan kolase pada masyarakat Boltim.
Awalnya dia hanya ingin membuat duskusi publik untuk memperkenalkannya. Tapi, pada perenungannya di awal tahun 2024, dia menyadari bahwa ruang kesenian di Boltim masih telalu sempit. Bukan hanya untuk kolase tapi, kesenian yang lain juga hampir tidak mendapatkan tempat di sana.
Tobi kemudian menaikan rencananya untuk menggelar pameran tunggal kolasenya yang nantinya akan dimeriahkan dengan pelbagai kesenian juga perbincangan. Hal itu ditujukan untuk memperkenalkan kolase di boltim dan mengangkat orang-orang kreatif yang hampir tak terwadahi. Pameran itu juga dapat menjadi ruang pertemuan bagi orang-orang yang gemar dengan kesenian.
Tobi memang berencana untuk menggelar pamerannya di Boltim, tepatnya di Tutuyan; desa kelahirannya. Setelah memutuskan hal itu, Tobi kemudian mengajak teman-temannya untuk dibentuk sebuah tim yang akan membantunya menyukseskan pamerannya.
Tim berhasil dibentuknya. Merekapun mulai mempersiapkan segala hal yang dibutuhkan, mulai dari pematangan konsep hingga pencetakan karya. Awalnya proses berjalan dengan lancar namun, di tengah perjalanan kendala-kendala mulai berdatangan. Tobi mengalami keraguan, bukan soal kesuksesan acaranya, bukan pula soal timnya. Tapi, dengan dirinya sendiri. Dia ragu akan kepantasan dirinya, pandangan para veteran terhadapnya dan lain sebagainya. Selain itu, dia baru menyadari bahwa biaya pameran tenyata masih terlalu mahal untuknya.
Hal itu kemudian diperparah dengan persoalan gedung yang akan dijadikan tempat pameran. Dua hari sebelum pameran dilaksanakan, Tobi meminta izin kepada Sangadi untuk menggunakan Balai Pertemuan Umum (BPU) Tutuyan sebagai tempat acaranya. Tapi, merka tidak mengizinkannya kecuali disewa. Hal tersebut sangat memukulnya. Terlalu banyak kendala, ditambah tidak ada dukungan dari pemerintah desa walau hanya meminjamkan tempat untuk melangsungkan pamerannya.
Lusa pameran itu harus terlaksana. Mereka sudah mengampanyekan segala hal mengenai pameran itu. Semua undangan sudah sampai ditujuan, semua pengisi acara telah siap berpartisipasi. Tidak ada lagi kesempatan untuk Tobi dan timnya menunda atau membatalkan pameran itu.
Malam yang basah dengan gerimis, ketika segala kendala telah menyelimutinya, dia duduk merenung bersama timnya di sebuah panggung tribun tua depan BPU. Selang beberapa jam kemudian, terlintas dalam pikirannya untuk melangsungkan pamerannya di situ.
Barang kali tobi mulai sinting. Mungkin itu yang terlintas di benak timnya ketika dia mengutarakan idenya. Kondisi panggung tribun itu sangat sederhana, kecil, tua, hanya terdiri dari beberapa kolom kayu yang hampir lapuk untuk menahan atap tanpa dinding dan berlantaikan beton berdebu. Siapa yang akan berpikir untuk menggelarnya di situ? Hanya Tobi.
Akan tetapi, dengan niat dan harapan, kepercayaan dan dukungan dari teman-temannya, komunitas-komunitas, para seniman, intelektual dan khususnya timnya yang setia, berhasil mengubah suasana malam itu. Semuanya bersatu padu menjadi semangat yang dapat menyingkirkan segala kendala. Akhirnya, demi Tobi dan pamerannya mereka sepakat dengan idenya itu. Malam itu juga mereka berhasil menyulap panggung tribun usang itu menjadi ruang pameran, pementasan dan pertemuan.
Dua hari setelahnya tanggal 11 mei 2024, tepat pada hari kolase sedunia, terciptalah pameran tunggal pertama di Bolaang Monongdow Raya. Pameran tunggal kolase pertama di Sulawesi Utara, dan dimensi baru untuk tanah kelahirannya.
Pameran itu dimeriahkan dengan pelbagai kesenian seperti pembacaan puisi, pertunjukan musik, pembuatan kolase manual, melukis dan diskusi tentang seniman yang terpinggirkan di Indonesia. Tidak hanya para seniman dan intelektual yang tengah popler menjadi pengisi acaranya namun, dia memadukannya dengan mereka yang kreatif tapi kurang mendapatkan perhatian. Seperti niat awalnya, hal itu dilakukan supaya mereka bisa saling membantu dan mengangkat antara satu sama lain. Malam itu juga, tanah kelahirannya menjadi tempat perayaan kesenian yang membawa kegembiraan.