Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

'No Phone Zone', Gerakan Sipil dalam Mereduksi Angka Kecelakaan Bermotor

20 Januari 2014   22:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:38 90 1

Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan salah satu tragedi yang repetitive terjadi di Indonesia. Bahkan setiap tahunnya, angka kematian yang disebabkan oleh kendaraan bermotor ini mengalami peningkatan secara gradual[1]. Tentu saja kita dapat berargumen bahwa pertumbuhan kapitalisme, peningkatan transaksi dan kuota penjualan kendaraan bermotor, dan –alasan yang lebih mikro dan spesifik, adalah kelalaian sang pengguna. Saya tidak akan memperdebatkan perihal alasan-alasan makro, terutama perihal pro dan kontra kebijakan mobil murah dan implikasinya terhadap proyeksi tingkat kecelakaan kendaraan bermotor. Menurut saya, lebih menarik untuk mengelaborasi lebih jauh perihal bagaimana mengatasi human error demi mengurangi kemungkinan-kemungkinan tersebut.

(http://i1.ytimg.com/vi/yGR9dkjeQGY/maxresdefault.jpg)

Menurut Willy Suwandi Dharma, Direktur Utama PT Asuransi Adira Dinamika (Adira Finance), 90% kecelakaan kendaraan bermotor di Indonesia disebabkan oleh kesalahan pengguna kendaraan[2]. Kesalahan tersebut, sebenarnya bervariasi mulai dari penggunaan media telekomunikasi yang tidak bertanggung jawab, hingga ngupil. Agak ridiculous memang, tapi begitulah kenyataannya. Berbagai upaya untuk mengurangi kesalahan-kesalahan konyol inipun sudah banyak dilakukan sebenarnya. Upaya yang berskala nasional hingga personal, yang dilakukan oleh aktor-aktor pemerintah hingga swasata telah diupayakan, seperti melalui iklan layanan masyarakat, seminar dan lokakarya, hingga sosialisasi dinas-dinas terkait secara langsung ke berbagai institusi. Namun, mengapa hal tersebut masih kurang efektif?

Menurut saya ada dua alasan utamanya. Pertama adalah kurangnya peranan dari civil society. Pendekatan yang bersifat top-down¸ eksklusif, dan infiltratif memang telah banyak dilakukan oleh institusi pemerintah. Dan saya tidak mengatakan bahwa hal tersebut adalah upaya yang sia-sia (noseriously, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menjangkau masyarakat dan kita patut mengapresiasi hal tersebut). Namun karena pendekatan ini bersifat eksklusif tadilah, masyarakat di level akar rumput (grassroots) merasa tidak dilibatkan. Alienasi terhadap partisipasi inilah yang menyebabkan inisiatif dan komitmen masyarakat untuk mengimplementasikan anjuran-anjuran dari pemerintah menjadi minim. Namun, apabila kita melihat dari kacamata yang bersebrangan, pernahkah kita bertanya, “Kalau saya mendukung alternatif solusi dari pemerintah, berarti saya telah melakukan sesuatu untuk keluarga, lingkungan, dan Negara saya, bukan?”. Nah, apabila kita dapat mengkritisi pemerintah, berarti seharusnya kita juga mampu mengkritisi diri kita sendiri. Dengan kita mengkritisi diri kita sendiri, artinya socio-political awareness individu maupun kelompok dapat meningkat. Setelah kesadaran tersebut ditingkatakan, maka civil society –yang berisikan kelompok-kelompok yang lebih kecil didalamnya, dapat melakukan apa yang saya sebut sebagai discursive-aggregation process. Proses agregasi kepentingan yang bersifat diskursif, dengan tujuan mencari satu tujuan yang berlandaskan pada general will, bukan interests of majority. Salah satu tujuan diskursif dalam kasus ini adalah untuk mengoreksi kesalahan-kesalahan di masyarakat (yang dikategorikan sebagai human error) untuk mengurangi angka kecelakaan kendaraan bermotor.

Faktor kedua, adalah keterlibatan public figure. Saya sih bosan dan sama sekali tidak tertarik untuk melihat bapak/ibu berseragam, mengatasnamakan institusi pemerintah, dan mengampanyekan kebijakan-kebijakan publik mereka. Namun, saya juga tidak mendukung apabila public figure yang digunakan sebagai instrumen sosialisasi kebijakan juga dipilih secara acak dan tidak esensial. Figur yang dipilih juga harus memiliki kompetensi akademik, tingkatan intelegensi yang matang, serta sphere of influence yang tidak tersegmentasi. Figur ini harus dipilih secara hati-hati karena mereka merepresentasikan kepentingan masyarakat luas dibelakangnya. Suatu tanggung jawab yang tidak kecil, bukan?

Kedua elemen ini, menurut saya berhasil dilakukan di Amerika Serikat. Kolaborasi antara general will masyarakat yang diartikulasikan oleh suatu figur publik dalam isu mempersiapkan langkah-langkah preventif mengurangi tingkat kecelakaan bermotor, telah dilakukan. Hal tersebut diformulasikan ke dalam suatu program bernama No Phone Zone.

No Phone Zone merupakan suatu program yang dikembangkan oleh Oprah Winfrey (ya Oprah Winfrey si public figure asal Amerika Serikat itu), dan diperkenalkan kepada publik pertama kali pada 6 Maret 2010. Program ini dibuat untuk menghimbau orang-orang untuk tidak menggunakan telepon genggam selama mereka mengemudi. Program ini pertama kali ditayangkan pada acara The Oprah Winfrey Show, dan disponsori oleh perusahaan bisnis Liberty Mutual Group serta perusahaan telekomunikasi Sprint Nextel Corporation. Kemudian, Oprah menetapkan tanggal 30 April sebagai No Phone Zone Daydi setiap tahunnya.

(http://3.bp.blogspot.com/_gbkwVBGuZIA/S96KhEJe3lI/AAAAAAAAA1I/-x90928RO0g/s1600/NPZ-Logo---03-05-10-4-17am.jpg)

Terdapat beberapa prosedur untuk masyarakat agar dapat mendukung program ini. Pertama, kita dapat mengisi sebuah perjanjian via web resmi Oprah Winfrey. Dalam perjanjian tersebut, terdapat suatu ikrar yang mengharuskan kita untuk tidak menggunakan telepon genggam di dalam kendaraan selama mengemudi[3]. Sejauh ini, sebanyak 423.330 orang telah mendaftarkan diri secara online. Yang kedua adalah melalui pengumpulan dukungan dan unifikasi suara di setiap negara bagian. Aksi ini dapat dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi-organisas non-pemerintah, atau bahkan melalui pemerintah negara bagian secara langsung[4].

Pada kampanye yang dilakukan Oprah untuk mempopulerkan program ini, Ia memberikan gambaran mengenai bahaya penggunaan telepon seluler ketika berkendara melalui data-data statistik yang empirik. Ia mengatakan bahwa pada bulan September 2008, kondukter kereta komuter di AS melanggar lampu merah karena sedang menggunakan layanan SMS di telepon genggamnya[5]. Kemudian kereta yang dikendalikannya menabrak sebuah kereta barang, dan melukai 135 orang. Total sebanyak 25 orang tewas pada insiden mengenaskan tersebut, sehingga menempatkan kecelakaan tersebut sebagai kecelakaan kereta api komuter terburuk kedua dalam sejarah AS. Seminggu setelahnya, terjadi insiden lain. Kali ini melibatkan bis sekolah yang membawa 21 siswa di dalamnya[6]. Bis tersebut ditabrak oleh sebuah truk dan terhempas sejauh 200 kaki, dan kemudian terbakar. Sebanyak 20 siswa berhasil selamat dari insiden tersebut, namun siswa bernama Margay Schee tewas di tempat. Supir truk mengaku bahwa ia sedang ber-SMS dan tidak melihat ada bis di depannya. Hal tersebut ternyata didukung pula oleh data statistik yang dilakukan oleh badan-badan seperti Edgar Snyder & Assciates[7]. Pada tahun 2009 sebanyak 995 kasus kecelakaan di jalan raya melibatkan penggunaan telepon genggam saat mengemudi. Sebanyak 24.000 korban yang terluka mengaku menggunakan telepon genggam saat insiden yang menimpa mereka terjadi. Data-data tersebut menimbulkan banyaknya dukungan terhadap program ini.

Dukungan dari organisasi-organisasi berskala nasional seperti Departemen Transportasi AS, Administrasi Lalu Lintas Jalan Raya Nasional AS, bahkan dari lingkungan akademik pun berdatangan[8]. Dari lingkungan akademik, dukungan utama datang dari organisasi kesiswaan sekolah-sekolah di Chicago, Illinois. Untuk tahun akademik 2010-2011, Illinois Association of Student Councils Executive Board (IASC) membuat program ini sebagai salah satu sub-program resmi dari proyek jasa negara bagian tersebut yang bertema “The New Road to Leadership[9]. Brexton Isaac, presiden dari IASC, mengawasi langsung implementasi program tersebut d negara bagian Illinois.

(http://informationng.com/wp-content/uploads/2013/06/time-for-oprah-winfrey.jpg)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun