Jika kita mencermati pasal-pasal yang ada dalam UU Dikti ini ternyata juga masih menyimpan muatan pelepasan tanggung jawab negara terhadap hak warga negaranya memperoleh akses pendidikan khususnya pendidikan tinggi. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 73 tentang Penerimaan Mahasiswa Baru dalam ayat (1) disebutkan bahwa Penerimaan Mahasiswa baru PTN untuk setiap Program Studi dapat dilakukan melalui pola penerimaan Mahasiswa secara nasional dan bentuk lain. Dalam penjelasan UU Dikti tersebut disebutkan bahwa bentuk lain yang dimaksud adalah ujian mandiri yang diselenggarakan oleh universitas masing-masing. Untuk diketahui pelaksanaan ujian mandiri yang telah berjalan beberapa tahun ini mematok perbedaan biaya yang besar dalam prakteknya. Perbedaan biaya antara jalur nasional atau yang sekarang disebut SNMPTN dengan mahasiswa yang diterima lewat ujian mandiri ini bisa sampai 3 kali lipat di beberapa kampus yang menyelenggarakannya seperti UI, ITB,Undip, UNS, Unair dan lain-lain. Biaya kuliah lewat ujian mandiri ini berkisar mulai dari 20 juta rupiah hingga 150 juta rupiah tergantung fakultas dan jurusan yang dipilih. Pelepasan tanggung jawab pemerintah ini juga diperjelas pada ayat berikutnya dalam pasal yang sama bahwa Pemerintah menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan Mahasiswa baru secara nasional. Artinya pemerintah tidak akan menanggung biaya calon mahasiswa yang dilakukan melalui Ujian Mandiri. Ini tentu mengherankan karena isinya tidak jauh berbeda dengan UU BHP yang telah dibatalkan itu.
Upaya privatisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi tidak berhenti di situ saja, dalam pasal 74 ayat (1) yang berbunyi: PTN wajib mencari dan menjaring calon Mahasiswa yang memiliki potensi akademik tinggi, tetapi kurang mampu secara ekonomi dan calon Mahasiswa dari daerah terdepan, terluar, dan tertinggal untuk diterima paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari seluruh Mahasiswa baru yang diterima dan tersebar pada semua Program Studi. Sepintas memang ada jaminan dari pemerintah untuk menjamin mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomi mengakses biaya pendidikan tinggi namun ini sebenarnya adalah ayat yang merupakan bentuk pelepasan tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi hak warganya. Kata-kata “memiliki potensi akademik tinggi” tentu tidak mudah ditafsirkan indikatornya dan bagaimana pula akses untuk mahasiswa yang kemampuan akademiknya “biasa saja” namun tidak mampu secara ekonomi? Apakah pemerintah sedang menerapkan asas yang miskin biarkan tetap miskin, kecuali yang pintar baru bisa kuliah? Jelas ini bertentangan dengan mengenai Hak Ekonomi Sosial Budaya yang telah diratifikasi pemerintah dengan UU No 11 tahun 2005, menyebutkan bahwa Pemerintah harus mengupayakan akses pendidikan tinggi secara gratis bagi setiap warganya.
Hal berikutnya yang bisa dikritisi dalam UU Dikti ini adalah tentang Pemenuhan hak Mahasiswa yang diatur dalam pasal 76. Dalam ayat 1 disebutkan bahwa pemerintah/pemerintah daerah/universitas berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi yang diterangkan dalam ayat selanjutnya. Namun yang harus diperhatikan adalah huruf (c) dimana bentuk pemenuhan tersebut bisa diberikan pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan. Melihat Data BPS tahun 2011 bahwa pengganguran terbesar berasal dari kalangan sarjana maka menjadi pertanyaan jika setelah lulus mahasiswa tersebut tidak mendapat pekerjaan, Bagaimana mahasiswa yang tidak mampu ini akan membayar pinjaman kuliahnya? Apakah menyita harta keluarganya? Lalu pertanyaan berikutnya jika pinjaman tersebut tanpa bunga, apakah dimungkinkan hutang tersebut dibayar dengan sisten cicilan meningkat seperti kredit konsumsi yang jamak ditemui di kehidupan masyarakat? Sudah sedemikian parahkan mentalitas pembuat UU Dikti ini sehingga mengharuskan warganya belajar berhutang sejak kuliah?
Ketidak jelasan pemerintah dalam menjamin pemenuhan hak pendidikan warga negaranya juga dapat dilihat dalam Pasal 83 dan 84 tentang Pendanaan dan Pembiayaan. Dalam pasal tersebut tidak jelas disebutkan berapa prosentase pemerintah serta masyarakat untuk berperan dalam pembiayaan perguruan tinggi. Bagaimana jika pemerintah beralasan tidak mampu membiayai karena anggaran negara yang habis? Apakah masyarakat juga yang harus menanggung? Semangat liberalisasi pendidikan tinggi ini juga tampak dalam pasal 85 ayat (2) yang berbunyi Pendanaan Pendidikan Tinggi dapat juga bersumber dari biaya pendidikan yang ditanggung oleh Mahasiswa sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Lantas dimana peran pemerintah jika semua ditanggung masyarakat? Dan apa yang dimaksud dengan pihak lain? Tidak ada kejelasan dalam penjelasan UU Dikti yang penyusunannya telah diprotes banyak pihak ini.
Kata kunci dari upaya komersialisasi pendidikan tinggi oleh pemerintah ini tertuang dalam pasal 89 ayat (2) yang berbunyi Dana Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk PTN badan hukum diberikan dalam bentuk subsidi dan/atau bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Menjadi kata kunci karena disitu terdapat kata subsidi dimana kata ini merupakan kata-kata titipan ideologi neoliberalisme. Subsidi menjadi pembenar bahwa uang yang digunakan untuk memenuhi hak warga negara adalah beban bagi keuangan negara sehingga sewaktu-waktu subsidi dapat dicabut oleh pemerintah dengan berbagai alasan (harga Bahan Bakar Minyak yang juga dianggap subsidi bisa menjadi contoh). Memandang pendidikan sebagai jasa tidak bisa dilepaskan juga dari kesepakatan GATS yang juga ditandangani pemerintah. Pendidikan dianggap sebagai salah satu sektor yang bisa dijadikan komoditas untuk kelanggengan sistem pasar global. Sejak jatuhnya krisis ekonomi tahun 70an di Amerika serta Eropa, perusahaan yang didukung negara-negara maju memasukkan sektor jasa sebagai barang dagangannya. disamping pendidikan sektor yang lain yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti kesehatan juga dianggap sebagai beban bagi negara.
Tampaknya pemerintah tidak belajar dari pembatalan UU BHP yang lalu. Semangat komersialisasi serta liberalisasi masih menjadi semangat disusunnya UU ini. Padahal dari pembatalan yang dilakukan oleh MK terhadap UU BHP disitu disebutkan bahwa pemenuhan hak pendidikan warga negara baik secara ekonomi, sosial dan budaya adalah kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Selain termuat dalam isi UUD 1945 serta dalam Undang Undang Sisdiknas Hal ini tentu sesuai dengan semangat para pendiri bangsa yang menyatakan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan dimerdekakannya negara ini yang termuat dalam pembukaan UUD 1945. Jika kemudian biaya pendidikan khususnya pendidikan tinggi dilepaskan tanggung jawabnya oleh pemerintah, serta tidak semua warga bisa mengaksesnya maka kita patut bertanya bangsa yang mana yang dibela pemerintah saat ini?
* Dimuat di harian Joglosemar dengan judul Mengkaji UU Dikti, Orang Miskin Dilarang Kuliah Sabtu,21/7/2012
* Dimuat di website Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) : http://www.prp-indonesia.org/2012/uu-dikti-orang-miskin-dilarang-kuliah pada 25/07/2012