Malam ini saya baca sebuah artikel yang memberitakan berita luar negeri, tentang seorang bocah laki – laki yang menyurati salah seorang perdana menteri yang menentang pernikahan sejenis. Dia tuliskan, “kenapa pernikahan ibu – ibu saya yang lesbian dilarang, apakah hubungan itu menyakiti anda?”. Well, itu kalimat yang cukup membekas. Karena biasanya kalimatnya anak kecil itu representasi hati kecil yang paling jujur, namun juga mungkin yang paling mentah karena kurangnya garam hidup. Percaya atau tidak, semakin dewasa kita, maka semakin buram bentuk benar dan salah bagi kita. Itulah mengapa, saya tumbuh dewasa menjadi orang dengan paham fungsional. Yang ada sudah bukan lagi salah atau benar, yang ada adalah apa yang paling bisa diterapkan dan apa yang paling bisa kita terima akibatnya. Rokok tidak bisa salah, rokok tidak bisa benar, tergantung apakah kita ini dokter atau budayawan slengek yang paham benar jalan kerja otaknya. Pelacur bisa salah, pun bisa benar, tergantung apakah kita ini istri – istri yang takut suaminya bejat, ataukah kita yang berpikir “kalau hanya ingin makan nasikenapa harus repot buat dapur”. Kebenaran yang hakiki adalah apa yang kita percayai masing – masing, maka wajar jika muncul kalimat klise “nang ndunyo iku ra ono sing sempurno”. Sama juga dengan regulasi, peraturan hukum, maupun undang – undang, tidak akan pernah dia menjadi sempurna bulat di mata tiap anggota dewan yang ikut merumuskan. Itulah kenapa, baiknya regulasi adalah yang tidak menyangkut pautkan dengan prinsip moral yang mampu memicu “benar” dan “salah”. Contohnya, UU Pornografi yang ternyata memicu bias pandangan masyarakat yang sulit bertemu. Moral itu perspektif dan dinamis. Bandingkan dengan isu kenaikan BBM atau penghapusan UNAS. Kalau isu ini (seharusnya) tidak rumit kita temukan titik mufakat, karena ini isu logis, bisa dihitung dan ditafsirkan akibatnya dengan angka. Cepat atau lambat, bukan tidak mungkin muncul wacana kebutuhan regulasi maupun payung hukum tentang pernikahan sesama jenis. Dan tidak perlu kita hindarkan, karena pada dasarnya, semua isu – isu di atas adalah ujian kedewasaan bagi kita sebuah Negara demokrasi, termasuk juga isu yang menyangkut pautkan dengan moral sebagai pertimbangan.
KEMBALI KE ARTIKEL