Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kompas Si Ana

24 November 2013   22:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:44 96 2
Aku punya teman, namanya Ana. Ana adalah gadis yang cantik. Tingginya 170 cm, tubuhnya langsing, rambutnya panjang sepinggang dan kulitnya putih bersih. Ciri khasnya adalah tangannya sedikit berbulu tidak seperti wanita kebanyakan. Kat orang sih..ehem! Saru, ah!

Si Ana ini sangat suka pakai baju minim kayak "amoy-amoy" Tiongha yang sering aku jumpa di kota. Padahal dia asli melayu. Katanya sih "No Problem, karena body ku mendukung" Katanya. Iya juga sih.

Suatu hari aku ingin pergi mendaki gunung. Sendirian. Karena lagi bete tak bisa salurin hasrat menulisku di Kompasiana sebab lagi error. Sejak kompasianaval kemaren hingga kini setiap mau publis tulisan pasti sering gagal, atau terposting berulang-ulang, kalau selamat bisa terposting dengan baik tanpa kurang suatu apapun eh..malah tak ada yang baca, apalagi yang komen. Bete, deh!

Kabarnya banyak juga akun yang tak bisa login. Banyak yang berspekulasi ada "bug" disebabkan versi mobile Kompasiana yang beleum beres.  Ada juga yang nyeleneh, ini adalah hukum karma bagi Kompasiana, karena di kompasianaval 2013 baru-baru ini banyak kompasianer yang kuciwa.

Mulai dari yang hanya disuguhi air mineral saja, lalu emak-emak yang diusir trantib karena lesehan  sambil makan bawaan dari rumah dengan alasan dilarang panitia kompasianaval. Lucunya kompasianer tak diberitahu tentang ini sebelumnya. Dan masih banyak lagi.....Padahal kompasiaval dibuat untuk kompasianer! Sedih baca laporan kawan-kawan di facebook.

Bekalku mendaki sederhana saja , cukupsatu botol air mineral dan satu bungkos roti. Satu yang aku tak punya. Kompas! Ya, hingga saat ini belum terbeli, terpaksalah pinjam lagi sama si Ana seperti yang sudah-sudah. Tiba-tiba terbersit keinginan untuk ajak si Ana sekalian.

Si Ana ternyata lagi bete juga. Dia bilang baru saja putus dengan pacarnya.  Ana langsung duduk dibelakang dan menepuk pundakku. "Ayo! Go! Go! teriaknya. Ana mau kuajak! yes!

Aku kegirangan. Biasanya si Ana ini paling susah diajak mendaki gunung, takut lecetlah, takut jatuhlah, takut di cabuli lah. halah! Pernah sekali ikut aku, itupun rame dengan kawan-kawan kuliah lainnya.

Sampailah kami di pintu gerbang jalur pendakian. Motor aku tarok di tempat penitipan. Aku dan ana berlari menaiki tangga demi tangga. "Ayo ngebut, siapa yang duluan sampai pos 2, besok traktir makan di kantin kampus!" teriaknya, padahal dia sudah duluan 10 anak tangga dariku karena tarok motor dulu. Malu sama cewek aku iya kan saja lomba curang ini. Aku berlari!

Ana berlari lebih kencang, tubuhnya yang ringan memudahkannya menaiki tangga demi anak tangga. Aku yang bertubuh gendut agak susah dan nafas ngos-ngosan. Si Ana ketawa dari atas melihat aku kepayahan! Busyet, dah! Sesak nafas.....

Akhirnya tentu Ana yang menang.  Perjalanan kami lanjutkan dan sampailah ke medan yang sulit.  Melewati jalan tanah dan berbatu.  Aku merelakan tubuhku jadi pijakan si Ana untuk naik ketempat lebih tinggi sedang aku berusaha sendiri. mana kuat Ana menarik tanganku. Tapi aku senang....karena terus terang aku naksir ana sejak dahulu, sejak SMA.Kami adalah teman satu SMA dan sekelas pula. Jadi aku simpan dalam hati saja.  Tak punya nyali.Malu.

Sampai di ketinggian tertentu kami berhenti. Dari atas batu pemandangan terlihat sangat menganggumkan. Langit biru dan awan yang seperti kasur empuk luas terhampar.  "Cari bunga edelwis, yuk!" Ajak Ana.

"Ayok!" Akupun setuju.  Sebab bunga keabadian itu memang adanya di gunung ini.

Kami menelusuri sebuah turunan dan berbatu. Masuk kedalam hutan, semakin jauh dari jalan pendakian.  Aku pegang tangan lembut ana erat, takut dia jatuh.  Saking senangnya bisa pegangan tangan, berdua pula di hutan sunyi, membuat aku lupa mengingatkan dia kalo sudah tersesat jauh.

"itu bunganya! "Ana teriak kegirangan. Bunga putih seperti padi terlihat dibalik batu-batu dan telaga kecil. Sebelum mengambil bunga itu aku dan Ana mencuci muka dengan air telaga tersebut lalu makan roti serta minum air yang kubawa untuk melepas dahaga dan menahan lapar.  Aku panjat batu-batu itu dan memetikkan bunga edelwis itu untuk Ana. Ana sangat senang sekali. Senyum manis menghias wajahnya.

"ayuk balik!' Ajak Ana karena jam menunjukkan sudah lepas dzuhur takut pulang kesorean. Kami menelusuri jalan yang kami lewati tadi. Kami kehilangan jejak. Berputar-putar kembali lagi ke telaga tadi. Ana menangis. "Ana takuut, Lang...! " Kepalanya bersumbunyi dipunggungku.

Sebagai laki-laki walau sudah sangat cemas, aku coba tidak nampak risau. Percuma aku dipanggil Alang alias si Petualang. "Sabar ya Ana...Kompasnya ada bawa nggak?" Tanyaku tak yakin. Sebab saking girangnya aku lupa mengingatkan Ana waktu berangkat tadi.AKu lihat hape tak ada sinyal.

"Enggak..." Kata Ana lemah. Wajahnya nampak pucat. Matanya berair dan sembab. Aku beranikan diri mengusap air matanya. Aku peluk dia. Ana menurut saja. Aku berkata pelan ditelinganya. "Percaya sama Alang! Kita akan pulang!" Sedang jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.

Aku mengarahkan telunjuk ke arah mata hari terbenam. "Kita ikuti arah jari tengah ini! Patokan kita matahari itu! Kataku pada Ana. "Ohya, kita harus minta maap dulu sama penunggu tempat ini karena tadi tak minta izin  waktu ambil Edelwisnya!"

Ana mengangguk pelan. Tangannya memegang tanganku erat mencari perlindungan. Kami berucap  maap dan minta izin membawa bunga edelwis tersebut disamping telaga. Setelah itu kami pun menelusuri satu arah saja. Sesekali aku arahkan telunjukku kembali ke arah terbenam matahari. Kami terus lurus seperti arah yang ditunjukkan jari tengah. Arah kiblat.

Akhirnya setelah melewati hutan dan semak belukar, kami sampai disebuah kebun teh. Berarti sudah dekat perkampungan. Beruntung kami tak diganggu binatang buas.  Singkat cerita akhirnya kami berjumpa dengan yang punya kebun dan kami diantar hingga ke jalan raya yang dilewati kendaraan ke kota. Kami tersesat jauh ternyata.  Petani itu pamit kembali ke kebunnya dan kami mengucapkan ribuan terimakasih.

Ana memelukku erat di tepi jalan itu. Sangat erat! "Makasih ya,Lang! Telah selamatkan, Ana! Aku bahagia sekali. Empuk.

"Ana, Alang sayang kamu!" kataku dengan segenap keberanian menatap  matanya. Ana nampak agak terkejut. Melepaskan genggaman tanganku. Dia surut satu langkah.

Lalu diam memunggungiku. Aku hancur. Aku gegabah dan menyesalkan ucapanku. "Maapkan aku, Na! Aku keceplosan, terbawa suasana. Sudah lupakan saja...! Ayok kita pulang!" Kataku sambil menstop mobil lewat. Kebetulan mobil itu menuju kota tempat kami tinggal.Kami pun pulang. Sepanjang perjalanan Ana cuek padaku, sibuk ngobrol sama si pemilik mobil. Aku kikuk.

Sampai di rumah Ana. Aku baru ingat motorku yang terpakir di gerbang Pos 1 pendakian. "Aduh, motorku ketinggalan, Na!"

Ana tersenyum dan akhirnya tertawa terbahak-bahak! " Kapook!! teriaknya.

"Udah ya, Aku jemput motorku dulu. Dah sore nih, keburu malam. Met istirahat dan lupakan yang tadi. Oke? Kataku.  Ana tersenyum. "sebentar!" Ana berlari kedalam rumahnya.

Ana balik lagi dengan membawa kompas. "Nih bawa ini!" Katanya.

"Untuk apa, aku tak mendaki lagi. Aku cuma mau jemput motor. Dudul, lu!" Kataku.

"Dah, bawa saja! Ini untuk Alang! supaya Alang tetap bisa balik ke Ana, kemanapun Alang pergi!  Katanya tersenyum manis. Manis sekali.

Aku bersorak. Yes!

Kompas Si Ana ! Azimat cintaku. Kan ku jaga ntuk selamanya.

Tanjung Pinang, 24 Nov 2013.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun