PULUHAN jurnalis cetak, online dan elektronik langsung menyerbu ke depan meja Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro sesaat setelah palu diketok oleh Ketua Komisi Pertahanan DPR Mahfuz Siddiq sebagai tanda rapat kerja telah usai pada suatu sore yang mendung, 27 Januari lalu di Jakarta. Purnomo sudah bangkit dari kursi dan memandang ke arah kerumunan jurnalis, siap-siap menjawab pertanyaan.
Seperti layaknya sebuah wawancara doorstop, sesi tanya jawab sore itu juga sedikit gaduh karena para jurnalis saling berdesakan dan berebut bertanya. Tibalah giliran, Anggi Kusumadewi, reporter vivanews.com mengajukan pertanyaan.
“Bagaimana dengan informasi intelijen, walaupun ini belum bisa diverifikasi kebenarannya ya pak, disebarkan melalui social network seperti Twitter atau Facebook seperti itu, karena ada beberapa yang beredar walaupun kita tidak tahu itu benar atau salah. Perlu disikapi atau tidak?”
Purnomo tampaknya tidak menangkap maksud pertanyaan Anggi dan balik bertanya. “Apa ini beredarnya apa?”
“Itu banyak sekali mungkin satu akun Twitter yang itu mungkin setiap hari membicarakan (dipotong Purnomo dengan berkata “betul), itu bagaimana sikapnya pak?”
Sesaat dan sesudah wawancara itu, Anggi menjelaskan, sebenarnya konteks dari pertanyaannya terkait dengan akun Twitter atas nama @benny_israel, yang beberapa hari sebelumnya menyebarkan informasi yang dia sebut-sebut sebagai informasi intelijen. Antara lain mengenai kasus tokoh-tokoh politik terkemuka yang disebutkan berdasarkan inisial mereka dan juga tentang pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (Alm) Munir.
Anggi menanyakan hal itu, karena kicauan @benny_israel banyak diperbincangkan di Twitter juga diberitakan salah satunya oleh okezone.com.
Purnomo menjawab dengan menguraikan secara panjang lebar megenai bentuk ancaman terhadap sebuah negara yakni berupa ancaman militer dan nonmiliter. Tak lama berselang sesudah wawancara, muncullah berita di detik.com dengan judul “Menhan: Waspadai Ancaman Nonmiliter dari Twitter”
Seperti sebuah reaksi berantai, pembaca detik.com membagi berita itu di jejaring Twitter dan langsung ditanggapi beragam oleh pengguna. Umumnya tanggapan mereka sinis dan menganggap Purnomo kurang pergaulan serta berlebihan. Wakil Ketua DPR Pramono Anung Wibowo -juga pengguna aktif Twitter- mengatakan, menganggap Twitter sebagai ancaman terlalu mengada-ada.
Kritik dan sinisme ini sampai-sampai memaksa Kementerian Pertahanan mengeluarkan klarifikasi sehari sesudahnya.
Jika didengarkan kembali rekaman wawancara, jawaban Purnomo sebenarnya tidak fokus kepada Twitter. Dia secara general menguraikan bentuk-bentuk ancaman terhadap negara dan pada titik mana Kementerian Pertahanan akan berperan dan bagian mana yang jadi porsi kementerian lain. Namun, memang jawabannya multi tafsir dan oleh jurnalis yang berkepentingan mencari lead berita menarik, penjelasan itu bisa direduksi di beberapa bagian sehingga terkesan Purnomo menitikberatkan Twitter sebagai persoalan. Perhatikan kutipan lengkap jawabannya berikut ini
“Kalau kita lihat ancaman, ancaman itu ada berbagai macam. Satu, ancaman itu ada ancaman militer, ada juga ancaman non militer. Sekarang itu, kalau di kita, ancaman non militer itu justru lebih besar, di antaranya Twitter, Cyber Crime dan lain sebagainya itu, ada pandemi ada macem-macem. Ancaman non militer itu macem-macem sekarang. “
“Yang kedua, ancaman nonmiliter itu yang melakukan tidak negara, kadang-kadang bukan negara yang melakukan; perseorangan bisa, organisasi bisa. Ketiga, itu aktornya itu –ini ada militer dan nonmiliter- yaitu tidak dari organisasi dan bisa dari dalam enggak hanya dari luar. Kalau dulu di jaman perang dingin, orang kan persepsinya bisa dari negara, dari luar dan bentuk ofensif militer. Sekarang udah macem-macem, gitu lho.”
“Bisa dari dalem, bisa bukan militer, lewat tadi, bisa juga itu dilakukan oleh organisasi. Nah, ini harus kita waspadai. Nah, porsi kita yang di dalam undang-undang nomor 3 tahun 2002, porsi kita tu hanya kalau terjadi ancaman militer untuk mempertahankan Negara Kesatun Republik Indonesia, untuk mempertahankan kedaulatan dan kalau mempertahankan kedaulatan bangsa. “
“Nah kalau pandemi, misalkan ya ancaman berupa menyebarkan virus kesehatan, mestinya ya penjurunya ya Kementerian Kesehatan. Terus kalau misalkan dalam kaitannya dengan informasi dan komunikasi, nah penjurunya kan sudah ada masing-masing. Enggak bisa semuanya penjurunya itu Menteri Pertahanan. Kalau ada kaitannya dengan komponen utama, TNI, penjurunya (Menteri Pertahanan). Nah, gitu jadi mesti lihat ancaman itu sudah melebar, satu, dan kedua kalau ancaman itu terjadi ancamannya berupa apa dulu. Kalau ancamannya misalken dalam bentuk pencurian, illegal BBM, illegal logging, nah itu Angkatan Laut kita. Tetapi kalau ancamannya Twitter, cyber crime dan lain sebagainya itu ada porsinya sendiri.”
Kritik tajam terhadap Purnomo yang sedang kita bicarakan ini sebenarnya ciri khas informasi yang disampaikan melalui Twitter: cepat, ringkas, dan langsung bisa ditanggapi para pengguna seketika itu juga. Beberapa media besar terkadang bahkan menyampaikan judul berita terlebih dahulu melalui Twitter baru kemudian menyajikan berita seutuhnya sesaat kemudian. Twitter, seperti halnya internet, mengatasi persoalan ruang dan waktu yang menghambat media konvensional dengan jangkauan pembaca yang lebih luas.
Namun, bisakah Twitter , Facebook dan media sosial sejenisnya menjadi pemimpin perlawanan terhadap seorang penguasa, sebagaimana disebut-sebut sedang terjadi di Tunisia dan Mesir? Karena jika demikian, penjelasan Purnomo tampak jadi lebih relevan, minimal bagi penguasa, Twitter memang ancaman nonmiliter.
JIKA pertanyaan ini ditanyakan kepada Malcolm Gladwell, jurnalis majalah The New Yorker, dia akan menjawab tegas. Tidak!
Gladwell percaya, Twitter Facebook serta sosial media lainnya, berhasil membalik hubungan antara penguasa dengan rakyat, membuat mereka yang tak berkuasa lebih mudah bekerjasama, berkoordinasi, dan bersuara terhadap hal-hal yang menjadi perhatian mereka. Saat puluhan ribu demonstran turun ke jalan di Moldova pada musim semi tahun 2009 untuk memprotes pemerintahan komunis di negara itu, aksi tersebut dijuluki Revolusi Twitter karena sarana yang menyatukan para demonstran. Jadi, kalau dulu aktivis didefenisikan oleh penyebabnya, sekarang ditentukan oleh alatnya.
Gladwell menganggap klaim Revolusi Twitter ini membingungkan karena faktanya pengguna Twitter di Moldova sangat sedikit. Argumen Gladwell sangat menarik dan provokatif. Dia membedakan antara aktivis sebenarnya atau aktivis tradisional dengan aktivis media sosial. Aktivis tradisional memiliki ikatan kuat dan struktur organisasi yang jelas. Sementara, aktivis di sosial media memiliki ikatan lemah, tidak memiliki struktur sehingga sulit untuk memutuskan sesuatu yang bisa diterima dan dilaksanakan semua orang di dalamnya.
Gladwell mengambil gerakan antirasial yang meluas di Amerika Serikat pada tahun 1960-an sebagai. Gerakan itu dimulai dari aksi duduk 4 pelajar kulit hitam di sebuah rumah makan Woolworth di pusat kota Greensboro, North Carolina. Aksi duduk itu sebagai protes mereka terhadap rasialisme dimana orang kulit hitam tidak dilayani di tempat-tempat umum untuk kulit putih. Gladwell mengatakan, aksi ini berisiko, karena pada hari-hari berikutnya, beberapa aktivis dibunuh, diculik, diipukuli, dibom dan dipenjarakan. Gerakan seperti ini, Gladwell menyindir, bukanlah untuk orang yang berhati lemah.
Menyangkut para aktivis di media sosial, Gladwell menguraikan, jenis aktivisme yang terkait dengan media sosial bukan seperti itu sama sekali. Platform sosial media dibangun di ikatan yang lemah. Twitter adalah salah satu cara untuk mengikuti atau diikuti (following or being followed by) orang yang mungkin tidak pernah anda temui. Facebook adalah alat untuk mengelola secara efisien kenalan anda, menjaga orang yang sebaliknya tidak akan pernah anda mampu untuk selalu berhubungan dengannya. Itulah sebabnya anda bisa memiliki ribuan “teman” di Facebook, sesuatu yang tidak pernah anda dapat miliki dalam kehidupan nyata.
“The Internet lets us exploit the power of these kinds of distant connections with marvellous efficiency. It’s terrific at the diffusion of innovation, interdisciplinary collaboration, seamlessly matching up buyers and sellers, and the logistical functions of the dating world. But weak ties seldom lead to high-risk activism.”
Selanjutnya, Gladwell menyimpulkan, instrumen media sosial sangat cocok untuk membuat tantanan sosial yang telah ada menjadi lebih efisien. Tetapi, media sosial bukanlah musuh alami status quo.
Jejaring sosial efektif meningkatkan partisipasi dengan menurunkan tingkat motivais yang yang dibutuhkan partisipasi itu sendiri.
Gadwell mencontohkan, grup Facebook “Save Darfur Coalition” beranggotakan 1.282.339 menyumbangkan masing-masing rata-rata sembilan sen. Badan amal untuk Darfur terbesar berikutnya di Facebook beranggotakan 22.073 orang telah menyumbangkan rata-rata 35 sen. Dan grup “Help Save Darfur” dengan anggota 2.797 orang menyumbang rata-rata 15 sen. Dengan kata lain, aktivisme Facebook berhasil bukan dengan memotivasi orang untuk melakukan pengorbanan yang sesungguhnya tetapi dengan memotivasi mereka untuk melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain ketika mereka tak punya cukup motivasi untuk melakukan pengorbanan yang sesungguhnya.
Kasus ini mirip dengan dengan Gerakan Sejuta Facebooker Dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Rianto yang diprakarsai Usman Yasin tanggal 29 Oktober 2009. Gerakan ini dipicu penahanan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif ketika itu oleh Mabes Polri karena diduga menyalahgunakan wewenang.
Pada tanggal 9 November, pendukung gerakan itu sudah melampaui target yakni 1.122.150 orang. Keberhasilan tersebut tak terlepas dari ekspos besar-besaran oleh media mainstream baik cetak maupun elektronik yang konsisten memberitakan grup itu setiap hari berbarengan dengan aksi-aksi lain dengan motivasi sama di dunia nyata. Dalam hal ini, media sosial dan media mainstream saling terkait dan mendukung.
Agaknya inilah yang membedakan, posisi Twitter dan Facebook di Amerika Serikat, Indonesia dan negara-negara demokratis yang menjamin kemerdekaan pers dengan negara-negara otoriter dimana penguasa mengontrol sepenuhnya pers seperti di Tunisia dan Mesir hari ini. Di negara otoriter, media sosial tampil sebagai alternatif untuk menyebarluaskan informasi dan kejadian yang dialami para aktivis di jalanan karena media mainstream sebagai saluran utama tak bisa diakses. Para aktivis di kedua negara itu misalnya, bisa saja bicara soal hak asasi manusia, atau mengunggah foto-foto pemukulan demonstran oleh polisi melalui jejaring sosial untuk membangkitkan simpati dan syukur-syukur dukungan nyata masyarakat nasional dan internasional. Dalam konteks Indonesia, ini seperti penerbitan buletin dan pamflet bawah tanah yang dilakukan aktivis pada masa orde baru untuk mengkritik kebijakan Soeharto.
Tapi apakah aksi protes ribuan orang dengan turun ke jalan di berbagai daerah di Indonesia memprotes penahanan Bibit dan Chandra ketika itu bisa diperas dalam satu kesimpulan bahwa itu Revolusi Facebook?
Gladwell benar. Terlalu berlebihan menyebut gerakan itu sebagai Revolusi Facebook. Kenyataanya, mereka yang turun ke jalan sebagian besar justru berasal dari aktivis tradisional yang tergabung dalam organisasi dengan ikatan kuat, sruktur jelas dan melancarkan protes bukan karena faktor spontanitas melainkan terencana dan terukur. Contohnya dari Himpunan Mahasiswa Islam, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Gerakan Indonesia Bersih, Indonesia Corruption Watch, Transparansi Internasional Indonesia dan puluhan organisasi dengan ikatan kuat lainnya.
Sedangkan mereka yang benar-benar mengtasnamakan Facebookers pendukung Bibit dan Chandra hanya segelintir orang dengan intensitas dan variasi aksi jauh di bawah aktivis tradisional. Padahal, jumlah Facebookers yang tergabung melampaui sejuta. Inilah yang disebut Gladwell keberhasilan Facebook menggalang orang melakukan hal-hal yang dilakukan orang lain yakni dengan mengklik tombol bergabung dengan grup Facebookers Pendukung Bibit dan Chandra karena mereka tak punya motivasi cukup untuk bergabung dengan aktivisme sesungguhnya di jalanan.
Lemahnya motivasi ini semakin terbukti manakala Gerakan Sejuta Facebookers mewabah pasca-keberhasilan pendukung Bibit dan Chandra. Namun, gerakan-gerakan itu tak pernah terdengar gaungnya, mati sebelum berkembang dan tiada aktivis mereka yang turun ke jalan berhadap-hadapan dengan polisi yang memegang pentungan.
Kalaupun konteks ini kita kembalikan ke Mesir dan Tunisia, nyatanya demonstran yang turun ke jalan terutama berasal dari konsistensi para aktivis tradisional yang sebetulnya sudah lama mengorganisasi diri dan menghimpun kekuatan. Yang paling sering diberitakan contohnya, kekuatan oposisi atau persaudaraan muslim (Ikhwanul Muslimin) di Mesir. Ikhwanul Muslimin, kita tahu, sudah berdiri di Mesir sejak 1928 dengan tokoh Hassan al-Banna dan sejak itu konsisten menjalankan aktivitas hingga kini.
Dengan kata lain, jejaring sosial sebenarnya tidak digunakan untuk mengorganisir massa dari nol tetapi lebih kepada menyebarluaskan atau mempublikasikan apa yang terjadi di lapangan karena hal itu tak lagi bisa dilakukan media mainstream. Harapannya, sekali lagi, menggalang simpati dan syukur-syukur aksi nyata orang lain untuk turun ke jalan bergabung dengan inti dari gerakan itu, yakni aktivis tradisional. Fungsi minimalis ini tak terlalu istimewa, kalau konteksnya kita kembalikan ke negara-negara yang menjamin kemerdekaan pers semacam Indonesia, apalagi Amerika. Revolusi Facebook? Revolusi Twitter?