Mohon tunggu...
KOMENTAR
Kebijakan

Rekening Gendut Koruptor dan Kriminalisasi PNS

7 Maret 2012   02:35 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:25 277 0
Setiap hari tentunya, kita melihat, mendengar, dan membaca di berbagai media, setiap hari masih seputar masalah Korupsi yang seakan tiada habisnya. Mungkin karena membudaya sejak jaman orde baru, bedanya jaman orde baru, pers tidak bebas memberitakan masalah yang berhubungan dengan negara, seperti korupsi, kolusi, nepotisme, dan kegagalan yang disebabkan oleh negara. Bisa dicontohkan beda kebebasan pers  jaman orde baru dan jaman reformasi. Jaman orde baru Kalau pesawat GARUDA jatuh, maka dalam berita harus di tulis Pesawat AirBus atau Boeing 737... kalau ditulis nama maskapainya, apalagi yang punya pemerintah, maka Harmoko dan jajarannya (Menpen) waktu itu akan melakukan sensor.

Kasus korupsi kakap terbesar yaitu Om Eddy Tanzil (2.1 Triliun rupiah tahun 1995 (1 dollar = Rp. 1500)), dalam media bahwa beliau kabur (atau dikaburkan sih?), dari LP Cipinang, dan uang sebanyak itu adalah hasil "kolusi" dengan Pejabat Negara (Pejabat negara yang mana ya?), yang disebut-sebut telah melibatkan mantan ketua DPA (Dewan Pertimbangan Agung) pada masa itu Sudomo.

Kembali ke laptop..
Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika adalah pegawai Departemen keuangan, dan berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak. Mereka adalah bisa disebut sebagai koruptor, yang mengantongi uang yang seharusnya di setor kepada kas negara, bukan ke rekening Pribadi. Mereka adalah koruptor, dan bukan PNS biasa seperti PNS kebanyakan, yang hidupnya pas-pasan.

Pejabat negara, Anggota Dewan, dan Pemimpin tinggi suatu Institusi barangkali memiliki rekening yang cukup banyak. Lalu bagaimana dengan yang saya sebut Kriminalisasi?
Kriminalisasi adalah suatu Proses yang  memperlihatkan perilaku yg semula tidak dianggap sbg peristiwa pidana, tetapi kemudian digolongkan sbg peristiwa pidana oleh masyarakat, dimana bahwa perbuatan segelintir manusia telah membuat citra yang lain menjadi rusak.

Saya sebagai PNS golongan III/A, masa kerja 8 Tahun 2 Bulan. Dimana saya hanya makan dari Gaji golongan tersebut ditambah tunjangan fungsional, ditambah tunjangan keluarga, sehingga semuanya terkumpul jadi Rp. 2.240.000.  Sebagai PNS yang biasa saja, saya bersyukur masih bisa makan, dan mencukupi kehidupan keluarga walau dengan gaji seperti itu, dan memiliki kendaraan roda 2 walaupun masih kredit.

Sangat disayangkan, bahwa citra PNS sebagai koruptor terlalu di besar-besarkan, dengan secara langsung telah meng-kriminalisasi PNS.  Alangkah baiknya bila dibedakan, PNS di manakah yang korupsi? kalau PNS seperti saya, apalah yang mau di korupsi? Waktu? Uang? Toh kalau terlambat masuk kerja, harus di potong tunjangan. Kalau tunjangan dipotong? anggaran untuk bayar rekening Listrik sudah hilang.  Kalau uang? uang apa mau di korupsi? banyak PNS yang bekerja tidak berhubungan dengan uang, tapi mereka hanya bekerja, bekerja, dan bekerja, menunggu gaji yang di awal bulan nongol ke rekening.

Tulisan ini bukanlah pencitraan, hanya sebagai pandangan, dan sebagai penggugah hati publik, sekaligus memberitahukan kepada kita, bahwa PNS itu tidaklah semua "MALING"

Semangat....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun