Bus yang aku tumpangi merayap lamban. Aku duduk termangu meratapi nasib. Menerawang jejak-jejak yang sempat aku tinggalkan. Dan anganku menari diantara kenangan-kenangan pahit yang menyayat hati. Kalau saja aku bisa membelah dan mengeluarkan isi hatiku. Ingin rasanya aku membuangnya ke jalan agar segala memar dan luka ini tidak semakin menjadi-jadi. Namun apa dayaku, luka ini sudah teramat parah, dan hatikupun sudah membusuk karena terlalu lama digerogoti. Membuang dan melihatnya dilindas oleh truk-truk pembawa besi baja boleh jadi adalah pilihan terbaik.
Perlahan bus meninggalkan terminal. Kernet-kernet bus dan para calo di terminal terlihat semakin menjauh. Mereka masih saja berteriak-teriak. Walaupun aku tidak bisa mendengar—karena sudah terlalu jauh—namun aku bisa merasakan kencangnya teriakan dari mimik dan gurat kengototan di wajah mereka. Aku tak heran kalau di terminal Kampung Rambutan calo-calo sering memaksa dan menaruh harga tiket teramat tinggi. Bagiku, para calo tak ubahnya segerombolan serigala pengais sisa-sisa uang karena sempitnya lapangan pekerjaan di negeri ini. Ya, aku tahu karena sebelum bekerja di sebuah restoran sebagai tukang cuci piring, Aku sempat menggelandang selama setahun di terminal.
Kulihat kondektur mulai berkeliling. Ia beringsut diantara sela-sela kursi sambil memeriksa tiket. Tak lama ia sampai di dekatku. “Turun mana Mas?”, tanyanya setelah berada di sampingku. “Pekalongan”, jawabku. “Sampeyan pinter nggak tertipu calo”, ujarnya. Dari logatnya, aku bisa menebak kalau ia berasal dari daerah sekitar Tegal. Kondektur itu pasti melihat angka nominal tiket yang aku beli. Pada hari biasa, tarif Jakarta-Pekalongan tak lebih dari Rp. 50.000. Tiket itu aku beli dengan harga Rp 48.000. Umumnya, seorang calo di Terminal Rambutan bisa menaikkanya hingga Rp.90.000 rupiah. Dan bagi orang yang sedang tidak banyak uang sepertiku, membeli tiket yang sudah dinaikkan sedemikian tinggi adalah perampokan di siang bolong. “Pekalongane medhun ngendi?”, lanjut kondektur itu. “Perapatan Grogolan”, ujarku menyebut salah satu perempatan di daerah asalku Pekalongan.
Perjalanan masih jauh. Bus baru memasuki jalan tol. Kulihat matahari mulai condong ke barat dan memancarkan sinar kemerah-merahan. Hari menjelang senja, mungkin jam 3 sore. Aku memang tidak sedang membawa jam. Satu-satunya telepon seluler yang sering aku pakai untuk melihat waktu sudah aku jadikan jaminan untuk meminjam uang. Padahal, baru kemarin telepon itu aku pakai untuk menerima telpon dari rumah yang memberitahukan kalau Ning akan menikah. Kalau dipikir-pikir, nelangsa betul aku ini. Bahkan untuk menghadiri pernikahan orang yang dicintai saja harus menggadaikan handphone.
Teganya kau Ning. Kau sayat dan memarkan hati ini yang yang tinggal separuh ini—karena separuhnya lagi sudah kuberikan padamu. Kau remukkan segala harapan dan cita-cita kita. Buat apa aku jauh-jauh pergi ke Jakarta kalau tidak untuk pernikahan kita? Buat apa siang dan malam aku membanting tulang memeras keringat kalau tidak untuk meresmikan cinta kita? Buat apa Ning?. Aku penasaran, seperti apa muka calon suamimu Ning. Seperti apa pilihan hatimu. Dan di pernikahanmu nanti aku akan bilang pada calon suamimu itu, “Aku titipkan kekasihku tercinta ini kepadamu, jangan sekali-kali kau menyakitinya”.
Malam menjelang. Langit mulai gelap. Aku sudah hampir terlelap. Bus yang aku tumpangi sudah sampai di Brebes. Sekitar tiga jam lagi aku sampai di Pekalongan, tempat asalku. Segala memar ini masih terasa. Bagimana mungkin memar ini bisa hilang, satu-satunya orang yang menyayangiku dengan gamblang menyakiti, tidak hanya aku, namun juga ibu. Sudah seantero desa tahu kalau Ning adalah calon istriku. Sudah seluruh pelosok desa tahu pula bahwa Ning adalah calon kakak Ipar Rubiah, adik perempuanku satu-satunya. Oleh ibuku, Ning sudah dianggap seperti anak sendiri. Asal tahu saja, Ning sudah yatim piatu sejak kecil. Ia dirawat oleh pamannya yang bernama Slamet—seorang duda yang dulu menikahi adik Ibu Ning.
Slamet adalah seorang guru SD yang berasal dari Cangkringan, Yogyakarta. Ia datang ke kampungku saat era SD Inpres di pertengahan 1970-an merebak. Ayah, Ibu, dan Bu Lik-nya Ning meninggal saat kebakaran melanda Pasar Induk Kabupaten pada awal tahun 1990. Kedua orangtua Ning adalah pedagang di pasar itu. Sedangkan Bu Lik-nya membantu mereka berdua berjualan.. Bagi Lik Slamet—begitu biasanya aku memanggil lelaki paruh baya itu—Ning adalah satu-satunya ember untuk menumpahkan kasih sayangnya kepada seorang anak. Terlebih, Lik Slamet dan Bu Lik-nya Ning belum sempat memiliki anak sampai akhirnya meninggal.
Tengah malam. Kira-kira Jam setengah satu dinihari. Aku tiba di Pekalongan. Kepala serasa mau pecah dan leher serasa mau putus. Aku capai, ngantuk dan pusing. Walau perjalanan kali ini tidak terlalu lama, namun entah kenapa seluruh badanku terasa pegal-pegal. Aku turun di Perempatan Grogolan dan naik ojek ke Pandansari, desa tempat asalku. Hanya butuh waktu sekitar 20 menit aku sudah tiba di rumah. Malam itu kampung sepi. Hanya rumah Lik Slamet yang terlihat masih terang benderang. Di halaman rumah itu nampak beberapa soundsystem yang tersusun rapi. Tak kurang tenda beserta janur kuning menghiasi rumah yang pada hari-hari biasa terlihat sepi. Aku sampai di depan rumahku dan mengetok pintu. Aku pulang.
* * *
Matahari keluar dari peraduannya. Ia mengintip malu di ufuk timur. Burung-burung berkicau. Namun tak seperti biasanya, kicau burung kali ini seperti alunan lagu sendu yang menasbihkan remuknya hatiku. Aku duduk berdampingan dengan Rubiah dan Ibuku di sela-sela hadirin. Kulihat Ning dari kejauhan. Ia nampak pucat. Seakan ada yang menggelayut di hatinya.
Berbeda dengan Ning, Lik Slamet nampak sumringah . Ia berkali-kali menyalami para tamu. Di sebelah Lik Slamet berdiri seorang lelaki tinggi, gemuk dan memakai kaca mata. Dialah calon suami Ning. Kutebak umurnya sekitar 35 tahun. Kata Rubiah, namanya Anton. Ia lulusan Fakultas Ekonomi UGM. “Wah, hebat dong, kerja dimana dia sekarang?”, tanya ku pada Rubiah. “Di Perusahaan asing Mas. Dia orang Sleman. Kenalannya Lik Slamet”, ujar Rubiah.
Kurang lebih, 5 menit lagi Ijab Qabul akan dilaksanakan. Kulihat Anton sudah bersiap-siap. Ia memakai baju batik motif sidomukti berlengan panjang. Dari kejauhan, ia memang terlihat ganteng dan gagah saat mengenakan baju itu. Peci di kepalanya seakan menegaskan bahwa ia adalah orang yang lurus dan tidak suka berbuat macam-macam.
Penghulu sudah menata semua dokumen dan berkas-berkas di meja tempat dilaksanakananya Ijab Qabul. Aku hanya bisa menelan air ludah seraya menahan gumpalan air mata agar tidak menetes. Dan inilah saatnya.
“Baik, hadirin sekalian, akad nikah akan segera dimulai, kami mohon kepada kedua mempelai untuk menuju tempat yang sudah ditentukan”, Ujar penghulu. Penghulu menata semua berkas-berkas itu. IA juga mempersilakan Anton duduk dihadapannya.
Setelah semuanya siap, Penghulu menjabat tangan Anton, dan dimulailah ijab qabul.
“Pada hari ini, saya nikahkan saudari Ningsih Rahayu yang perwaliannya…………….”
“Hentikan!!!!!!!.......Hentikan!!!!!!!”, seorang wanita tiba-tiba merangsek ke dalam.
“Hentikan, Anton adalah laki-laki bejat yang suka mempermainkan perempuan, saya adalah korbanynya yang ketiga, Ia menikahi wanita hanya untuk dijadikan pelacur di Batam”, wanita itu menunjuk-nujukkan jari ke arah Anton. Calon suami Ning itu hanya terheran-heran dan mengernyitkan dahi. Lik Slamet Kelabakan.
“Aku punya bukti kalau anton adalah seorang germo”, ujar wanita itu seraya menunjukkan foto-foto Anton saat berada di sebuah Bar di Batam bersama beberapa wanita. Ning menangis. Aku pun bingung, ada apa ini sebenarnya.
“Ia hanya akan menjadikanmu sebagai seorang pelacur”, wanita itu mengajak bicara Ning. Dan tangis Ning pun semakin meledak hebat.
“Bohong………….bohong!!!!........semua itu tidak benar………….!!!!”, Anton berdiri. Mukanya memerah. Ia mendekati wanita itu dan hendak menamparnya. Namun Lik Slamet menahan Anton.
Beberapa pamong desa yang sudah melihat bukti foto itu lantas memegangi Anton. Segerombolan pemuda bahkan ada yang berteriak , “Udah….hajar……hajar!!!!”. Penghulu segera mengendalikan situasi. Ia memanggil beberapa hansip yang memang sudah berjaga-jaga di sekitar Rumah Lik Slamet. “Bawa dan amankan dulu dia di Balai Desa”, perintah Penghulu pada dua aparat Hansip itu. Dan kedua Hansip itu pun membawa Anton ke Balai desa untuk diamankan. Penghulu memandang Lik Slamet yang masih terlihat tidak percaya kalau peristiwa seperti ini akan terjadi.
“Gimana ini Pak Slamet?”
“Sebentar Pak Penghulu, saya masih bingung”
“Apa kita batalkan saja pernikahan ini?”
“Sebentar, sebentar…..saya tanya Ning dulu”
Lik Slamet melangkah mendekati Ning yang sudah lemas tak berdaya seperti kain basah. Ia membelai rambutnya yang kini sudah terurai karena kondenya lepas. “Piye nduk menurutmu? Kalau menurut Lik, mending kita batalkan saja pernikahan ini”, ujar Lik Slamet. Ning masih sesenggukan. “Piye nduk?”, lanjut Lik Slamet. Senggukan Ning berangsur-angsur berhenti. Ia menegakkan kepalanya. Ia lantas berbicara. Tak lama keduanya masuk ke dalam rumah. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak begitu jelas mendengarnya.
Tak lama kemudian, Lik Slamet berjalan mendekatiku. Ia membetulkan letak peci di kepalanya yang agak miring. Langkahnya mantap dan air mukanya meyakinkan. Ia lantas berbicara kepadaku.
“Mbang, Ning memintaku menikahkan kalian berdua, bersediakah engkau Nak?
Aku bingung. Apa yang sebenarnya terjadi.
“Ning, bilang kalau dia mencintaimu. Lik lah yang memaksanya menikah dengan Anton”
Lik Slamet memegang pundakku.
Apakah ini mimpi?. Kalau ini mimpi tolong bangunkan aku dari mimpi yang melenakan ini?. Siapapun orang yang sedang melihatku tertidur, tolong bangunkan aku.
“Apakah ini mimpi Lik?”, Aku masih tidak percaya
“Bukan, Nak, ini bukan mimpi, ini kenyataan”
“Tolong tepuk pundakku Lik, yang keras, biar aku merasakan dan tahu bahwa ini memang bukan mimpi”, ujarku seraya berusaha meyakinkan diri sendiri. Lik Slamet pun menepuk-nepuk pundakku. Dan aku merasakannya. Ini bukan mimpi!. Ini bukan khayalan!. Aku serasa terbang ke awan dan menaiki burung bangau putih.
“Baiklah Lik, Aku bersedia”, akhirnya aku menyetujui permintaan Lik Slamet. Bukan apa-apa, aku memang mencintai Ning dan aku pun tahu kalau ia mencintaiku. Memang benar kata orang, “Kalau sudah jodoh, tidak akan lari kemana”. Kulihat Lik Slamet menyimpulkan senyum. Ia masih menepuk-nepuk pundakku. Tepukannya semakin lama semakin keras. “Sudah Lik, aku percaya kalau ini bukan mimpi”, ujarku. Namun tepukan Lik Slamet bertambah keras. Ia juga menepuk pipiku. Dan…………………………………......
“Mas, bangun Mas, sebentar lagi sampai di perempatan Grogolan, sampeyan turu kok mandhem temen, tak gugah awit mau ora tangi-tangi”, Kulihat tangan Kondektur masih melekat di Pundakku. “Oh….ah……”, aku limbung. “Mas, sampeyan ora pengin keliwatan to?”, ujar kondektur Bus itu lagi. Ah sial. Ternyata aku tadi cuma bermimpi. Sesak dada ini.
“Sampeyan tidur kok pulas betul, ngimpi opo sampeyan?”
“Ngimpi kawin Mas, tapi nggak jadi”
“Oalah….mungkin perempuan yang ada di mimpi sampeyan itu memang bukan jodoh sampeyan”
“Mungkin”
Bus sampai di perempatan Grogolan. Kondektur itu mengantarku mendekati pintu dan membukakannya.
“Sejak dulu, begitulah cinta Mas, deritanya tiada akhir”, kata Kondektur itu sambil tertawa cekikikan. Aku cuma tersenyum kecut. Aku tiba-tiba jadi benci dengan kondektur itu. Ia tertawa cekikian seperti Pat Kay, murid biksu Tong. Ingin aku memukulnya dengan toya sakti milik Go Kong. Namun hal itu urung kulakukan. Sambil menjinjing tas aku hanya berujar, “Matur nuwun mas”.
Dan besok aku akan benar-benar menghadiri pernikahan Ning.
By Albandary
NB: Mo bikin cerita sedih tapi ga bisa. Beginilah jadinya. Amburadul. Wkkkk