Mohon tunggu...
KOMENTAR
Bola Pilihan

Eksplorasi Archapada 2011

29 Agustus 2014   18:48 Diperbarui: 2 Oktober 2017   03:08 124 0
7 March 2014 at 22:46 EKSPLORASI ARCHAPADA “…Mahameru berikan damainya, di dalam beku Archapada…” [Mahameru, Dewa 19] 2011 silam saya dan beberapa teman [Pipin, Jek Gimbal Pasir, Allank FPL, Zul Equil, dan Nhana] melakukan perjalanan ke Jawa Timur. Saya pribadi mendaki 4 gunung di kawasan ini, yaitu Gn. Lawu [3265 mdpl], Gn. Semeru [3676 mdpl], Gn. Arjuno [3339 mdpl], dan Gn. Argopuro [3088 mdpl]. Perjalanan ini akhirnya membangun sebuah spirit petualangan dari sudut yang berbeda. Kisah adalah sebagian hal yang saya temukan dalam sebuah perjalanan, dan selebihnya adalah hikmah. Begitu pula dengan perjalanan ini, kisah dan hikmah berkolaborasi menyempurnakan legenda. Chairil Anwar, bersabda: “..aku ingin hidup 1000 tahun lagi..”, Rene Descartes, mengaminkan: “..cogito ergo sum..” [aku berpikir maka aku ada], dua kalimat ini membuatku berpikir bahwa sebuah hikmah harus dibagikan, dan kisah harus diceritakan, agar legenda menjadi nyata. Maka segera setelah saya kembali ke Makassar, saya mempersiapkan sebuah tulisan tentang perjalanan ini. Namun memulai adalah suatu hal yang sangat sulit, bukan karena setelah kembali ke kota ini juga diperhadapkan dengan berbagai rutinitas yang membuyarkan perhatian, tapi saya tidak tahu mau mulai dari mana, dan mau tulis apa. Laporan perjalanan seadanya akhirnya masuk ke dalam arsip UKMPA Equilibrium Fekon UNHAS dan FPL Makassar, namun ada sesuatu yang ganjal tatkala sebuah laporan hanya disediakan dengan ala-kadarnya tanpa hati tanpa makna. Selama 2 tahun saya mempersiapkan apa yang saya harus tulis, bukan harus, tapi ingin tulis. Dengan harapan bahwa kisah ini akan kembali diceritakan oleh anak-cucuku kelak. Dan mengapa tulisan ini dilaunch sekarang, mungkin sebuah perjalanan baru harus segera dilakukan. Lawu: setia hingga akhir Gunung pertama yang kami datangi adalah Gunung Lawu [3265 mdpl] di perbatasan Jawa Timur – Jawa Tengah. Base camp di Sukoharjo Solo, membuat kami betul-betul merasakan perbedaan suhu antara Surabaya dan Solo. Kawan dari Adirapala Sukoharjo menemani kami ke Lawu dengan beberapa botol ciu untuk memecah dingin di jalan raya tertinggi di pulau Jawa, Cemoro Sewu. Lawu terkenal dengan upacara Malam 1 Suro, yang mana saat waktunya tiba ratusan bahkan ribuan tradisionalis Kejawen akan mendaki ke Puncak Hargo Dalem. Sebagian menamatkan tapa di Gua Jolotundo, atau sekedar mandi di Sumur Sendang Drajat. Yang pasti tujuan mereka adalah mengheningkan diri di hadapan Petilasan Prabu Brawijaya atau Sunan Lawu di Haro Dalem. Bagiku Lawu adalah kesetiaan, kesetiaaan pada sebuah warisan dan keyakinan pada sebuah hak. Raden Brawijaya dalam legendanya mengasingkan diri ke Puncak Lawu di saat rezim baru hampir menguasai Majapahit, ratusan pengikut setia akhirnya mati mempertahankan hak dan keyakinan serta kesetiaan mereka. Namun Lawu tetap berserah pada yang kuasa, percaya pada takdir, tanpa emosi mengikhlaskan semuanya. Kawah Candra Dimuka yang tidak aktif lagi adalah bukti keikhlasan, dan hal ini yang membuat Bung Karno sangat menghargai Gunung Lawu, saat pemimpin lain berkuda atau ditandu ke puncak Hargo Dumilah, Bung Karno hanya berjalan tanpa alas kaki. Next trip adalah Malang, menunggu kereta sampai lepas dini hari di Stasiun Purwosari akhirnya tiba jam 8 pagi di Stasiun Kota Malang. Base camp di Rumdis Kakudam V Brawijaya, membuat fasilitas lebih memadai kali ini. Pemeriksaan kesehatan diantar sama Provost, bahkan sampai ke Tumpang. Semeru adalah kunci dari perjalanan ini, tapi sebuah pertanyaan yang sering saya dengar saat membaca judul perjalanan kami, Archapada, kenapa bukan Mahameru?? Bagi saya memahami archapada secara komprehensif adalah sudah cukup, dan Mahameru adalah bonus. Archapada Di sebuah lokasi dari Kalimati menuju Pos Arcopodo sampai Kelik dan pelawangan (batas vegetasi dengan pasir), dikenal luas sebuah arca atau tugu yang juga misterius. Eksplorasi ini memiliki tujuan khusus untuk menggali lebih jauh tentang arca ini, yang pada akhirnya tidak bisa mengungkap banyak tentang keberadaan arca tersebut. Dalam bahasa Tengger, disebut Arcapada namun dalam bahasa Jawa disebut Arcopodo. Ini dikarenakan dialek Tengger dan Jawa berbeda pada akhirannya, dimana Jawa vocalnya cenderung berakhir O, seperti Jowo, Jonggring Saloko, 1 Suro, Kasodho dll. Sedangkan dialek Tengger vocalnya cenderung berakhir A, contohnya Jawa, Jonggring Salaka, 1 Sura, Kasadha, dll. Archapada dalam artian harfiahnya, berasal dari 2 kata yaitu, Archa = tugu, dan Pada = Sama. Jadi Archapada berarti Tugu/ arca kembar. Dengan begitu di tempat itu bisa diketahui tidak hanya ada 1 buah arca tetapi ada 2 yang berdiri berdampingan. Fungsi kedua arca ini belum diketahui, sampai kami mengadakan penelusuran sumber-sumber pada legenda-legenda Hindu Kuno di India. Dikatakan bahwa Mahameru merupakan sebuah istana kerajaan yang berada di puncak pegunungan di mana jalan menuju ke sana dibatasi oleh pintu gerbang berupa 2 buah tugu berbentuk arca sebelah-menyebelah, yang disebut Archapada. Jadi secara fungsi, archapada di India dan di Semeru tidak jauh berbeda, merupakan pintu gerbang menuju puncak. Namun yang jadi pertanyaan, mengapa jalan menuju Puncak Mahameru sekarang tidak lagi bisa menyaksikan Archapada. Berbagai sumber kami gali keterangannya, di samping tetap berorientasi pada kebudayaan serta cara berpikir masyarakat Jawa. Kemungkinan pertama, untuk menghindari vandalisme yang sering terjadi setelah budaya pendakian gunung berkembang di tengah masyarakat, maka astral Archapada menyembunyikan perwujudannya dari khalayak umum atau dari kasat mata. Kemungkinan kedua, secara ilmiah, terjadi perubahan jalur pendakian ke puncak Mahameru dalam 2 faktor, sehingga Archapada tidak dilewati lagi setelah bertahun-tahun.  Faktor pertama, struktur tanah di Kelik sampai pelawangan cenderung labil seperti yang bisa disaksikan sekarang sehingga jalur baru cenderung bergeser ke arah kanan jalan menuju puncak, meninggalkan jalur asli dengan Archapada-nya di sebelah kiri. Faktor kedua, setelah melewati pelawangan jalan menuju puncak atau dari puncak merupakan pasir sehingga sangat sulit mengidentifikasi jalur jika tidak ada tanda-tanda (stringline) di jalan apalagi pada dini hari (waktu mendaki ke puncak subuh-subuh). Hal ini ditaktisi dengan menggeser jalur ke sebelah kanan, dengan begitu tanda jalur ke puncak atau dari puncak bisa digunakan Cemoro Tunggal (sebuah pohon cemara yang berdiri tegak di tengah pasir, namun sekarang sudah tumbang) yang berada di hampir pertengahan menuju puncak. Dengan demikian jalur ini yang dipakai sampai sekarang, mengakibatkan jalur asli jauh di sebelah kiri sudah ditinggalkan sejak lama. Hal ini juga bertujuan untuk mencegah jebakan tersesat di Blank 75 (sebuah daerah pasir sebelah kiri jalur di Pelawangan, dengan kemiringan 75 derajat yang berakhir di bibir jurang) yang biasa menelan korban yang turun dari Puncak. Saat korban sudah sampai di bibir jurang di Blank 75, korban baru menyadari bahwa dia tersesat dan sudah tidak punya energi lebih untuk kembali ke jalur yang benar apalagi di tengah panasnya pasir siang hari, ditambah matahari dan memanasnya Kawah Jonggring Salaka. Kemungkinannya jatuh dengan lemas di jurang dengan ketinggian 200 meter sampai dasar di mana Archapada berada, atau mati karena dehidrasi atau gas beracun, dan yang paling kecil kemungkinannya adalah bertahan sampai regu SAR menemukan korban, karena sangat tidak mungkin untuk menyelamatkan diri sendiri dari Blank 75. Ketika harus ditanya apa makna Semeru, kujawab Semeru adalah kemuliaan. Sebab ada hal yang begitu mulia yang tidak bisa dipahami oleh indera, tentang Mbah Hari, tentang Archapada, tentang Ranu Kumbolo, dan kusadar bahwa biarlah itu lestari dalam kerahasiaannya. Sayup kudengar lagu Mahameru karya anonim [bukan lagu Dewa 19]: “dan bila senyum luka terawang di ufuk senja, itu tanda kutiada, dan bila matahari tenggelam di ufuk timur itu tanda kutiada…digenggam desember kau datang padaku, kuingin kau ke lereng semeru, kubelai rambut yang hitam kau tersipu malu, oh indahnya mahameru…direlung bibirmu kurengkuh cintaku, kuingin kau ke lereng semeru, burung-burung pun bernyanyi, alam pun berseri, oh indahnya mahameru…” Berikutnya, ke Gunung Arjuno, namun tim sudah berpisah-pisah disini, sebagian pulang ke Makassar, dan yang bertahan sisa saya dan Zul Equil. Base camp dipindahkan kesekret Mapalipma IPM Malang. Ke Arjuno ditemani Jeremias Binsasi [masih anggota biasa], lewat jalur Purwosari, jalur yang dipenuhi petilasan. Arjuno: sejuta misteri GunungArjuno adalah sebuah gunung satu-satunya di Jawa yang memakai nama seorang tokoh pewayangan dari lakon Bharatayudha. Arjuno menurut pelafalan Jawa,berarti Arjuna, seorang keturunan Pandawa yang menguasai persenjataan-persenjataan modern pada saat perang Mahabharata. Arjuna adalah anak Kunti, yang juga cucu Pandu. Dia juga adalah jelmaan Dewa Indra, yaitu dewa yang paling berkuasa pada zaman bangsa Arya menguasai Hindustan. Dewa Indra mempunyai sifat-sifat prajurit bangsa Arya yang juga menguasai persenjataan. Maka itu Arjuna sangat erat dihubungkan dengan Dewa Indra, apalagi juga mampu menembakkan anak panah dengan akurat yang pada saat itu jarang orang biasa yang mampu. Dipos 1, terdapat satu kompleks petilasan yang dikenal sebagai Gua Ontobugo. Lokasi ini masih tidak terlalu jauh dari desa, sehingga akses ke tempat ini pun masih berupa jalan makadam (jalanan berbatu). Di Pos 2 Tampuono terdapat beberapa petilasan/ situs pertapaan yang dinamai sesuai dengan tokoh pewayangan Jawa. Petilasan-petilasan tersebut seperti Eyang Abhiyoso (bermakna kesederhanaan), Sendang Dewi Kunti (bermakna kesucian) yang merupakan personifikasi sosok ibu Arjuna dalam kisah Mahabharata, Eyang Sekutrem (bermakna ketenteraman), dan Eyang Sakri. Berbeda dengan petilasan  yang lain, petilasan Dewi Kunti memiliki sendang/ sumur yang telah dipermanenkan menjadi bak yang dilapisi porselen. Karena letaknya yang paling dalam, maka sendang tersebut memiliki tujuan bahwa setelah selesai berdoa/ ziarah di petilasan yang lain maka tempat penyucian diri di Sendang Dewi Kunti sebelum naik ke petilasan yang lebih tinggi. Di pos selanjutnya (pos 3), terdapat petilasan Eyang Semar (bermakna kewibawaan). Berbeda dengan petilasan sebelumnya di mana biasanya hanya berupa susunan batu yang di antaranya terdapat batu yang lebih besar dari yang lainnya, dan kemudian diletakkan dalam bangunan berupa ruangan tertutup, Eyang Semar sudah menampakkan sosok batu yang berukir atau memiliki raut muka dan anggota tubuh lainnya. Eyang Semar juga tidak diletakkan di dalam rumah tapi di ruang terbuka yang dibuatkan lantai berlapis porselen. Tidak beberapa jauh kemudian sampai di kompleks Mangkutoromo yang berupa pintu gerbang menuju Candi Sepilar. Mangkutoromo secara harfiah diterjemahkan menjadi Mahkota Raja/Romo/Rama. Di tempat ini terdapat penjaga situs yang bertugas menjaga petilasan tersebut dan menjamu tamu yang datang. Penjaga situs juga terdapat di Ontobugo dan Tampuono. Tidak jauh dari tempat pondokan bapak tersebut, yang juga masih kawasan Mangkutoromo, terdapat arca Bhuto Cakil yang merupakan arca pengawal yang paling besar di kawasan ini. Menurut legenda Jawa, bhuto merupakan sosok makhluk mirip raksasa yang bertugas sebagai penjaga atau kadangkala menjadi sosok antagonis. Karakter Bhuto Cakil ini berbeda dengan arca penjaga lainnya, karena merupakan satu-satunya arca yang dilengkapi dengan senjata berupa pentungan. Menurut penuturan orang, arca ini pernah dicuri dan sempat diangkat sampai pos Eyang Semar, sebelum semua pengangkatnya pingsan kewalahan. Keesokan harinya arca tersebut kembali ke tempatnya semula, di jalan setapak dari Mangkutoromo menuju Sepilar. Obrolan lepas dengan penjaga situs Mangkutoromo, kami diperlihatkan sebuah benda di dalam botol air kemasan. Sekilas mirip sejenis lintah yang berenang dalam air. Namun menurutnya ituadalah akar yang dikenal sebagai akar nimang. Dari kepercayaan masyarakat akar nimang biasa menyesatkan orang-orang ketika di hutan, jika sengaja atau tanpa sengaja dilangkahi oleh orang tersebut. Dari penuturan bapak itu juga, kami baru tahu bahwa dalam tradisi Jawa bepergian jauh atau ke dalam hutan/ gunung sangat tabu untuk berangkat dalam jumlah ganjil. Karena pada saat itu kami bertiga, maka sebagai symbol, bapak tersebut membuatkan tongkat kayu sebagai “teman perjalanan”. Kawasan puncak Arjuno merupakan wilayah berbatu memanjang dari Puncak batu Ogal-Agil sampai ke Pasar Dieng. Dinamakan Batu Ogal-Agil karena dulu ada batu yang terletak di atas batu lainnya dalam keadaan tidak melekat, sehingga bisa bergoyang kesana kemari (ogal-agil). Namun batu tersebut suatu ketika digoyang terus oleh oknum pendaki gunung tidak bertanggung jawab dan lepas dari pijakannya, meluncur bebas ke bawah sampai pecah menjadi beberapa bagian di Hutan Lali Jiwo. Pasar Dieng merupakan kompleks di mana terdapat banyak batu-batu berserakan, besar maupun kecil tersusun seperti punden yang sudah tidak beraturan. Menurut kepercayaan setempat, Pasar Dieng merupakan kawasan pasar makhluk astral sehingga pada malam hari biasa terdengar macam-macam suara dari Pasar Dieng. Suara tersebut biasa berupa suara keramaian, gamelan, sinden dll. Tapi menurut penelusuran suara-suara tersebut kemungkinan berasal dari tiupan angin yang kencang pada malam hari dan berhembus di antara bebatuan sehingga menimbulkan bunyi-bunyi melengking. Jalur Lawang melalui Kebun Teh Wonosari (Shelter I), kemudian berturut-turut akan melewati Shelter II Lincing, Shelter III Mahapena, Hutan Lali Jiwo, kemudian menanjak terus sampai pertemuan jalur Purwosari dan jalur Lawang. Mendaki ke Arjuno, bagi kami selain mendapatkan kepuasan psikologi juga mendapatkan kepuasan pengetahuan tentang budaya pegunungan yang tradisionil. Mendaki ke Arjuno, tidak bisa lepas dari belajar memahami segala sesuatu. Belajar memahami kesetiaan masyarakat terhadap kulturnya dan belajar memahami rantai sebab akibat keberadaan diri kita di tengah-tengah alam dan kultur tersebut. Di Mangkutoromo, pada sebuah plang di pondok penjaga situs tertulis : Lestarikanlah Kebudaya’an Jawa dgn Cara ·        Mencintai Alam ·        Menjaga Kesopanan ·        Menjaga Kebersihan Arjuno adalah “keperkasaan”, perkasa dalam memegang teguh tradisi dan kearifan, walau dalam sepi dan misteri Argopuro: Dewi Rengganis Jeremias Binsasi kembali mengantar kami ke Gunung Argopuro, yang kunamai cinta kasih”. Kepercayaan tentang Dewi Rengganis tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Gn Argopuro. Ada sedikitnya 2 (dua) versi tentang Dewi Rengganis, yang pertama Dewi Rengganis adalah seorang putri Raja Majapahit terakhir (Raden Brawijaya) yang lari menyepi ke Gn Argopuro karena situasi politik yang tidak stabil di istana disebabkan desakan Kerajaan-kerajaan Islam di Pulau Jawa. Versi yang kedua, Dewi Rengganis adalah seorang pangeran yang berpura-pura menjadi putri/ wanita (mirip kisah Srikandi yang kecantikannya menipu Arjuna). Karena kecantikannya, banyak pangeran dan raja dari negeri lain ingin menjadikannya sebagai istri. Suatu ketika ada bangsawan yang sudah siap memperistri Dewi Rengganis, namun karena ketahuan bahwa Dewi Rengganis adalah seorang pria, maka menimbulkan perang antara 2 kerajaan. Akhirnya Dewi Rengganis diusir dari istana dan menetap di Gn Argopuro. Di Gn Argopuro, Dewi Rengganis mendirikan istananya. Sampai sekarang masih dapat disaksikan reruntuhan candi atau bangunan bekas peninggalan masa lampau.  Di Argopuro terdapat dua puncak utama yaitu Puncak Argopuro dan Puncak Rengganis. Puncak Argo yang paling tinggi dan diselimuti oleh pepohonan. Triangulasinya berupa susunan batu bekas arca yang sudah tidak berbentuk. Puncak Rengganis adalah kawasan situs sejarah yang diperkirakan berasal dari zaman Dewi Rengganis. Di tempat itu terdapat bekas kolam pemandian yang kira-kira luasnya 3x7 meter persegi panjang dengan kedalaman 1 meter. Terdapat pula bekas candi/istana lengkap dengan perlengkapan dapur yang terbuat dari batu, seperti lesung bundar. Di sekitar kawah belerang yang sudah mati namun masih berbau menyengat, terdapat 2 punden yang dibuat menyerupai makam lengkap dengan nisannya. Di tempat ini pula pernah ditemukan arca Dewi Rengganis, namun sudah tidak bisa ditemukan hari ini. Seluruh kawasan ini diyakini merupakan kerajaan jin (lelembut) yang tidak kasat mata. Menurut penuturan seorang rombongan MPA Gopala Valentara dari FH-UNS Solo, seorang anggotanya melihat banyak bangunan-bangunan indah saat melintasi Sikasur menuju Sisentor, walaupun yang lainnya tidak melihat apapun. Menurut cerita para pendaki, jika menginap di Sisentor pendaki pria biasa dibuat mimpi basah oleh Dewi Rengganis. Danau Taman Hidup di Jalur Bremi diyakini merupakan tempat pemandian dayang-dayang Dewi Rengganis, yang jika kita berada di tepi danau diharamkan untuk berteriak. Di Sikasur yang merupakan savana yang sangat luas, terdapat bekas bangunan balai konservasi jaman Belanda yang sudah hancur. Di tempat ini juga terdapat bekas lokasi pendaratan pesawat pada zaman penjajahan yang dipergunakan untuk mengimpor rusa-rusa tutul (cervus unicolor) dari luar negeri untuk menjaga keseimbangan ekosistem di daerah ini. Sampun Maturnuwun Mungkin kisah ini hanya terekam begitu saja, seperti gulungan kaset yang dikemudian hari akan berjamur tak bisa didengar lagi lagunya, namun sampai hari itu tiba,biarlah huruf demi huruf ini menceritakan kepada orang bahwa kami adalah bagian kecil dari makrokosmik yang penuh misteri. Kisah dan hikmah yang kami bagikan masih jauh dari kesempurnaan, agar senantiasa mengajak kita untuk maju mendekati, dengan membuat sesuatu yang baru serta terus belajar. Perjalanan ini mencoba untuk tidak selalu memusatkan perhatian pada zat material namun juga pada zat immaterial.  Seperti saya bahasakan pada paragraph ke-tiga di atas, perjalanan baru harus segera dilaksanakan, demi menarik garis yang universal tentang setia-mulia-perkasa-cinta. Tajuknya berlandas pada pemahaman bahwa perjalanan harus terus berlanjut…Coming soon Eksplorasi Archapada 2 : Mina Esa

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun