Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Off The Record dari Istana

23 Mei 2015   12:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:41 1834 9
Masih tentang 13 Kompasianer yang diundang Presiden.

Seperti yang saya tuliskan di postingan sebelumnya, ada hal yang sangat berharga dari pertemuan saya dengan Presiden Jokowi dan Pepih Nugraha. Yaitu soal off the record. Segala hal penjelasan yang sangat-sangat bisa diterima akal namun tidak bisa disampaikan pada publik.

Sebelum Presiden Jokowi datang, Pepih sempat berkomunikasi dengan salah satu kompasianer yang duduk di sebelah saya. Obrolan mereka cukup sengit sehingga akhirnya membuka kotak rahasia Kompasiana. Sebetulnya obrolan ini sudah dimulai sejak di holding room, namun karena kami sudah diminta masuk jadilah di-pause sementara.

Kang Pepih dan kompasianer ini berbicara cukup serius meski pembukaanya hanya basa basi.

"Mas Pepih pernah baca tulisan saya ga?"

"Justru saya sangat memperhatikan tulisan anda"

Apakah kotak rahasia yang dibuka oleh Kang Pepih? Biarlah tetap rahasia. Tapi dari obrolan mereka jujur saya jadi malu karena pernah ingin protes atau mengkritik Kompasiana dari sudut pandang yang mampu saya baca. Rupanya dibalik kekesalan saya dan banyak kompasianer terdapat alasan yang sangat-sangat bisa diterima, namun sekali lagi tidak bisa diungkap ke publik karena mungkin akan menimbulkan suasana yang kurang kondusif, baik bagi kompasianer pun bagi kompasiana sendiri.

Obrolan itu tak berlangsung lama, sebenarnya masih banyak tanda tanya yang belum terjawab, namun karena Presiden Jokowi sudah muncul jadilah bahasan tersebut terpaksa stop sampai di situ.

Rupanya soal kotak rahasia yang dibuka oleh Kan Pepih juga dilakukan oleh Presiden Jokowi. Dari sekian banyak kalimat yang beliau ucapkan, ada beberapa catatan sangat penting yang berhasil menjawab banyak sekali pertanyaan saya selama ini. Sebelumnya saya hanya berprasangka baik pada Presiden Jokowi meski sempat khawatir jangan-jangan beliau sudah terkontaminasi setan politik? Namun setelah beliau berbicara banyak hal, kini saya jadi benar-benar mengerti dan menemukan alasan logis mengapa sebuah kebijakan nampak begitu lama dibiarkan? mengapa kebijakan seperti itu yang diambil? Dan seterusnya.

Namun tentu saja tidak semua ucapan Presiden yang saya dengar langsung waktu itu bisa saya tuliskan dan jelaskan di sini. Isu nasional sudah cukup riuh, kalau saya tambahkan lagi mungkin akan tambah riuh dan mengundang lebih banyak tanda tanya lagi.

Tapi ada satu penjelasan yang sebenarnya sudah banyak diberitakan di media namun masih kurang lengkap. Kita pernah dikagetkan dengan pernyataan polos Jokowi "saya ga tau, ga baca" soal perpres tunjangan mobil. Sontak saja pernyataan beliau disambut manis oleh hatersnya, "besok ajuin proposal ah, siapa tau beruntung, toh Presidennya ga baca" dan masih banyak lagi. Yang paling keras tentu mereka yang mencaci maki Presiden Jokowi goblok, bego dan seterusnya.

Khusus soal ini saya rasa boleh-boleh saja dibuka di sini. Menurut Presiden, di meja kerjanya itu ada banyak tumpukan dokumen yang perlu beliau tanda tangani setiap harinya. Dokumen tersebut dibedakan menjadi beberapa tanda warna seperti rambu lalu lintas, merah, kuning dan hijau. Untuk dokumen tanda warna merah Presiden harus membacanya secara detail dan terperinci. Sementara kuning boleh tidak dibaca atau dibaca tapi tidak perlu terlalu detai dan warna hijau tidak perlu dibaca lagi.

"Kebetulan yang kemarin itu warna hijau, jadi langsung saya tanda tangani" ujar beliau terkekeh "dari dulu ya begitu. Namanya Presiden. Kalo semuanya harus saya baca, ya saya jadi Presiden TU. Kerjanya baca dokumen tiap hari" tambahnya yang membuat saya dan teman-teman kompasianer tertawa serempak.

Perpres tunjangan mobil tersebut menurut Presiden sudah diparaf oleh beberapa menteri. Biasanya dokumen tanda hijau sudah melalui pemeriksaan, saringan dan persetujuan beberapa orang sebelum Presiden membubuhkan tanda tangan. Sampai di sini jika pembaca menganggap saya membela, silahkan saja. Di sini saya hanya ingin memberi penjelasan agar kita semua mengerti. Karena jujur saja sayapun sempat mengernyitkan dahi keheranan bagaimana bisa Presiden tidak membaca yang ditandatanganinya? Mana bisa Presiden keluarkan perpres yang memboroskan sementara meminta rakyat untuk berhemat? Namun pada pertemuan kemarin saya jadi tersenyum malu mendengar cerita beliau yang terbuka apa adanya. Malu karena sok tau, malu karena sudah negative thinking.

Bagaimanapun Presiden Jokowi sama sekali tidak menambahkan warning "yang ini off the record ya!" atau "yang ini jangan diceritakan ke publik." Beliau sangat percaya pada kami yang hadir dan mengalir saja dengan beberapa bahasan yang cukup sensitif jika diberitakan media mainstream.

Mencari logikanya sendiri atau pembenaran

Sebagai orang yang selalu mengedepankan logika, saya selalu menemukan alasan logis dari setiap tindakan atau kebijakan Jokowi. Semua logika tersebut tentu saja saya dapat dari banyak kasus politik dalam pelajaran hukum Malaysia saat kuliah dulu dan studi kasus beberapa kebijakan PM Mahathir yang pada saat beliau memimpin sering menimbulkan banyak tanda tanya.

Orang-orang yang kontra dengan Jokowi sudah berulang kali mengatakan saya dan pendukung Jokowi selalu mencari pembenaran, selalu membela. Sayapun sempat berpikir jangan-jangan saya sudah kebablasan dalam memberi alasan? Namun saya bersyukur ditaqdirkan diundang beliau ke istana negara dan mendengar beliau berbicara live di depan saya menjawab banyak pertanyaan teman-teman yang lain.

Saya kemudian sadar bahwa sangat tidak mudah berada di posisi Presiden Jokowi. Dengan beban masa lalu yang belum selesai dan tugas baru masa depan yang menantang, ada banyak hal yang beliau harus atur dan prioritaskan.

Sepulang dari istana saya malu kepada tiga orang sekaligus. Pertama pada Mbak Niken, saya sempat berprasangka buruk bahwa ini undangan hoax dan sebagainya. Kedua pada Kang Pepih, saya sempat berprasangka buruk serta ingin menuliskan artikel protes dan kritik terhadap 'sesuatu' yang terjadi pada Kompasiana. Dan yang terakhir pada Presiden Jokowi, saya sempat ingin berhenti mendukung beliau melihat banyak blunder yang beliau ciptakan. Saya ingin lepas dari barisan pendukung dan balik mengkritik seperti beberapa teman yang lain. YOU KNOW WHO!

Dari tiga orang tesebut, saya hanya sempat meminta maaf pada Mbak Niken. Sementara pada Kang Pepih dan Presiden Jokowi, tidak sempat mengatakan ini. Tapi ya sudah saya katakan di sini saja karena mungkin beliau membaca. Saya minta maaf untuk Kang Pepih atas semua prasangka buruk saya dalam pengelolaan dan kebijakan di Kompasiana. Saya minta maaf pada Presiden Jokowi karena berkali-kali sempat berprasangka buruk dengan kebijakan bapak.

Belajar mengerti sebelum menghakimi

Sebagai analyst sebenarnya merupakan dosa besar ketika kita terburu-buru menyimpulkan, bahkan berprasangka pun sebenarnya tidak dibolehkan. Semua data harus dikumpulkan untuk menunjang faktor, semua indikator harus dimengerti dan difahami searah sebelum menentukan right or wrong. Namun harus diakui semua itu pernah saya lakukan.

Buat pembaca yang budiman, sebenarnya tidak penting kalian adalah pendukung Jokowi atau bukan. Pembenci Pepih atau bukan. Semua ini hanya soal penjelasan dsn logika pertimbangan bahwa tidak semua perlu diungkapkan. Kadang beberapa rahasia tetap harus menjadi rahasia agar tidak tambah menimbulkan tanda tanya. Kadang sebagai pemimpin, kita harus diam dan menerima cacian sebagai konsekuensi paling tidak beresiko.

Jadi setelah ini, jika ada kebijakan yang dibom oleh media atau kita rasakan di Kompasiana, jauh sebelum mengkritik atay protes, sebaiknya perhatikan dulu dan coba mengerti.

Mbak Niken pemimpin rombongan ini untuk masuk ke istana. Kang Pepih pemimpin Kompasiana dengan segala kebijakannya. Dan Jokowi adalah Presiden Republik Indonesia yang pasti menghadapi lebih banyak tantangan. Daripada kita sibuk mengkritik, sebaiknya coba mengerti. Daripada kita sibuk mencaci, sebaiknya mulai mendoakan agar semuanya berjalan lebih baik lagi. Jangan sampai cacian kita melebihi doa untuk pemimpin seperti Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Bos perusahaan dan pemimpin lainnya. Atau malah jangan-jangan sebagian kita sedang berdoa semoga digagalkan saja? Naudzubillahi mindalik.

Kini pilihannya hanya dua dan itupun sama-sama benar, seperti dua sisi mata uang. Berusaha mengerti dan mendoakan atau terus mencaci dan menebar kebencian. Lalu bagaimana dengan kritik? Ya menurut saya kritik adalah jalan tengah yang pada akhirnya mengarah pada sok tau dan menebar kebencian. Persis seperti saya yang sok tau soal 'sesuatu' di Kompasiana ini padahal tidak tau sama sekali. Tapi kalaupun tetap mau mengkritik saya rasa bagus sekali. Hanya saja pastikan diri kita benar-benar tau dan mengerti, jangan sampai terulang kasus kancing jas yang penulisnya sok tau padahal salah, sudah ditegurpun tetap tak merasa salah.

Tulisan ini murni sebagai teguran pada diri penulis sendiri sebagai orang yang berkali-kali berprasangka buruk. Jika sebagian pembaca pernah merasakan hal yang sama atau merasa tersindir, ya itu bukan urusan saya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun