Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Belajar dari China, Singapura, dan Malaysia

3 Oktober 2014   16:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:32 1081 5
Pada tahun 1980-an, pemerintah China mengeluarkan kebijakan pelarangan memiliki anak lebih dari satu. Ini karena pemimpin negara beserta para pembantunya sudah sangat terdesak untuk menahan laju pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol.

Pemerintah membatasi masyarakat perkotaan untuk memiliki anak lebih dari satu, dan dua anak bagi masyarakat pedesaan jika anak sulungnya adalah perempuan. Siapapun yang melanggar aturan ini akan dikenakan biaya besar, penyitaan properti sampai ancaman kehilangan pekerjaan.

Larangan yang dianggap baik tersebut rupanya mengandung resiko. Sehingga yang terjadi adalah buruknya regenerasi dan tidak seimbangnya rasio jenis kelamin. Generasi tua mendominasi di segala bidang pekerjaan dan industri, sementara generasi muda sangat sulit ditemui. Jumlah lelaki juga menjadi lebih banyak karena masyarakat menghindari melahirkan anak perempuan dengan segala cara, termasuk salah satunya adalah aborsi.

Pada tahun 2013, larangan tersebut dicabut karena pembatasan yang ketat dianggap berpotensi merusak pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut kemudian disetujui oleh mayoritas parlemen.

Hal ini juga terjadi pada negara tetangga kita, Singapura. Pada tahun 1960-an, pemerintah sangat mengkhawatirkan ledakan penduduk dan bisa mengancam stabilitas negara dari segi ekonomi dan pembangunan.

Pemerintah memberikan hukuman bagi keluarga besar, melegalkan aborsi serta menghadiahi sterilisasi. Dengan slogan "stop pada dua anak" program tersebut berjalan sangat efektif sehingga angka pertumbuhan benar-benar menurun. Singapura kemudian menjadi negara dengan tingkat kesuburan paling rendah di dunia.

Persis seperti China, Singapura kemudian dihadapkan pada beberapa masalah stabilitas negara dan jauh lebih mendesak daripada China. Pemerintah kemudian mensponsori kampanye perjodohan dan peningkatan kesuburan. Slogan "stop pada dua anak" kemudian diubah menjadi "miliki tiga anak, atau lebih jika mampu" sejak tahun 1987.

Namun nasi sudah menjadi bubur, setelah bertahun-tahun sosialisasi dan kampanye secara massif, rupanya kebiasaan tidak memiliki anak dan nyaman dengan pola hidup seperti sebelumnya sudah terlanjur mendarah daging. Apa penyebabnya? Persis seperti beberapa atau kebanyakan masyarakat Indonesia yang tidak peduli dengan iklan BKKBN. Psikologi dasar manusia cenderung akan melakukan sesuatu yang diinginkan, tak peduli dengan apa yang dikatakan pemerintah. Maka tak jarang masyarakat kita dengan lantangnya bilang "anak, anak gue. Kenapa lu yang repot?!". Hal ini juga terjadi di Singapura dengan situasi terbalik. Yakni: ketika seseorang sudah nyaman tidak memiliki anak, maka apapun yang dikatakan pemerintah kita tidak akan begitu peduli.

Untuk menambal lubang permintaan dan kebutuhan yang sangat tinggi, sementara waktu pemerintah kemudian merekrut pekerja asing profesional guna membangun negaranya. Jika untuk merekayasa ekonomi negara tanpa sumberdaya itu mampu menjadi negara kaya di dunia, maka tidak sulit bagi Singapura untuk menarik orang asing untuk mau tinggal di negara kecil tersebut.

Namun lagi-lagi respon positif dari imigran profesional kemudian menimbulkan masalah baru. Singapura saat ini mendapat banyak kecaman dari beberapa ormas dan komunitas akibat jumlah pendatang asing yang sangat tinggi. Bagaimanapun dominasi pendatang asing harus segera dihentikan, untuk itu pemerintah Singapura kembali bereaksi dengan memberikan bonus kepada keluarga yang baru melahirkan anak.

Berbeda dengan China dan Singapura, Malaysia memiliki kebijakan yang jauh lebih efektif karena kontrol terhadap pertumbuhan penduduk tidak diterapkan secara ketat dengan aturan dan kebijakan yang akan membuat warganya terpaksa patuh.

Perdana Mentri Mahati Muhammad menyampaikan gagasanya pada forum UMNO (nama partai pemerintah sampai saat ini) pada tahun 1982. Beliau justru berpendapat bahwa Malaysia akan mencapai puncak kejayaan pada angka penduduk 70 juta. Target tersebut diprediksi akan dicapai dalam kurun waktu lebih dari 100 tahun.

Beliau berpendapat bahwa jumlah penduduk di Malaysia sangatlah kecil, mengingat luas wilayah mereka adalah 334,000 Km sementara penduduknya pada saat itu berada pada kisaran 15 juta jiwa. Dibandingkan dengan negara tetangganya yakni Thailand, dengan luas wilayah 514,000 Km memiliki jumlah penduduk 50 juta jiwa.

Meski begitu, Mahathir tidak serta merta langsung mengkampanyekan secara massif agar masyarakat 'memproduksi' anak lebih banyak dari sebelumnya. Tak ada slogan stop dua anak, atau tiga anak lebih baik seperti yang dilakukan oleh Singapura. Beliau lebih terfokus pada sumberdaya dan sarana yang dibutuhkan guna menjawab pertambahan penduduk.

Pemerintah melalui JKK (Jumlah Kadar Kesuburan) kemudian membuat beberapa prediksi serta paket yang harus dilaksanakan berdasarkan persentase pertumbuhan. Mereka memperhitungkan jika pertumbuhan penduduk mencapai 4%, maka 70 juta jiwa akan dicapai pada tahun 2045. Perhitungan ini dibuat bertingkat, berikut konsekuensi yang harus diterima oleh Malaysia.

Untuk itu, pemerintah berhitung tentang sumber daya yang dibutuhkan agar pertumbuhan penduduk tidak menjadi bencana. Maka dari itu pemerintah mempertimbangkan ketersediaan makanan, perumahan, pekerjaan, kesehatan, air serta penggunaan tenaga minyak dan gas.

Meskipun tidak ada larangan batasan memiliki anak, namun pemerintah secara tidak langsung sudah memiliki megaplan untuk merekayasa secara alami dan bertahap agar pertumbuhan penduduk menjadi searah dengan prediksi dan antisipasi pemerintah.

Setidaknya ada dua rekayasa yang saya ketahui sejak berada di Malaysia (2009-2013), yaitu:

1. Kursus pernikahan

Kursus pernikahan ini menjadi kewajiban bagi setiap pasangan sebelum menikah. Dibuktikan dengan adanya sertifikat. Kursus ini menjadi mata kuliah kategori wajib negara pada setiap universitas yang ada, selama satu semester. Biasanya mata kuliah ini ada pada ujung semester saat calon sarjana atau diploma dimungkinkan untuk menikah pasca kelulusanya.

Bagi yang tidak kuliah, bisa mengambil kursus di luar universitas yang diadakan oleh JAWI (Jabatan Agama Islam Wilayah Persekutuan) yang nantinya sertifikat tersebut sama persis seperti yang didapat di universitas, dikeluarkan oleh JAKIM (Jabatan Agama Kemajuan Islam Malaysia).

Dalam kursus ini tentunya akan ada banyak arahan dan pelajaran untuk membina keluarga yang berkualitas, dengan harapan nantinya output mereka benar-benar memberikan kontribusi kepada negara. Biaya yang lumayan mahal dan program kursus yang cukup panjang bisa menjadi alasan seseorang menunda untuk menikah. Dan kalaupun sudah memiliki sertifikat, maka kemungkinan memiliki kesadaran dan pengetahuan seputar keluarga serta regenerasi berkualitas bisa menjadi lebih baik ketimbang tidak sama sekali.

Kursus pra nikah juga ada di Singapura dengan program yang hampir sama. Namun bedanya, di Singapura pasangan datang secara bersamaan. Sementara di Malaysia sudah menjadi mata kuliah wajib sebagai syarat kelulusan, sehingga banyak pasangan yang sudah mengantongi surat izin menikah setelah lulus.

2. Usia minimal perempuan untuk menikah

Pada tahun 2000 sudah ditetapkan usia minimal pernikahan pertama bagi perempuan adalah 25.1 tahun. Sebelumnya sejak tahun 1980 usia minimalnya adalah 23.5 tahun.

Hal ini juga secara tidak langsung memperlambat angka pertumbuhan penduduk, sebelum pemerintah siap menampung 70 juta jiwa pada tahun 2100 dengan segala fasilitas dan sarana yang memadai.

Meski begitu, pemerintah tidak menjelaskan bahwa ini guna menahan lonjakan pertambahan penduduk agar masyarakat tetap tenang dan bisa memilih untuk memiliki anak berapapun yang mereka mau. Strategi inilah yang saya rasa dimaksud oleh Mahatir sebagai kontrol dan rekayasa pertumbuhan penduduk secara sederhana dan alami. Karena meskipun ada kewajiban kursus menikah serta batasan minimal usia pernikahan pertama pada perempuan adalah 25.1 tahun, pemerintah tetap memberi bonus bagi keluarga yang memiliki 5 anak dan bagi pasangan yang menikah muda (25 tahunan).

Indonesia tentu tidak bisa meniru China dan Singapura yang sangat otoriter kepada rakyatnya. Rasanya, tidak akan ada undang-undang seperti itu yang akan dikeluarkan oleh DPR karena berpotensi menimbulkan perlawanan. Lagipula China dan Singapura terbukti bermasalah setelah menerapkan kebijakan membatasi jumlah anak pada satu keluarga.

Melihat kesuksesan Malaysia yang secara tidak langsung menahan laju pertumbuhan penduduk tanpa larangan atau slogan-slogan kampanye, rasanya ini bisa juga diterapkan di Indonesia.

Kalaupun BKKBN 'terlanjur' mengkampanyekan "Dua anak cukup", rasanya hal tersebut bisa diteruskan mengingat jumlah rakyat Indonesia jauh lebih banyak dari Malaysia, sehingga pengelolaanya pun sangat rumit. Lagi pula kampanye ini hanya akan menyentuh sebagian masyarakat, sementara sebagianya lagi akan memilih memiliki anak sebanyak mereka mau. Jadi kemungkinan sirkulasi dan pertumbuhan penduduk bisa berkembang secara alami melalui cara ini, sebagai pengganti dari penetapan usia minimal pernikahan pertama perempuan seperti yang dilakukan oleh Malaysia. Atau bisa juga menerapkan undang-undang yang sama, selain untuk memperlambat pertumbuhan juga guna meminimalisir kecelakaan kehamilan jika si perempuan belum cukup matang.

Selanjutnya, untuk sertifikat wajib sebagai syarat sah menikah resmi di Indonesia rasanya akan membebankan masyarakat yang masih berpendapatan rendah, jika biaya yang dikenakan cukup mahal. Untuk itu, mata kuliah kursus pernikahan di tingkat universitas sepertinya perlu ada. Dan bagi masyarakat yang tidak kuliah, tetap wajib mengikuti kursus pernikahan. Bisa dengan ceramah atau kuliah singkat sebelum kedua pasangan resmi menjadi suami istri, tentunya dengan biaya yang terjangkau atau gratis. Dengan ini diharapkan akan lahir keluarga yang lebih berkualitas, berapapun jumlah anaknya.

Terlepas dari angka-angka jumlah penduduk, pemerintah seharusnya lebih memperhitungkan sarana prasarana pendukung untuk menampung jutaan rakyatnya. Karena bagaimanapun, jumlah penduduk yang besar = pasar yang potensial. Jika kita bisa menekan barang dan kuantitas impor, maka sebenarnya negara sangat diuntungkan.

Malaysia sendiri sedang bersiap menyambut 70 juta warganya. Saat ini mereka sedang berhitung kebutuhan masyarakat, melalukan pembangunan infrastruktur besar-besaran, namun tetap menjaga dan memfasilitasi petani serta nelayan guna meminimalisir jumlah impor kebutuhan pokok masyarakat. Mereka juga terus berinovasi di bidang tekhnologi. Proton sebagai perusahaan mobil nasional terus berkembang pesat.

Kunci penting dari semua target tersebut, saya rasa adalah pendidikan. Masyarakat yang berpendidikan secara otomatis memiliki emosi dan keterampilan yang lebih baik. Pemerintah Malaysia memberi pinjaman dana pendidikan kepada seluruh warganya dengan syarat rendah, sehingga tidak ada alasan yang miskin tidak bisa kuliah. Pinjaman tersebut juga meng-cover uang saku/living cost. Syaratnya hanya KTP lokal dan nilai setiap semester tak boleh kurang dari IPK 2.0. Bagi yang memiliki IPK 2.75 ke atas akan mendapat potongan bayaran. Bahkan bagi yang mendapat 3.5 dari awal sampai akhir, secara otomatis mereka tidak perlu membayar hutang pinjaman kepada negara.

Saya rasa, suka tidak suka Indonesia harus menyiapkan pendidikan yang bisa dijangkau oleh semua lapisan masyarakat sesegera mungkin. Agar pertumbuhan jumlah penduduk benar-benar menjadi bonus demografi. Didukung dengan sumber daya alam yang sangat melimpah, saya rasa dengan sumber daya manusia yang berkualitas maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari pertumbuhan penduduk.

SUMBER REFERENSI

● National Population Conference Kuala Lumpur

● www.pmr.penerangan.govt.my

● www.dailymail.co.uk

● www.jomkahwin.my

● www.republika.co.id

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun