Mungkin pertanyaan di atas sempat juga mampir pada kalian rekan-rekan kompasianer? Sudah lama sebenarnya pertanyaan itu muncul dari teman yang baru kenal lewat facebook. Saya berpikir dia tertarik dengan salah satu tulisan saya, lalu bertanya seperti itu.
Jujur awalnya saya tidak pernah berpikir akan ada orang bertanya seperti itu. Inilah yang kemudian menyita perhatian dan menanyakan pada diri sendiri. Iya ya, kenapa tidak dikirim ke koran lokal atau nasional? Ya sudahlah, saya iyakan saja. "Mungkin nanti dikirim, terima kasih saranya."
Itu pertanyaan sekitar 2 tahun yang lalu. Belakangan ada yang menanyakan hal serupa. Maka sebelum tidur semalam saya menyempatkan berpikir dan menuliskan catatan ini.
Awalnya saya menulis di blogspot tentang cerita sehari-hari. Puisi atau prosa. Untuk apa? Eksistensi saja. Karena pada tahun 2008an nampak keren punya blog sendiri. Kemudian sejak boomignya facebook, saya mulai mundur teratur dan merasa nyaman menulis di sosmednya Mark.
2011 saya bertemu kompasiana. Dari sinilah awal semua cerita ini dimulai. Saat masuk ke halaman kompasiana, saya mendadak menjadi Alan Budiman. Alan ini sebenarnya nick name dari Alifurrahman (al-an) dan Budiman saya pilih untuk menambah kesan keindonesiaan yang kebetulan waktu itu sedang naksir berat dengan peserta Indonesias got tallent, Elno Budiman.
Perlahan tapi pasti saya mundur teratur dari kanal fiksi. Saat itu sedang semangat berdebat soal KPSI vs PSSI. Ya ini juga salah satu alasan saya bergabung. Supaya bisa ikut komentar dan menuliskan sesuatu.
Banyak sudah (menurut diri sendiri) yang saya tuliskan. Dari TKI, Malaysia, Politik, Bola sampai cerita perjalanan hidup yang coba saya kemas agar bisa bermanfaat bagi orang lain -belajar dari kompasianer.
Meski menulis tetap sebagai eksistensi, unjuk gigi atau apalah namanya, belakangan saya mulai menyadari keberadaan tagline sharing and connecting di kompasiana. Meskipun blogpspot sebenarnya juga bertujuan untuk itu, tapi kompasiana berhasil mengemasnya dengan cerdik. Menyatukan semua penulis ke di bawah satu atap.
Segelintir tulisan saya pernah diganjar HL atau TA dan jarang sekali masuk kolom ter. Karena menurut penelitian non formal, kolom tersebut lebih dikuasai oleh penulis yang memiliki banyak pengikut atau penulis yang rajin 'blusukan' ke tulisan member lainya. Dan saya sadar diri bahwa saya bukanlah salah satu atau keduanya. Saya termasuk yang sangat jarang memberi komentar atau terlibat komunikasi aktif.
Pernah sekali tulisan tidak sengaja dimuat oleh Freez dan sekali disengaja (memang menulis sesuai tema). Dua edisi setelahnya Freez pensiun dan berencana akan diganti ke majalah digital.
Jika mengingat perjalanan selama di Kompasiana. Saya rasa sudah bisa menjawab kenapa tidak mengirimnya ke koran lokal atau nasional?
1. Waktu
Untuk mengirim ke koran nasional seorang penulis perlu mengirimkan naskahnya dan menunggu terbit. Jika tidak lolos, baru dibolehkan mengirim ke koran yang lain. Katanya, ini etika penulis. Bandingkan dengan Kompasiana yang bisa seketika terpublish dan orang bisa langsung membacanya. Tanpa menunggu waktu yang cukup lama.
Meski memang di Kompasiana ini tidak ada honor meski tulisan kita masuk HL atau dibaca ratusan ribu viewer. Seberapa bermanfaatnyapun sebuah tulisan, tetap tidak ada honor bagi penulisnya. Saya pikir tim admin kompasiana sudah mulai memikirkan hal ini, dimulai dengan verifikasi serta verifikasi biru.
Tentu ini berbeda dengan mengirim tulisan ke koran nasional ataupun lokal. Tapi kalau tujuan menulis untuk menyebar pengetahuan, saya rasa kompasiana jauh lebih efektif. Karena harus diakui, kini kompasiana menjadi trend baru yang nyaris sejajar dengan media mainstream.
2. Keterbacaan
Jika mengirim ke koran cetak dan tulisan kita terbit, saya pikir potensi tulisan kita dibaca orang tidak terlalu tinggi. Saya rasa persentasenya sekitar 5-10% dari keseluruhan koran terjual pada hari tersebut, karena harus berdesakan dengan banyak tulisan di dalamnya.
Berbeda dengan kompasiana yang kini hitungan hits diubah menjadi hitungan per-IP. Jadi kalau ketika orang buka tulisan kira 3 kali atau lebih untuk saling balas komentar atau sekedar mengikuti diskusinya, angka hits tetap 1. Jadi harap maklum jika ada kompasianer yang sebelumnya berbangga tulisanya dibaca 1 juta orang harus mengakui bahwa itu hanya jumlah hits perklik. Dulu satu orang bisa klik 10 kali, dan hits bertambah 10. Sekarang, meski mau diklik 1000 kali, tetap hitsnya 1. Kecuali ada seseorang yang mau buka tulisanya dari 10 perangkat berbeda, maka jumlah hitsnya akan bertambah 10.
Melihat keterbacaan kompasiana cukup menggembirakan, maka saya pikir di sinilah tempat yang lebih pas. Maka jangan heran kalau Yusril, Faishal dan JK yang saya yakin tulisanya diburu media masih mau menuliskan sesuatu di kompasiana.
3. Arsip dan interaksi
Di kompasiana ini penulis dan pembacanya bisa saling balas komentar. Terserah pujian sampai cacian, admin memberi kelonggaran yang luar biasa. Sisi positifnya kita bisa mengenal karakter penulis atau pembaca. Hal ini tidak akan terjadi di koran cetak.
Selain itu juga sebagai arsip. Karena sampai kapanpun selama kompasiana masih hidup, maka tulisan kita bisa dilihat dan dibaca orang kapanpun dan di manapun. Berbeda dengan koran cetak yang hanya sekali terbit, dan setelah itu sering berakhir di tong sampah atau penjualan kertas kiloan.
Mungkin inilah 3 alasan logis yang bisa saya tuliskan sekarang. Karena jika tujuan menulis untuk menyebar pengetahuan, maka kompasiana sangat ideal dibanding koran mainstream atau blogspot dan sebagainya. Tak heran jika pesaing kompas mulai membentuk komunitas serupa, meski saya pikir kompasiana sudah terlanjur menjadi pelopor dan memiliki banyak member.
Jika pada akhirnya kompasiana berhasil memberi honor bagi penulis dengan syarat keterbacaan, kualitas tulisan, konten dan sebagainya, maka saya sangat yakin kualitas tulisan kompasianer juga akan otomatis lebih berbobot dan akan digarap serius. Kalau sekarang, ya harus jujur, kebanyakan kita atau mungkin cuma saya, yang menulis tanpa edit. Asal pesan sampai ke masyarakat, selesai. Merasa bahwa masyarakat bisa memaklumi salah ketik.
Meskipun para kompasianer memang tidak mengejar honor, mereka menulis karena ingin berbagi, tapi tetap saja dalam teori ekonomi modern uang bisa membuat orang lebih serius melakukan sesuatu. Jika banyak kompasianer menulis dengan serius dan teliti, maka pasti berimbas pada kompasianer yang lain. Akan ada rasa malu jika harus menyuguhkan tulisan kocar-kacir seperti tulisan saya kebanyakan.
Puncaknya, bukan tidak mungkin wartawan koran sebelah sambil nyambi di kompasiana. Hehe oke sebelum semakin panjang kali lebar, cukup sampai di sini dulu.
Semoga bermanfaat.