Saya masih ingat betul ketika baru menyalakan HP, ragam broadcast masuk yang rata-rata berisi kontroversi pemilihan mentri kelautan dan perikanan, yakni Bu Susi Pujiastuti. Mereka-mereka ini sadar betul dan bahagia sekali menemukan kenyataan bahwa Bu Susi tidak tamat SMA, bertato dan merokok. Saat membaca 'ocehan' teman-teman yang memang sering saya bantai habis saat pilpres, saya kebingungan mau menjawab. Badan masih remuk dan penat, sementara lidah dan perut begitu merindukan makanan yang dimasak serius -karena di gunung makan apa adanya. Ya sudah, supaya BBM tidak berbunyi lagi, saya tulis status "saya baru turun Semeru. Belum baca koran sejak 3 hari yang lalu" Dan rupanya status tersebut malah membuat teman-teman semakin tertawa merdeka.
Jujur saja, apa yang ada di pikiran anda ketika mendengar deskripsi Bu Susi seperti itu? Tidak tamat SMA, merokok dan bertato? Menjadi mentri karena sering meminjami Jokowi pesawat Susi Air untuk keperluan kampanye.
Perlahan tapi pasti akhirnya saya menemukan siapa sosok Susi ini. Meski tidak meladeni ocehan teman-teman, setelah 2 bukan bekerja kini semua bungkam dan tidak lagi mempersoalkan lulusan SMPnya Bu mentri. Soal rokok dan tato sudah saya tuliskan di postingan sebelumnya berjudul "Belajar Hidup dari Bu Susi". Namun rasanya tulisan tersebut kurang lengkap dan perlu saya turunkan artikel tambahan.
Menarik untuk dicari tahu, bagaimana seorang Susi kemudian memilih berhenti sekolah? Andai saya di posisi beliau, saya tidak bisa membayangkan bagaimana marah dan geramnya keluarga. Ini juga yang terjadi pada Bu Susi, satu tahun hidup satu atap dengan ayah ibunya, namun tidak saling berkomunikasi layaknya anak dan orang tua.
Bu Susi saat kelas 2 SMA memilih berhenti sekolah atas dasar kemauan sendiri. Bukan karena tidak ada biaya atau tidak mampu menjangkau pelajaran. Beliau lahir dari kalangan sangat mampu dan menjadi juara kelas sejak masih SD. Sampai di sini saya mulai mengerti, bahwa pilihan Bu Susi keluar dari SMA adalah karena beliau tidak menemukan sesuatu yang diinginkan.
"Apa yang anda inginkan waktu itu?" Tanya Pak Rhenald Kasali di wawancara rumah perubahan beberapa tahun yang lalu, sebelum Bu Susi dikenal khalayak dan menjadi mentri "menjadi owner bisnis penebangan, exportir hasil laut, itukah yang anda inginkan saat itu?"
"Oh nggak Pak Rhenald. Jujur saya juga kurang jelas dengan apa yang saya inginkan waktu itu. Tapi itu ada di luar lingkungan sekolah. Waktu itu sederhana saja, saya ingin mandiri. Caranya ya saya harus keluar dari sekolah" jawab Bu Susi.
Sampai di sini saya merasa bahwa Bu Susi di usia remajanya memang memiliki jalan pikiran yang sudah jauh di atas mayoritas teman seumuranya. Bacaan beliau adalah buku-buku 'berat' seperti filsafat mahabrata dan beberapa buku yang asing di telinga saya, bahkan beberapa diantaranya beliau baca saat masih SD. Anda bayangkan saja sendiri, saat SD saya masih membaca majalah Bobo atau buku-buku tipis dengan bahasa ringan, sepertinya anda juga begitu ya? Hehe
Satu hal lagi yang Bu Susi lakukan saat masih SMP dan SMA adalah menonton pewayangan semar. Pak Rhenald dibuat kaget saat mendengar jawaban tersebut. Awalnya beliau ditanya siapa tokoh favorit seorang Susi? Pak Rhenald kemudian membacakan beberapa tokoh dunia penerbangan yang sangat fenomenal "paling tidak, Habibie" begitu pungkasnya.
Bu Susi sempat kebingungan menjawab sebelum akhirnya menjawab Semar. Kenapa Semar? Semar ini adalah tokoh yang menjalani hidup dengan cara-cara sederhana, bijak dan lucu. Ada banyak hal yang sangat bisa menginspirasi kita untuk melalui permasalahan kehidupan yang sebenarnya bisa selesai dengan cara sederhana dan fun. Begitu kira-kira keterangan beliau.
"Tapi Semar ini kan munculnya malam. Berarti anda saat masih SMP sering keluar malam?" Kejar Rhenald.
"Oh ya. Semar ini baru keluar sekitar pukul 1 dinihari" jawab Bu Susi.
Bagi saya, ini keterangan yang lebih gila lagi. Di kehidupan saat ini, jika ada anak perempuan keluar malam, tetangga akan berisik penuh cibiran nakal. Bagaimana bingungnya menjadi orang tua Bu Susi? Anaknya sering keluar malam, setelah SMA malah berhenti sekolah? Ya kita bisa bayangkan bersama-sama.
Tapi sampai di sini kita bisa sedikit belajar lebih dewasa menanggapi adek atau anak-anak kita. Bahwa mungkin mereka nampak nakal dan tidak bisa diatur, tapi penting untuk mencari tahu maksudnya dibanding menyalahkan. Bahwa anak-anak di usia labil, siapa tahu memang sudah punya jalan pikiran di luar jangkauan yang lain. Kita tidak boleh heran, bahwa banyak orang-orang di luar negeri mengawali jalan hidupnya tidak dari bangku sekolah. Mereka yang profesional di bidang olahraga seperti sepak bola sampai skateboard, juga pakar-pakar tekhnologi yang bahkan saat masih seusia anak SD sudah menangani perusahaan sendiri.
Hal-hal seperti ini tidak lumrah dalam tatanan gaya hidup masyarakat kita. Tidak sekolah menjadi sebuah dosa besar yang tidak bisa diterima oleh orang tua manapun, termasuk orang tua Bu Susi yang menurut beliau sangat demokratis. Saya jadi berpikir, andai keinginan seorang Susi dikekang saat itu, mungkin beliau tidak akan seagresif sekarang dalam mengepakkan sayap bisnisnya.
Saat seorang anak merasakan paksaan, saat itulah determinasi dirinya terhadap ambisi dan cita-citanya secara otomatis berkurang. Bukan rahasia lagi, saya rasa sudah banyak contoh lapangan tentang cerita jurusan seorang anak yang dipaksakan orang tuanya. Tempat sekolah yang dipilihkan dan lain sebagainya. Kita bisa bayangkan betapa banyak kehendak anak yang dibatasi oleh orang tua, dengan dalih pertimbangan logis yang lebih dewasa. Seolah orang tua tau semua hal dan rencana yang ada dalam otak anaknya. Padahal, tidak semua rencana bisa dijelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti, juga tidak banyak orang tua yang bisa menerima kemauan anaknya.
Lantas bagaimana kehidupan Susi setelah keluar dari sekolah? Jualan bad cover keliling. Jujur saya terharu dengan semangat Susi remaja. Beliau benar-benar menjalani kehidupanya sendiri. Saya bisa membayangkan bagaimana kacaunya kehidupan beliau saat itu. Saya juga curiga, jangan-jangan ada masa dimana beliau merasa tertekan, pusing dan menyesal sudah keluar sekolah saar menghadapi dunia dagang yang tidak mudah.
Tapi dari mana modal awal Susi berjualan bad cover? Ini juga menarik. Beliau menjual gelangnya dan mendapat uang sebesar 750 ribu rupiah. "Tapi itu kan pasti pemberian orang tua? Mereka tidak marah?" Tanya Rhenald.
"Saya bilang sama ibu, beliau bilang itu milikmu. Ya terserah kamu. Jadi saya pikir tidak ada masalah"
Betapa keras dan menantangnya jalan hidup yang dilalui Bu Susi saat remaja. Tapi mungkin ini karena setiap kita terlahir berbeda, dengan kualitas pikiran dan kreatiftas yang pastinya berbeda. Saya termasuk orang yang tidak percaya bahwa setiap orang terlahir sama dan bakat bisa dibentuk. Big NO for me.
Memang benar bahwa semua hal bisa kita pelajari, semua ketrampilan dan bakat bisa diasah, tapi perlu diingat bahwa Tuhan itu maha kreatif. Saya tidak yakin Tuhan 'mencetak' setiap manusia yang lahir dengan kualitas sama dan mereka bisa bertarung serta mengasahnya saat sudah bisa berpikir. Tetap ada kreasi atau sentuhan tangan Tuhan, sehigga di kehidupan ini kita hanya bisa memaksimalkanya, bukan menyamai atau menciptakam bakat.
Logika manusia kita tidak bisa menjangkau, bagaimana seorang Steve Jobs bisa melampaui waktu dengan tekhnologinya dalam produk Apple. Seorang Mark Z yang berhasil mempersempit dunia dengan Facebook, atau saudara kita Jim Goevedi yang menjadi programmer atau peretas yang namanya diakui dunia internasional. Betul bahwa ada pelajaram peogramming, teknologi, merakit dan sebagainya, tapi tetap ada setuhan kreasi tangan Tuhan yang membuat nama-nama tersebut berbeda.
Begitu juga dengan Bu Susi, siapa yang tidak bisa jualan bad cover saat SMA? Semua anak di usianya pasti bisa. Saya bahkan jualan es dan rumput laut sudah sejak saat masih kelas 3 SD. Tapi apakah itu menjadi otomatis membuat kita bisa menjangkau atau menyamai posisi Bu Susi? Belum tentu. Karena selain taqdir, saya rasa ada semacam chips yang Tuhan letakkan, seperti chips komputer yang bisa membedakan pentium 4 dan core i7. Dan hidup ini menjadi menarik karena Tuhan tidak membuka spesifikasi diri kita, sehingga kita bisa tetap optimis dan berusaha sekuat tenaga. Saya dan banyak remaja di luar sana tentu ingin sekali bisa melampaui garis finish yang sudah berhasil Bu Susi selesaikan.
Rupanya tulisan inipun sepertinya sudah cukup panjang. Sehigga sepertinya saya perlu membuat artikel baru lagi tentang beliau di tulisan berikutnya.
Mungkin tulisan ini akan saya tutup dengan komentar Bu Susi saat Pak Rhenald memuji kesuksesanya. Dengan rendah hati Bu Susi menjawab "Yang sukses dengan jalur pendidikan formalpun banyak". Ini memberi pesan jelas bagi kita semua bahwa belajar tidak hanya di bangku sekolah. Kita bisa belajar dari mana saja, termasuk google yang menyediakan semua materi yang kita butuhkan.
Di sekolah kita belajar. Yes it is. But its not the only way -Prof Rhenald Kasali.
Semoga bisa menginspirasi dan bermanfaat bagi kita semua.