Bagi saya, seorang yang layak disebut kyai adalah dia yang berhasil lepas dari kepentingan politik, eksistensi dan ragam penghargaan atau gelar. Kali ini saya akan bercerita sedikit tentang kyai yang bagi saya belum tergantikan oleh orang-orang yang pernah saya temui sampai saat ini.
Pada tahun 2001 saya lulus sekolah dasar dan masuk ke pesantren. Inilah awal cerita perkenalan saya dengan kyai yang menurut saya nyaris sempurna. Beliau adalah kyai Idris Djauhari.
Membaur di tengah-tengah santri
Awalnya, saya pikir seorang kyai hanya akan berada di mimbar atau menjadi imam masjid. Namun anggapan tersebut berubah seketika sejak saya mengenal beliau. Saat masih berada di kelas tsanawiyah, memang tidak sekalipun kyai Idris Djauhari mengajar saya secara formal. Semua guru di kelas-kelas tsanawiyah masih ustad-ustad muda yang sama sekali tidak digaji (sampai saat ini masih berlaku).
Keterkejutan saya dimulai ketika beliau tampil bersama majlis kyai dan ustad senior dalam satu tim sepak bola menantang juara liga santri (antar kelas). Di pesantren kami, Al-amien Prenduan, pemain sepak bola adalah 22 orang terpilih yang mewakili ratusan orang lainya. Saat mereka tampil, semua teman sekelas dipastikan turun ke lapangan menjadi sporter. Jadi bisa dibayangkan ketika yang tampil adalah pimpinan pesantren. Semua santri, ustad dan bahkan warga kampung sekitar datang ke lapangan yang ukuranya sudah sesuai standar nasional (hanya rumputnya saja yang ga standar).
Saat itu saya masih beberapa bulan berada di pesantren. Awalnya saya pikir itu hanya kebetulan saja, namun ternyata kyai tampil setiap tahun. Lucunya, setiap press con (gayanya haha) sebelum pertandingan beliau menyatakan bahwa di lapangan ga ada kyai atau ustad, body charge dan semua intrik yang ada dalam sepak bola harus terjadi. Jadi jangan mentang-mentang beliau kyai terus santri membiarkan beliau nyetak gol. Saya lupa persisnya seperti apa, tapi kira-kira seperti itu point yang disampaikan. Dalam kenyataanya, beliau dan ustad-ustad senior memang sempat terjatuh, berduel serius dengan santri dan sebagainya. Pertandingan berlangsung serius. Tim kyai dan ustad-ustad senior memang lebih sering kalah, meski begitu kyai Idris beberapa kali sempat mencetak gol dengan segala triknya.
Di masjid, beliau tidak selalu menjadi imam atau berada di barisan terdepan. Dengan jumlah santri putra yang jumlahnya lebih dari seribu itu beliau sering berada di tengah-tengah santri. Pernah sekali tanpa sengaja saya berdiri tepat di sebelah beliau, lalu setelah shalat saya dicubit gara-gara ngantuk saat subuh, setelah itu beliau suruh berwudlu lagi. Haha.
Di dapur, menurut pernyataan beberapa teman santri yang berjaga di rumah kyai, apa yang beliau makan sehari-harinya adalah sama persis dengan menu dapur santri yang beliau miliki. Jadi kalau di dapur beliau pada hari tertentu adalah tahu dan tempe, saat itu kyai juga memakan menu tersebut. Dapur santri dikelola oleh ustad-ustad berkeluarga yang setiap dapur hanya memuat sekitar 50 santri. Kecuali dapur umum yang dikelola pesantren, anggotanya saya pikir bisa mencapai lebih dari 400 orang.
Saat menuliskan ini, saya merasa subuh seolah adalah momen paling berharga. Setiap subuh kyai Idris Djauhari berkeliling dengan motor tanpa modifikasi yang memiliki suara sangat khas, bergerak pelan menghampiri seluruh asrama santri dengan luas wilayah yang sepertinya lebih dari 10 hektar. Saat itu ada 8 asrama yang tersebar di sudut pesantren, di tengahnya adalah masjid megah yang mampu menampung ribuan orang. Saat ini sudah 10, dengan tambahan 2 asrama tingkat dua, lebih megah lengkap dengan taman yang ditujukan untuk setiap santri baru. Hanya beberapa kali saja kyai absen keliling, bisa karena ada acara di luar pesantren atau beliau kelelahan karena baru datang dari luar. Untuk mengetahuinya mudah saja, jika beliau tidak ada di masjid, berarti beliau sedang berada di luar pesantren. Jika ada di masjid tapi tidak keliling, berarti beliau baru saja datang dari luar.