Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Catatan Sang Petarung (Bagian 2)

23 Oktober 2012   17:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:28 190 0
Jip hitam ini melesat melewati sepanjang jalanan kota Jakarta, meskipun aku sendiri sebenarnya tidak tahu ke mana Ary akan membawaku. Selama perjalanan aku hanya diam, menatap ke luar jendela, dan sesekali aku memperhatikan Ary. Ia begitu santai. Mengemudikan mobilnya sembari mengisap sebatang rokok LA Lights, ditemani alunan musik ‘The Actor´MLTR. Sesekali ia ikut menyanyikan salah satu lirik lagu tersebut. Santai sekali dirinya, seakan tidak ada yang jadi masalah di dalam pikirannya. Padahal aku sendiri tahu, apa yang akan kita berdua hadapi nanti.

Pertarungan bawah tanah.

Ya, pertarungan bawah tanah. Bertarung secara vale tudo, yang berarti semua diperbolehkan dan tidak ada aturan yang mengikat, di dunia bawah tanah kota Jakarta ini. Dia sebagai promotorku, dan aku yang bertarung di atas arena. Bertarung sebagai aduan orang-orang kaya di dunia bawah tanah Jakarta.

Aku mengerti apa yang ada di pikirannya, tentunya diriku, dan pastinya... uang. Uang hasil dari pertarungan yang didapat sangatlah besar jumlahnya. Hanya dalam sekali bertarung. Bila menang, maka otomatis bayaran yang kami terima sangatlah besar, dan bila kalah, malah sebaliknya, atau bahkan tidak dibayar sama sekali. Oleh karena itu, kami berdua sangat memikirkan dan memperhitungkan sekali masalah ini. Kami berdua memang sangat butuh uang, untuk keperluan kami masing-masing, dan terpaksa harus bekerja dengan cara bertarung seperti ini, meskipun sebenarnya Ary tidak terlalu begitu peduli dengan uang untuk dirinya, dia hanya memikirkanku saja. Itu yang sebenarnya ada si dalam pikirannya, mungkin berat baginya, tapi ia berusaha bersikap santai, dan tidak menganggap ini menjadi beban, meskipun ia sebenarnya sangat menyayangkan sekali bila aku kalah. Ary sudah menjadi seperti partner bagiku. Di balik sikap santai dan angin-anginannya, dia merupakan pemikir sekaligus ahli strategi yang cerdik, dan bahkan rela bertaruh agar aku bisa menang dalam setiap pertarungan.

Sedangkan aku, aku adalah petarung. Tugasku sederhana, bertarung sampai menang. Meskipun sebenarnya ini sangat sederhana, tapi kenyataannya sangatlah berbeda dengan apa yang ada di atas arena. Lawan-lawan yang sangat kuat, yang bertarung secara brutal, dan tanpa aturan. Tidak seperti pertandingan olah raga beladiri yang sebagian besar masih menetapkan aturan untuk melindungi keselamatan kedua peserta yang bertarung, memakai pelindung di beberapa bagian tubuh, tidak boleh menyerag bagian tubuh ini, dan sebagainya. Tidak seperti itu. Dalam pertarungan bawah tanah, hukum rimba sangatlah berlaku tanpa pandang bulu. Siapa yang kuat, dialah yang menang, dan siapa yang lemah, dialah yang akan tertindas. Itulah yang terjadi. Sangat berbeda 180 derajat dengan pertandingan beladiri yang kita ketahui pada umumnya. Di atas arena, kita akan menemukan berbagai macam lawan dengan teknik dan strategi bertarung yang berbeda-beda, memperbolehkan cara-cara kotor tanpa diketahui – atau bahkan sebenarnya diketahui, namun hanya didiamkan saja – oleh wasit. Hanya sedikit jenis petarung yang bertarung dengan menggunakan kode etik seorang petarung sejati yang akan kau temukan. Semuanya bertarung sebagai ayam aduan dan dipertontonkan di depan para borjuis, konglomerat, pengusaha kaya, dan sebagainya, hanya sebagai hiburan yang beresiko tinggi dan berbahaya. Bagi petarung sendiri, hanya untuk dua hal alasan mereka bertarung, untuk harga diri dan untuk uang.

Inilah dunia bawah tanah Jakarta.

“Melamun aja lo, Yo! Hahaha.”, celetuk Ary yang saat itu pula langsung membuka suasana. “Mikirin apa dah?”, lanjutnya yang kemudian menatapku dengan cepat. Aku hanya tersenyum dan menatap balik. “Gak ada apa-apa.”, jawabku tenang. “Aah, yang bener lo? Apa lagi mikir jorok kali lo ya? Ckckck... eh, nyebut lo, nyebut, hehe.”, candanya lagi.

“Apaan dah? Nyeletuk aja lu, ah.”, balasku sambil menyeringai. Ary terlihat begitu fokus mengendarai mobil jipnya. “Diem aja sih lagian. Ngobrol dong, mas! Hahaha.”, Ary hanya tertawa ringan. Santai tapi humoris sekali orang ini. Aku hanya tertawa ringan mendengar barusan yang ia katakan.

Jip hitam ini terus melaju, tapi aku tidak tahu daerah yang sedang kami berdua lewati sekarang ini.

“Gimana persiapan lo, Yo? Dah siap buat pertarungan malem ini?”, Ary kembali membuka pembicaraan. Aku masih menatap ke luar jendela mobil. “Gua mah siap-siap aja, Ry.”, jawabku tenang. Ary hanya diam, mengemudi sambil memperhatikan jalanan di depannya. “Jawaban lo ituuu mulu yang sering gua denger, “Gua mah siap-siap aja.”. Kagak ada jawaban laen apa? Sekali-kali kek lo jawab lo kagak siap gitu.”, balasnya sambil melirik ke arahku. Aku tertawa mendengar apa yang barusan dia katakan.

“Yee.. lo malah ketawa....”.

“Tadi siang gua dikasih tau sama orang yang ngadain pertarungan malem ini. Katanya lawan lu ntar orang luar, orang Brazil. Petarung jalanan yang paling terkenal di di kotanya dia di Brazil, Brasilia.”, ujar Ary. Ia menjelaskan kepadaku mengenai petarung yang akan jadi lawanku malam ini.

“Hehehe, ada-ada aja lu, Ry.”.

“Ada-ada aja ngapa dah?”

“Petarung jalanan mah mana ada terkenal-terkenalnya, Ry. Hahaha, mikir dong. Lo kata artis kali yee. Gimana sih, hehehe.”.

“Terserah apa kata lo dah. Mau gua lanjutin lagi apa enggak nih?”.

“Iya, iya, lanjut.”.

Ary kembali melanjutkan penjelasannya. “Si orang Brazil itu katanya petarung bayarannya si Johan, si konglomerat maniak berantem itu, yang petarung bayaran andalannya dia lu kalahin di pertarunga pertama lu.”. “Hmm.. Johan yang itu. Banyak juga ya duitnya buat nyewa petarung-petarung hebat. Nggak habis pikir gua.”, pembicaraan ini mulai manjadi serius. “Lu tahu kan si Johan itu konglomerat, belum lagi dia itu salah satu pengusaha yang punya pengaruh besar di dunia bisnis Jakarta. Saking kayanya aja, dia bahkan punya koneksi ma dunia hitam. Beberapa kali juga dia sering lolos dari jeratan hukum. Apalagi kayak sekarang, dia bahkan bisa nyewa petarung jalanan dari Brazil. Bener-bener maniak hiburan pertarungan dia. Dia cuma mau hiburan lewat pertarungan kayak gini, dan dia juga gak mua petarung andalannya kalah. Beginilah orang yang punya kekayaan ndan kekuasaan, apa pun semuanya jadi tanpa protes.”.

“Gua ngerti, Ry, tapi gua gak peduli masalah si Johan itu, yang gua pengen tahu sekarang lawan gua dari Brazil ini. Itu aja.”, aku meminta penjelasannya kembali mengenai petarung Brazil tersebut. “Oke, oke, sori kalo nyampe ngomongin masalah Johan. Begini, gua nggak tahu siapa nama orang Brazil yang bakal jadi lawan lu malam ini. Soalnya si Andrie, yang ngadain tuh, dia nggak ngasih tau mengenai namanya. Andrie cuma ngasih tahu bahwa si orang Brazil ini udah bertarung di pertarungan bawah tanah ini udah satu bulan. Dari dua belas kali pertandingan, dia nggak pernah kalah. Semua lawan dibabat ma dia, dibikin KO. Kuat banget kata si Andrie. Andrie nyaranin lu harus hati-hati. Karena lawan lu kali ini gak main-main.”, lanjut Ary.

“Style berantemnye apa?”, aku menjadi bertambah semakin penasaran dengan calon lawanku ini. “Style berantemnyacapoeira, ditambah lagi dengan sebagian teknik-teknik street fighting.”, lanjutnya lagi.

“Masih ada lagi yang disampein dari Andri mengenai si orang Brazil itu?”, tanyaku lagi. “Enggak ada lagi, cuma itu aja. Tapi Andrie cuma nyuruh gua ngomong ke elu. Lu harus hati-hati. Karena lawan lu kali ini sangat beda dengan lawan yang selama ini lu hadapin. Lawan lu kali ini kelihatannya bener-bener lebih hebat satu tingkat di atas beberapa lawan tersulit yang pernah lu hadapi dalam setiap pertarungan. Si orang Brazil ini gak main-main. Cuma itu aja mungkin yang bisa gua omongin sekarang.”.

“Ryo, gua cuma mau bilang ke elu. Emang gua bukan petarung, bahkan juga sama sekali gak bisa berantem, tapi biarpun begitu, gua sering ngeliat orang berantem, apalagi kalo urusan berantem brutal kayak gini. Gua hanya mau lu waspada ma orang Brazil itu. Lu pastinya tau kalo orang capoeira itu banyak gerakannya kan? Gerakannya mengalir kayak air. Gerakannya bisa kayak ular dan bisa juga menipu lu, belum lagi setiap tendangannya. Tendangannya emang akrobatik, tapi tenaga yang dihasilkannya itu besar. Kayak palu. Ditambah lagi, lawan lu itu orang Barat. Perbedaan tenaga lu dengan dia pasti berbeda...”

Aku terdiam dan mendengar setiap sarannya dengan serius. Karena aku tahu dan seperti yang  dikatakan barusan, Ary sama sekali tidak bisa bertarung, tapi dia sering melihat orang bertarung. Ary itu cerdik, dibalik kekurangannya tersebut, dia bisa berpikir dan menciptakan suatu strategi yang selama ini sangat efektif dalam membantuku bertarung dengan lawan-lawanku.

“Tapi lu pasti tahu lah, sepandai-pandainya tupai melompat, pasti jatoh juga lah. Sekuat apapun lawan lu, pasti ada celah yang sangat gampang buat buat diserang balik. Saran gua, usahakan hindari setiap tendangannya, tapi jangan mau tertipu ma setiap gerakan tipuannya, dan.... cobalah untuk cari celah lalu kunci gerakannya. Kalo lu bisa ngelakuin itu, gua yakin lu pasti menang. Itu aja mungkin yang bisa gua saranin. Semangat, boy!”.

Saran dari Ary sudah cukup berguna untukku, dan sekarang, aku hanya perlu fokus dengan pertarunganku yang akan kulakukan malam ini. Kuakui memang ada sedikit ketegangan dalam diriku. Tapi, yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menenangkan diriku dan menjadikan ketegangan itu sebagai tantangan maupun motivasi bagiku untuk bertarung.

Jip hitam ini pun melesat cepat melalui jalanan yang sunyi dan sepi.

(BERSAMBUNG)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun