Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Catatan Sang Petarung (Bagian Terakhir)

23 Oktober 2012   18:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:28 121 0
Kulepaskan kuncian segitiga ini, dan aku pun segera berdiri. Orang-orang tidak percaya melihatku telah mengalahkan da Silva. Yang ada di wajah sebagian besar dari mereka hanyalah rasa kecewa, terutama Johan. Johan sangat kecewa melihat Da Silva berhasil kukalahkan. Sebagian kecil yang mendukungku bersorak melihatku menang, tak  terkecuali Ary.

Da Silva duduk tertunduk lesu di atas aspal, sambil memangku tangannya di atas kedua lututnya. Ia tak percaya akan hal ini. Ia telah kalah.

Kuhampiri dia, dan kusodorkan tangan kananku. Kulepas mouth piece dari dalam mulutku. “Good fight.”, ucapku.

Da Silva menatapku. Lalu ia menunduk sejenak, menghela nafas. Disambutnya tanganku dengan jabat tangan darinya. Aku pun membantunya berdiri. Kami berdua saling menatap satu sama lain dengan mantap. “Is your name Ryo?”, tanyanya dengan sambil masih menggenggam jabat tanganku. “Yes, it’s me.”, jawabku tenang. “You’re the best fighter whom I meet the first time. You are the first who can defeat me. Nobody else.”, ujarnya dengan mantap. “I appreciate this fight. This is a good fight, and I hope... someday I can fight you again.”, lanjutnya lagi dengan penuh rasa terima kasih karena pertarungan yang bagus ini baginya. Ia lalu menepuk bahuku, dan tersenyum mantap padaku, sebelum akhirnya ia berlalu.

Sudah hampir tengah malam, dan jalanan di kota Jakarta pun sudah mulai sepi. Tidak begitu banyak kendaraan yang lewat. Angkot dan bus masih tetap ada melaju sesuai trayeknya dengan jumlah penumpang yang tentunya tidak banyak. Sesepi apapun inu kota ini, tapi gemerlap lampu-lampu kotanya masih menerangi dan menemani kota metropolitan ini.

Jip hitam ini berjalan mulus di atas jalan. “ Punggung lu masih sakit, Yo?”, sambil menyetir jip hitamnya, Ary menanyakan kondisiku. Aku menghela nafas panjang. “Masih.”

“Bukan cuma punggung gua doang yang sakit, ini mah semuanya. Sekujur tubuh mah ini, kecuali muka gua. Paling bengkak dikit nih yang di bagian deket pipi.”

Ary terkekeh mendengarnya. “Gua lagi kesakitan gini, elu malah ketawa. Pengen rontok semua ni badan.”, aku hanya bisa mengeluh mendengarnya tertawa. “Hahaha. Sori, bro. Masa’ gua ketawa doang kagak boleh? Becanda doang, Yo.”, pandangan Ary masih terus memperhatikan jalanan yang ada di depannya. “Setidaknya malem ini gua dapet pengalaman, Ry...”, kataku pelan.

“Gua dapet lawan yang bener-bener tangguh banget buat diri gua sendiri. Lebih daripada lawan-lawan gua yang sebelumnya.”, lanjutku lagi. Kulihat Ary hanya tersenyum mendengar apa yang barusan kukatakan.

Aku pun termenung sendirian, menatap sekeliling di luar jendela mobil. Lama-kelamaan aku terbayang akan adik perempuanku. Dialah yang menjadi alasan utama bagiku untuk bertarung dalam hiburan orang kaya seperti ini, pertarungan bawah tanah. Semua yang kulakukan hanyalah untuknya. Hanya untuk membiayai operasi penyakit yang dideritanya saat ini.

“Ryo..”

“Hoi, Ryo!”, panggilan Ary membuyarkan lamunanku. “Ngelamun aja lu, ah. Mikirin apa sih?”

“Gua cuma kepikiran adek gua. Idzni.”, jawabku pelan. Ary hanya diam. “Adek lu pasti sembuh, Yo. Lu selama ini udah berusaha keras bertarung hanya untuk nyari biaya buat operasi adek lu...”

“Sejujurnya, lama-kelamaan gua mulai respek dan menghargai lu. Niat lu baek dan tulus banget. Lu rela berkorban selama ini hanya untuk nolongin adek perempuan yang lu sayangi...”

Aku hanya diam mendengar apa yang dikatakannya. “Gua pasti akan terus bantu lu, Yo, bantuin lu supaya lu bisa membiayai operasi adek lu.”, lanjutnya lagi. Ary melihat ke arahku. Satu kepalan tangan kirinya disodorkan ke arahku. Aku melihat kepalannya, dan mengangguk. “Makasih, Ry.”, kutepuk kepalan tangannya dengan kepalan tanganku. Kami berdua tersenyum satu sama lain.

Jip hitam ini terus berjalan. Mengantarku pulang ke rumah, setelah aku berhasil melewati pertarungan yang sangat melelahkan malam ini.

(Tamat)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun