Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Haji Mansur

24 Juli 2013   17:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:06 259 0
Saat mendengar Haji Mansur memakelari penjualan tanah di bagian barat pulau, mata Rahim seperti melihat kecipak ribuan ikan tongkol dan terkaman burung-burung camar. Girang bukan kepalang. Sekarang ini tak banyak orang yang mau menjual lahan kosong. Kalaupun ada, pemilik lebih suka menyulapnya jadi penginapan untuk para pelancong. Dan harga tanah terus naik.

Sebelum jumlah pelancong melonjak, masih banyak yang menyewakan petak-petak rumah bagi pasangan baru menikah atau para pelajar dari luar pulau yang sekolah di pulau ini. Sekarang kontrakan bagi mereka terus ciut. Kebanyakan mulai diganti untuk penginapan wisatawan. Mereka yang mengontrak secara bulan diminta pindah.

“Sebulan sekurang-kurangnya kita bisa dapat sejuta lebih. Kontrakan biasa paling-paling Rp. 300 ribu – Rp. 500 ribu,” kata Ramlan pada Rahim.

“Coba kau hitung berapa kontrakan yang masih ada untuk tempat tinggal di sini,” tanya Ramlan. Belum sempat dijawab, Ramlan menjawab sendiri. “Paling tujuh sampai sepuluh.”

Seperti Rahim, Ramlan dulu nelayan jaring muroami yang berbulan-bulan memburu ikan. Ramlan berhenti. Sehari-hari kini mengelola penginapan dan membawa para wistawan berselam dangkal dengan kapal motor miliknya. Ia punya dua penginapan. Dulunya itu rumah warisan orang tuanya. Luas bangunan 90 meter, rumah ini kemudian ia renovasi dan dibuatnya jadi tiga petak. Dua petak penginapan. Satu petak lagi jadi tempat tinggal yang menyatu degan kamar mandi dan dapur.

Dua petak penginapan berpendingin ruangan, pemanas air, dan televisi plasma. Sengaja faslitas itu Ramlan sediakan agar penginapannya ramai disewa. Penginapan berpendingin memang yang biasa diburu. “Orang Jakarta tak tahan gerah,” terang Ramlan.

Perubahan hidup Ramlan sekarang mulai kelihatan. Motor darat baru sudah nongkrong di rumahnya. Selularnya handphone pintar seharga Rp 2,5 juta.

Mendengar cerita Ramlan, Rahim mengangguk-angguk. Sebagian anggukan itu sebetulnya dimaksudkan untuk rencananya membeli tanah yang dimakelari Haji Mansur. Jika tak mulai berpikir membeli tanah dan membangun rumah, nasib keluarganya yang sekarang masih mengontrak juga terancam diusir pelan-pelan.

Selepas Isya, Rahim mendatangi rumah Haji Mansur yang jembar. Berdiri di atas tanah seluas 400 meter, rumah ini bergaya minimalis dengan cat abu-abu dengan lis warna merah di beberapa tiangnya. Rahim masih bisa mencium wangi cat saat memasuki serambi.

Sebelum berubah wajah, rumah ini dulunya tak berpagar. Pembatasnya tembok setinggi setengah meter dengan serambi yang tampak leluasa terlihat dari jalan. Sekarang dipagari besi ditambah dengan pohon-pohon yang Rahim yakin tak tumbuh dan diambil dari pulau ini.

“Wak Haji, saya dengar tanah di bagian barat akan dijual?” tanya Rahim.

“Dengar dari siapa?” suara Haji Mansur seperti orang bangun tidur. Ogah-ogahan.

“Dari orang-orang?”

“Yang punya tanah masih bingung. Dijual ke orang Jakarta atau ke orang pulau. Ada orang pulau yang akan membeli” Jawaban lelaki gaek jangkung berwajah kotak itu masih tak berbeda.

Tanah yang dijual itu luasnya 1500 meter. Lokasinya tak jauh dari kantor kelurahan. Konon di sana akan dibangun pelabuhan baru. Menurut Haji Mansur, jika dijual ke orang pulau pasti akan dipecah-pecah. Padahal si pemilik tanah, kurang sreg kalau dijual eceran.

“Si pemilik tanah sepertinya masih maju mundur menjual jual tanah”

“Tolonglah Wak Haji, kalau memang dijual saya dibagi barang 60 meter”

Orang lugu seperti Rahim tentu sudah sering dihadapi Haji Mansur. Ratusan orang bahkan. Dan ia tahu bagaimana caranya memainkan emosi calon pembeli untuk menaikan harga. Pengalaman mengajarkannya. Ia juga mengerti tipe dan karakter saudara-saudaranya sekampung. Agar bisa mendapatkan harga yang cocok, orang seperti Rahim hanya cukup diberi trik pura-pura tak butuh, lalu ditutup dengan trik seolah-olah menolong saudara.

“Kalaupun dia mau menjual, harganya mungkin Rp 350 ribu per meter. Mau? Kalau mau nanti aku sampaikan ke pemilik tanah”

“Apa masih bisa kurang Wak Haji? Bagaimana kalau Rp 300 ribu?”

“Belum tahu. Nanti coba saya kabari. Sekalian soal apa memang tanah itu jadi dijual. Saya bantu sebisanya. Apalagi kan kamu bukan orang lain. Yang penting persiapkan saja uangnya.”

Mendapat jawaban begitu, mata Rahim berbinar. Haji Mansur memang masih bertalian darah dengan Bapaknya. Kakek dari Haji Mansur masih famili dengan buyut Rahim.

Pertemuan malam itu berakhir tanpa kepastian. Dan Rahim akan menunggu kabar dari Haji Mansur. Sebelum pamit pulang, Rahim masih sempat melihat empat buah foto Haji Mansur bersama orang-orang yang berbeda. Satu foto Haji Rahim berpose berdua dengan lelaki yang Rahim taksir berusia 50-tahun. Lelaki itu berdasi kotak-kotak dengan baju putih bersih. Sebuah foto lain, Haji Mansur bergaya dengan seseorang dengan seorang pria gendut dengan seragam pemerintah.

“Jika sudah dibantu Haji Mansur, Rahim berpikir masalah tanah sedikit beres,” begitu pikirnya.

Lelaki berida itu dikenal makelar tanah yang piawai. Jejaringnya luas. Dari bos-bos asal Jakarta, pejabat kelurahan, hingga Kabupaten. Rahim juga tahu, tanah-tanah warga di sejumlah pulau di bagian selatan berpindah tangan atas jasanya. Tahun 80-an Haji Mansur memakelari pembelian sebagian besar tanah warga di pulau tetangga. Tanah itu kini berpindah tangan jadi milik perusahaan asal Jakarta. Penduduk yang tanah-tanahnya dijual pindah ke pulau ini. Begitu juga pulau di ujung barat pulau Jawa.

Dengan harga Rp 300 ribu per meter, total biaya yang perlu disiapkan Rahim Rp 18 juta. Yang Rahim punya baru Rp 12 juta. Jadi masih kurang 6 juta. Tapi agar tanah tak diserobot orang lain, seminggu lagi Rahim akan mendatangi Haji mansur untuk memberi separuh panjer.

Mendengar kabar baik itu, Rufiah ikut gembira. Bayangan pindah tiba-tiba dari kontrakan mulai berkurang. Rufiah membayangkan, rumah itu tak perlu bagus-bagus. Tembok tak diplester juga tak apa. Yang penting bisa ditinggali. Soal plester bisa menyusul pelan-pelan.

“Bapak, katanya kita akan punya rumah baru?,” tanya Rosmiah kepada Rahim. Mata anak pertamanya itu berbinar-binar dan seperti orang yang sedang menungu berita baik.

“Ya Nak. Lebaran nanti kita sudah akan beli tanah. Setelah itu kita bangun rumah sebisanya”.

***

Lebaran yang ditunggu sudah lewat hampir setahun. Tapi perkara surat-surat tanah itu tak pernah sampai ke tangan Rahim. Sudah berkali-kali Rahim mendatangi rumah Haji Mansur dan berkali-kali pula dijawab bersabar.

“Supaya rapi dan tak ada masalah, administrasi tanah harus diselesaikan. Ini butuh waktu dan bolak-balik. Menghubungi pemilik yang di Jakarta, urus ke PPAT, BPN, saksi-saksi dan lain-lain,” terang Haji Mansur.

Dijelaskan begitu Rahim manut. Dalam benaknya mungkin memang begitu seharusnya mengurus tanah. Dari penjelasannya, ia percaya Haji Mansur paham seluk beluknya. Kalau ia yang urus past repot. Kepanjangan PPAT dan BPN saja iya tak tahu.

Tapi kadang-kadang sempat terlintas pertanyaan di pikirannya apa mengurus surat-surat mesti selama itu. Tak enak hati bertanya ke Haji Mansur, ia bertanya pada Abdullah yang pernah membeli tanah dari Haji Mansur.

“Waktu itu surat-surat tanah saya malah baru selesai setahun setengah,” kata Abdullah. Mendengar itu Rahim sedikit lega.

Karena surat-surat belum diterima, ia juga tak berani membangun rumah. Padahal uang untuk tanah sudah lunas diberi ke Haji Mansur. Harapannya surat itu bisa lebih cepat diperoleh. Apalagi Haji Mansurmendesak agar Rahim cepat melunasinya.

Rahim juga mulai tak enak hati dengan pemilik kontrakannya. Meski memberi kelonggaran, pemilik kontrakan sudah pernah jatuh kata agar Rahim dan keluarga mulai memikirkan tempat lain. Ada rencana kontrakan yang ditinggalinya akan diubah jadi penginapan wisata.

Satu setengah tahun juga sudah lewat. Dan sejak itu Rahim mulai tak sabaran. Pernah ia meminta Haji Mansur mengembalikan uangnya.

“Kalau begini caranya, saya minta uang saya dikembalikan Wak Haji!”

“Tidak bisa begitu. Saya juga sudah keluar sana-sini untuk urus administrasi. Zaman sekarang mana ada yang tidak pakai pelicin. Sabarlah sebentar Sebulan lagi, selesai”.

“Saya ini kurang sabar apa? Sudah setahun setengah saya tunggu! Mana hasilnya?” suara Rahim terus meninggu. Napasnya saling memburu.

“Iya saya mengerti. Tapi percaya, sebulan ini selesai. Kamu tahu, berapa banyak yang sudah urus tanah ke saya. Semua beres kan?”

Sebulan yang ditunggu juga sudah lewat, tapi kabar dari Haji Mansur mengenai surat itu tak juga tiba. Yang datang justru kabar mengagetkan. Selepas subuh dari corong speaker masjid, nama Haji Mansur disebut-sebut. Makelar tanah itu meninggal di Jakarta. Rahim panas-dingin.  []

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun