Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Memimpikan Pulau Seribu Masa Depan; Secuil Pengalaman

9 Agustus 2011   08:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:57 202 0



Alamsyah M. Dja’far**

Saya memang tak lagi menetap di Pulau Tidung Kepulauan Seribu. Sejak lulus kuliah delapan tahun silam, saya tinggal di “darat”. Tapi, saat lebaran dan saat-saat libur panjang, saya masih sering pulang kampung. Tradisi ini masih saya lakukan hingga sekarang. Orang Pulau mungkin akan mengatakan saya sudah sudah jadi “orang kota”. Orang opulau menyebut demikian untuk lawan kata “orang pulau” –istilah yang sepertinya kurang tepat, sebab “kota” lawannya “desa”. Yang unik, mereka yang tinggal di sebuah desa di pulau Jawa ini, misalnya, kadang-kadang masih saja dibilang “orang kota”.

Meski sudah lama tak menetap pulau, terpisah beribu-ribu kilometer, kampung halaman selalu punya tempat istimewa di hati setiap orang, termasuk saya. Kampung halaman tak hanya bermakna fisik. Ia juga dipahami sebagai nonfisik berupa nilai-nilai yang bisa dirasa dan diyakini. Ia menjadi sesuatu yang “primordial”, berhubungan dengan hal-hal yang mendasar dan permulaan.

Kampung halaman adalah bagian dari ikatan dasar lain yang membangun identitas seseorang seperti hubungan darah keluarga, kepercayaan, dan bahasa. Itulah mengapa organisasi berbasis daerah seperti Forum Mahasiswa Kepuluan Seribu (FMKS) ini disebut juga “komunitas primordial”. Itu pula alasan mengapa tak sedikit orang berwasiat, jika meninggal minta dikuburkan di kampung halaman. Kalaupun tak berwasiat, sudah jadi kebiasaan keluarga memba jenazah pulang ke kampung halaman untuk dikubur di sana. Maka hitung saja sudah berapa banyak orang-orang pulau yang tinggal di “darat” yang meninggal dan lalu dikubur di pulau. Hal yang sama juga bisa menjelaskan fenomena tradisi mudik, yang setiap tahun meninggalkan korban kecelakaan lalu lintas. Makanya dikenal pula istilah hubb al-wathan min al-iman, cinta tanah air sebagian dari Iman. Bentuk tanah air paling kecil adalah kampung halaman.

Kurang lebih ini yang mungkin mendorong saya selalu ingin terlibat dalam pergumulan merespon perkembangan masyarakat pulau berikut sejumlah problematikanya.  Saya, dan semua orang-orang pulau saya kira, akan selalu merasa tetap sebagai orang pulau, sampai kapanpun. Kita selalu ingin kehadiran kita ini bermanfaat bagi kampung halaman.

Impian Pulau Seribu Masa Depan

Saya memulai mimpi tentang masa depan Pulau Seribu dari tesis ini. Bangsa yang baik dan kuat ditentukan oleh keseimbangan hubungan antara negara (state), masyarakat sipil (civil society), dan pasar (market). Negara kuat tapi masyarakat sipilnya lemah hanya akan memberi jalan mulus bagi lahirnya sistem tiranik dan otoriter seperti di masa Orde. Jika sebaliknya, yang terjadi justru masyarakat yang sengkek, seenaknya sendiri, dan barbar.

Di sini “negara” adalah institusi yang meliputi lembaga eksekutif, yakni pemerintah dari pusat hingga daerah – seperti Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu, suku dinas-suku dinas, hingga kelurahan untuk konteks Pulau Seribu; lembaga legislatif seperti DPR atau DPRD; maupun yudikatif seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Sementara itu masyarakat sipil adalah institusi sosial yang terdiri dari asosiasi-asosiasi profesional, LSM, media massa, organisasi kemahasiswaan, atau organisasi keagamaan. Sedang “pasar” mencakup pelaku-pelaku usaha, perusahaan-perusahaan lokal maupun asing.

Ketiga institusi di atas memiliki peran dan kewenangan yang berbeda. Negara adalah wilayah publik di mana keputusan publik dan hak-hak rakyat diputuskan dan ditantang. Misalnya saja bagaimana aturan kapal penumpang dan barang ditetapkan. Untuk itu dibuat rancangan UU Perhubungan yang di dalamnya mengatur hal tersebut. Di level daerah bisa pula diatur hal serupa melalui Peraturan Daerah dengan mengacu UU. Adapun prosesnya mesti melibatkan partisipasi publik, mulai dari pelaku jasa transportasi, masyarakat, ahli dan lain-lain.

Jika negara bicara kepentingan publik, maka pasar biasanya cenderung memperlakukan orang sebagai individu, baik sebagai konsumen atau pekerja. Tapi, pasar berjasa besar menggerakan mesin ekonomi masyarakat negara dan masyarakat sipil. Dengan usahanya perusahaan membayar pajak, juga memperkerjakan orang. Agar tak merugikan masyarakat umum, maka negara berwenang mengatur dalam bentuk regulasi untuk menetapkan mana yang boleh dan tidak boleh pelaku pasar. Contoh sederhana. Supaya tak merugikan masyarakat, maka harus ada aturan yang mengatur yang boleh dan tak boleh dilakukan oleh penyelenggara wisata yang sekarang ini tumbuh menjamur.

Berbeda dengan keduanya, masyarakat sipil lebih merupakan arena di mana kelompok warga negara berusaha mencapai kepentingan bersama melalui tindakan kolektif, dari hal-hal yang bersifat politis, sosial, hingga kultural. Di wilayah inilah, masyarakat dapat menuntut pemerintah menyediakan sarana-prasarana, meminta pelaku usaha dan wisatawan menghormati budaya masyarakat setempat dan seterusnya.

Sejauh amatan saya, relasi ketiga lembaga tersebut di lingkungan Pulau Seribu sekarang ini masih timpang. Masyarakat sipil belum cukup kuat dan mandiri saat berhadapan dengan negara dan pasar. Salah satunya disebabkan oleh problem kualitas SDM dan problem geografis kepulauan seribu yang pulau-pulaunya dipisah oleh lautan dan sulitnya transportasi umum.

Asumsi inilah yang menjadi pertimbangan utama saya terlibat mendirikan media komunitas www.puloseribu.com. Bagaimanapun media punya peran strategis di mana masyarakat pulau bisa mengakses informasi publik yang menjadi hak mereka, termasuk juga berbagi pengalaman di dalamnya. Dengan demikian masyarakat menjadi tahu hak dan kewajiban sebagai warga masyarakat.

Meski masih amat terbatas dampaknya, saya bersyukur bisa ikut dalam aktivisme ini. Saya jadi lebih mengerti, ternyata hak-hak masyarakat di Pulau memang masih belum cukup terlindungi dan terjamin. Media ini beberapa kali menurunkan sejumlah isu “sensitif”. Di antaranya liputan tentang dugaan “kongkalingkong” pengerjaan di beberapa proyek pemerintah. Lain waktu meliput dana posyandu yang disunat, pungutan liar yang dilakukan sebuah sekolah dan pusat kesehatan masyarakat, indikasi penyimpangan pengerjaan proyek, beras raksin jatuh ke tangan mereka yang tak berhak. Sayang sekali media itu mati suri sekarang. Alasannya klasik: minimnya SDM dan dana.

Bagaimanapun media hanya alat mendorong perubahan. Kuncinya, tetap saja munculnya kemandirian masyarakat sipil dan hadirnya pemerintah yang bersih dan bertanggung jawab. Dan saya percaya masyarakat sesungguhnya telah memiliki potensi kemandirian tersebut. Yang dibutuhkan tinggal kehadiran makin banyak teman yang mau berbagi dan bersama-sama memperoleh apa yang menjadi hak dasar mereka. Karena itu saya selalu mengimpikan adanya komunitas-komunitas masyarakat, lembaga-lembaga, termasuk suara dari tokoh-tokoh agama yang membela kepentingan masyarakat miskin, tak berpendidikan, dan yang tak mendapat keadilan. Sebab demokrasi yang kokoh juga ditandai dengan penghargaan dan penghormatan terhadap kelompok paling lemah.

Salah satu potensi masyarakat itu adalah modal kultural. Kita memiliki modal dan wujud-wujud kultural yang bisa dimanfaatkan untuk membangun kemandirian tersebut. Masyarakat Pulau Panggang misalnya memiliki tradisi “membaca” atau “sedekah” di Pulau Tidung. Forum ini menunjukan tingkat partisipasi dan kepemilikan atas forum cukup tinggi. Usai “membaca” atau “sedekah” mereka ngobrol bebas tanpa tema. Mulai dari taktik mancing, problem keluarga, bahkan “pemerentahan”.

Menurut kisah banyak orang tua di Pulau Tidung, di era 70-an guru-guru madrasah “digaji” dari masyarakat dengan menggelar tekyan dan bantuan dari para gongsol muroami, manajer kapal nelayan jaring ikan muroami. Selain mengajar di madrasah, guru-guru itu juga secara mandiri mengajar mengaji sore hari hingga menjelang pukul 8 malam. Waktu masih duduk dibangku sekolah, saya masih merasakan tradisi ini. Sejauh yang saya tahu, tradisi itu masih berjalan hingga sekarang. Ini model kemandirian yang patut dipertimbangkan.

Meski kian terkikis akibat budaya kapitalisme, namun modal sosial dimana tingkat kepercayaan sebagai sesama masyarakat pulau masih cukup tinggi. Budaya saling bantu dan gotong royong masih bisa dilihat saat acara perkawinan atau sedekahan.

Atas pertimbangan menjadi teman mendapatkan hak dasar masyarakat itulah saya merasa ingin mendampingi keluarga korban pelecehan dan upaya pemerkosaan yang masih di bawah umur di Pulau Tidung, lebaran tahun lalu. Mereka orang tak berpunya, tak cukup berpendidikan, dan menurut saya memang layak dibela. Saya bersyukur pula masih banyak teman-teman yang mau terlibat dalam kasus itu. Kalau tak ada pendampingan ini, saya menduga keluarga korban akan lebih banyak lagi menerima ketidakadilan. Apalagi pelaku berasal dari keluarga cukup mampu dan memiliki famili yang bekerja sebagai aparat pemerintah dan kepolisian. Dari kasus ini pula saya makin mengerti, tanpa kontrol masyarakat aparat kita cenderung berlaku tak profesional dan menyalahgunakan diskresi. Makkin yakin pula penting sekali hadirnya kehadiran orang-orang atau lembaga yang bisa membantu mereka. Dulu peran ini dimainkan oleh ustad atau tokoh agama kampung. Semoga sekarang masih terus ditradisikan.

Forum Peduli Pulau (FPP), lembaga taktis yang didirikan di Pulau Tidung, juga sempat terlibat mendampingi nelayan muroami yang lumpuh akibat dekompresi untuk memeroleh jamkesmas. Selesai di Pulau, belum tentu di Jakarta. Si nelayan muroami ini masih saja kena pungli.

Terus terang, memilih peran ini bukan perkara gampang. Meski saya yakin banyak dari teman-teman pulau yang sesunggnya mengerti peta masalah di Pulau Seribu, namun harus diakui belum banyak yang berani bersuara dan mau melakukan pendampingan. Sebagian lagi lebih memilih melakukan dengan cara amat halus.

Pilihan itu memang realistis. Betapapun orang lebih mudah memilih “zona aman” . Dan untuk memerankan itu kita dihadapkan pada problem kultural. Mereka yang kita kritik dan protes kadang-kadang bukan “orang lain”. Tak jarang justru kerabat kita sendiri. Saya pernah diprotes teman. “Anda enak di Jakarta. Kita-kita ini yang sehari-hari di pulau. Tiap hari di-perengutin (dimukamasamkan),” katanya suatu kali.

Saya memiliki keluarga inti yang tinggal di Pulau. Meski mereka tak protes secara terbuka, namun saya memahami mereka agak keberatan dengan apa yang saya lakukan. Sebab merekalah yang kadang jadi “pelampiasan”. Ini pilihan tak enak, memang.

Saya sering merenung dan berefleksi, apakah yang saya lakukan dan suarakan ini terdengar terlalu heroik, sok idealis, sok bersih, sok pahlawan, dan seterusnya. Tapi percayalah jika anda benar-benar menghadapi kenyataan ini secara langsung, melihat sorot mata mereka yang memang membutuhkan untuk ditolong, membayangkan akan dampak yang lebih parah, kadang-kadang pikiran itu terabaikan begitu saja.

Membangun Pemerintah yang Bersih

Terus terang saya tak antipemerintah. Situasi sekarang jauh berubah dengan era Orde Baru dimana para aktivis dan masyarakat sipil seperti dipaksa mengambil posisi vis a vis, berhadap-hadapan, dengan negara. Kita butuh negara untuk membangun bangsa yang kuat. Saya juga percaya bahwa masih banyak orang-orang pulau dan mereka yang berasal dari luar pulau yang berada di pemerintahan, yang ingin memajukan masyarakat Pulau Seribu. Tapi dukungan terhadap pemerintah tentu bukan selau bersikap membeo. Memberi kritik dan bersuara keras juga sesungguhnya bagian dari dukungan terhadap pemerintah.

Pikiran ini pula yang menjadi alasan mengapa saya ikut bergabung dengan teman-teman Pulau Tidung dalam “Gerakan Peduli Jembatan Cinta” beberapa bulan lalu. Saya sendiri tak menyangka gerakan itu disambut sebagian besar masyarakat wisata. Dana masyarakat  terkumpul lebih dari 12 juta rupiah. Sejumlah pejabat ikut menyumbang. Tapi tuntutan utamanya hingga kini tak pernah mendapat respon memuaskan.

Gerakan ini sesungguhnya bisa jadi model dimana masyarakat secara mandiri mengorganisir diri untuk mendapatkan hak-hak mereka, utamanya hak atas keterbukaan informasi publik. Mereka bisa mendesak pemerintah untuk terbuka sehingga bisa ikut berpartisipasi dalam pembangunan dan mengontrol penggunaan anggaran.

Di tengah keterbatasan, Kabupaten Pulau Seribu memiliki sumberdaya keuangan yang tak bisa dibilang minim. Tahun ini saja total APBD di lingkungan Kepulauan Seribu –mulai pemerintah kabupatan, suku dinas-suku dinas, hingga kelurahan – sebesar Rp. 211 milyar untuk mengurus 20 ribu jiwa. Empat instansi dengan budget terbesar terdiri dari Kabupetan Administrasi Kepulauan Seribu  65 milyar (31.2%), Sudin Pekerjaan Umum 23 milyar (11.1%), Sudin Pendidikan 21 milyar (10.1%), Sudin Kesehatan 18 (8.8%).

Seperti terjadi di banyak tempat di negeri ini, tanpa pengawasan dari berbagai pihak dan masyarakat, anggaran ini rawan penyimpangan dan inefesien. Untuk mengantisipasinya prinsip transparansi bisa menjadi salah satu solusi. Masyarakat memiliki hak untuk bisa mengakses anggaran publik. Ini juga amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Pasal 7 ayat (2) misalnya mewajibkan lembaga publik menyediakan informasi publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan. Pasal 11 ayat (1) huruf c juga menyebut dimana badan publik wajib menyediakan informasi publik setiap saat yang meliputi seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya. Bagi masyarakat yang merasa dirugikan, bisa membawa masalah ini ke pengadilan.

Transparansi bisa menekan terjadinya tindakan korupsi yang menjadi penyakit akut negeri ini. Di Pulau Seribu setidaknya kita mencatat dua kasus korupsi yang masuk pengadilan. Di luar itu rasanya indikasi korupsi masih banyak dirasakan. Pada 2010 kejaksaan memproses kasus korupsi bandara Pulau Panjang yang diduga merugikan negara sekitar Rp 1,2 Miliar. Pada 2009, Pengadilan Negeri jakarta Pusat menyidangkan kasus dugaan korupsi di Kantor Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu yang merugikan negara Rp 3,5 miliar.

Memimpikan Pulau Seribu masa depan ini sekali lagi membutuhkan kerja sinergis dan peran saling mengisi antara negara, masyarakat sipil, dan pasar. Dan anda bisa memilih arena mana yang dipilih. Apakah masuk menjadi bagian negara atau pemerintahan untuk merubah dan mengabdi dari dalam, memilih bersama masyarakat sipil yang kritis, atau menjadi pelaku pasar yang bertanggung jawab. Pada akhirnya saya berharap secuil kisah ini bermanfaat bagi teman-teman FMKS dan memilih menjadi bagian dari masyarakat sipil kritis yang membela kepentingan masyarakatnya. Jikapun mimpi itu tak terwujud saat ini, mengutip pernyataan KH. Abdurrahman, maka percayalah “perjuangan itu bisa diwariskan” []

—–

* Disajikan dalam Konferensi Forum Mahasiswa Kepulauan Seribu (FMKS) dan Dialog Publik “Mendorong Demokrasi Lokal dan Good Governance; Arah Baru Gerakan Mahasiswa Kepuluan Seribu”, 9 Juli 2011 di Jakarta

** Penulis kelahiran Pulau Tidung Kepulaun Seribu, penulis novel Lelaki Laut. Saat ini bergiat di the Wahid Institute, Jakarta

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun