Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Denda Sepuluh Ribu Rupiah!

6 Mei 2011   06:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:01 157 0
Saya masih ingat seloroh seorang teman. “Di Indonesia ini terlalu banyak aturan. Itu dilarang, ini dilarang. Begini denda, begitu denda”. Sebetulnya, tambahnya, yang perlu di atur itu cuma dua: pertama, dilarang pakai sepatu saat masuk masjid. Kedua, merokok di pom bensin. Selain keduanya, boleh. Dipikir-dipikir, mungkin  ada betulnya. Negara ini terlalu sering membuat peraturan. Semakin banyak dibuat, rasanya makin banyak saja yang dilanggar. Sepertinya, peraturan dibuat memang untuk dilanggar. Tak percaya? Tanya saja pada anggota DPR. Saya pernah baca papan larangan buang sampah di aliran sungai. “Dilarang buang sampah disini. Perda DKI No 8 Tahun 2007 Pasal 21. Pidana kurungan paling lama 60 hari, paling banyak Rp. 20 juta.” Tapi, hampir setiap saat ada saja orang yang buang sampah. Larangan berarti perintah. Dilarang itu artinya dibolehkan. “Disini” loh, bukan “di sini” –ah, saya jadi ingat info penjualan rumah “Dijuwal rumah TP”. Di Jalan Raya Pasar Minggu, saya lihat papan pengumaman larangan berjualan di trotoar. “Di larang berjualan di sepanjang trotoar ini. Perda DKI No 8 Tahun 2007. Sanksi Penjara paling lama 60 hari denda paling banyak Rp. 20 juta.” Tapi setiap pukul 4 hingga menjelang malam, ratusan pedagang nyaman saja berjualan, bahkan di bawah papan pengumuman itu. Jika anda penikmat kereta dalam kota, larangan seputar hal ihwal menikmati transportasi publik itu bertaburan. Mulai dari sebaran, spanduk, hingga papan permanen dengan tulisan warna merah. “Di larang menumpang di atap kereta. UU No. 23 Tahun 2007 Pasal 183 ayat 1. Pidana 3 bulan, denda Rp. 15 Juta.”  “Dilarang berjalan di sepanjang rel kereta api.” Tapi, setiap hari pemandangan menumpang kereta di atas kereta api adalah hal lumrah. Ya, lumrah saja seperti anda menghirup udara. Ada pula larangan berjualan di peron kereta api. Tapi pengelola stasiun sepertinya menjadikan larangan itu sebagai alat tawar menaikan harga sewa. Setiap bulan, ada rupiah secara tak halal mengalir ke kepala stasiun. *** Melesat pukul 7 dari kantor, bersama seorang teman kerja, kami tiba di stasiun Manggarai pukul 7.20 naik bajaj. Di sepanjang jalan, sopir bajaj cerita berisi kritik atas kinerja pemerintah. Lumayan sekedar menyerap aspirasi. Seperti biasa StasiunManggarai ramai disesaki orang-orang pulau kerja. Para pedangang masih tampak sibuk menjajakan dagangannya: gorengan, siomay, indomie rebus, koran, otak-otak, atau CD bajakan. Setelah menunggu beberapa saat, kereta yang kami tunggu datang: kereta ekonomi Stasiun Kota- Bogor. Suasana tak terlalu penuh. Tentu saja untuk ukuran kereta pukul 8 malam. Artinya masih tidak berhimpit-himpitan hingga tak leluasa bernafas. Di atap gerbong, seperti biasa puluhan anak muda duduk dengan santai sambil bersenda gurau. Nyaman sekali. Persis kereta berhenti, kami berdua melompat naik. Memilih posisi di bagian dalam dekat persambungan kereta. Suasana seperti biasa. Didorong-dorong dari belakang. Tak lama, kereta bergerak. Sepanjang perjalanan kami bicara ngalor-ngidul seputar berita aktual atau hal remeh-temeh. Di samping kami, sepasang muda-muda saya lihat sedang berpelukan mesra. Mesra sekali. Si pria tak jarang membelai rambut pasangannya dalam hitungan waktu yang teratur. Mungkin sepuluh menit sekali. Si wanita kadang-kadang memandang wajah pasangannya itu sembari tersenyum. Sikap mereka biasa saja, tak rikuh, serasa hanya mereka berdua yang menumpang kereta delapan gerbong ini. Saya yang malu wahai kawan!!! Di depan pasangan muda tadi, tiga wanita muda yang duduk di bangku kereta bercengkrama sambil menodongkan muka. Tak jarang mereka cekikikan. Entah apa yang ditertawakan. Di kereta ekonomi orang cekikikan sudah pemandangan biasa, meski di tengah situasi kereta mirip saat thawaf haji yang berjubel-jubel. Itulah cara menikmati kesengsaraan. Dari mencuri dengar saya tahu ketiga wanita itu membicarakan seputar pekerjaan sebagai salah satu materi obrolan. Kali lain mereka bicara tentang pacar-pacar mereka. “Meski nggak cakep aku kok heran yah, suka banget sama dia,” kata wanita muda berambut sebahu. “Hei, sekarang ini tampang cakep nggak jamin setia!!,” timpal wanita yang bermata bulat. Aih!!! Kami berdua tersenyum. Sambil asyik mengobrol, kadang-kadang mencuri dengar obrolan tiga wanita muda itu mata saya tertumbuk pada baris-baris kata yang ditulis menggunakan spidol hitam di dinding kereta di bawah kotak rem. Posisinya ada di antara pintu persambungan dengan kaca jendela kereta. Bunyinya begini: Perda No 10 tahun 2010Pasal 1. Pacaran di atas kereta denda Rp. 10.0000 Pasal 2. Godain isteri orang denda Rp. 15.000Pasal 3. Tidur di kereta Denda Rp. 5.000 Ditetapkan di Jakarta 2010.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun