Aku menemui tetanggaku yang sedang membereskan perkakas rumahnya. Besok dia akan pindah ke rumah yang baru. Kedatanganku ke rumahnya bermaksud untuk membantu mengepak barang-barang yang akan dibawa.
Aku merasa kehilangan jika tetanggaku yang bernama Tono itu pindah. Kami sudah puluhan tahun hidup bertetangga. Orang tuaku dan orang tua Tono hampir bersamaan ketika membangun rumah di tempat itu puluhan tahun yang lalu.
Rumah yang aku tempati sekarang merupakan peninggalan orang tuaku. Demikian pula halnya dengan Tono, dia juga yang mewarisi rumah orang tuanya ketika orang tuanya sudah tiada.
Aku merasa tidak enak sama Tono, jika aku tidak ikut membantunya. Aku juga bermaksud hendak mengucapkan kata perpisahan kepada tetanggaku itu.
Rumah Tono sedang berantakan ketika aku datang. Tono sedang memilih benda-benda yang akan dia bawa. Satu demi satu benda-benda itu dimasukkan ke dalam kotak kardus besar. Kemudian kotak kardus itu diikat oleh Tono. Sedangkan barang-barang yang besar sudah dibawa menggunakan mobil pick up tadi pagi.
Aku menutup mulutku dengan masker untuk menghindari debu-debu yang ada dalam ruangan rumah Tono. Aku pikir bau serta debu dari barang- barang di rumah Tono itu bisa saja mengganggu saluran pernafasan.
"Alhamdulillah, beres...!" kata Tono, sambil menatap ke arah barang-barang yang sudah selesai dipacking. Tak lupa juga Tono tersenyum melihat ke arahku.
Tono mengulurkan tangan kepadaku. Aku membalas jabat tangannya. Kami saling meminta maaf, mungkin selama kami bertetangga ada kekhilafan yang kami lakukan.
Ada perasaan haru dalam hati atas kepindahan tetangga lama aku itu. Sebab, dari kecil kami sudah berteman. Bahkan kami pernah satu kelas dan duduk sebangku ketika masih SD.
Tono memberikan sebuah guci tua terbuat dari keramik kepada aku, sebagai tanda kenang-kenangan. Guci tua itu cukup besar. Diameter mulut guci tua itu dua kali tubuh orang dewasa.
Dengan senang hati aku menerima pemberian Tono. Dari kecil, aku memang sudah sering melihat guci itu ada di rumah Tono. Umur guci itu lebih tua daripada umurku dan Tono. Aku pikir guci itu bisa juga dipergunakan untuk menampung air.
Setelah aku selesai membantu Tono mengepak barang-barangnya, aku bawa guci itu ke rumahku. Aku membawa guci itu dengan cara menggelindingnya di atas tanah. Karena bobot guci itu lumayan berat, tidak mungkin aku membawanya dengan cara dipikul ataupun digendong.
Sebenarnya Tono hendak membantu aku membawa guci itu. Aku menolak bantuan Tono. Aku pikir Tono sudah kelelahan karena membereskan isi rumahnya. Aku tidak mau merepotkan Tono.
Akhirnya secara perlahan-lahan guci itu sampai juga di rumahku.
***
"Buat apa sih, Bang, bawa guci seperti itu ke dalam rumah!" protes istriku.
"Buat kenang-kenangan dari tetangga, Dek!" balasku.
" Mau kamu Taruh di mana Bang, guci tua itu? Rumah kita sudah penuh dengan peralatan! Nanti aku yang bakal repot mengurusnya!" kata istriku dengan wajah masam.
"Adek tenang aja! Guci ini biar Abang saja yang mengurusnya. Guci ini akan Abang pergunakan untuk menampung air wudhu," jelas aku
"Kamar mandi kita sudah sempit, Abang! Sudah ada bak mandi, mesin cuci, ember dan segala macam tetek bengek peralatan mandi dan mencuci. Kalau Abang tambah guci besar lagi di situ, kita akan susah bergerak!" Omelan istriku bagai senapan mesin.
Rencananya aku memang mau naruh guci tua itu di kamar mandi. Akan tetapi telingaku hampir robek mendengar omelan istriku, sehingga guci tua itu aku letakkan di beranda belakang rumah. Kebetulan di sisi tembok beranda belakang ada keran air. Aku bisa menaruh air ke dalam guci dengan mudah.
Istriku tampak tetap tidak suka walaupun guci tua itu aku taruh di beranda belakang. Tapi omelannya agak berkurang. Aku merasa lega, berarti kehadiran guci itu tidak menimbulkan perang mulut yang lebih hebat lagi dengan istriku.
***
"Ayah, gucinya bagus. Aku suka!" kata anakku yang duduk di bangku kelas lima SD, ketika kami berkumpul di meja makan sehabis sholat mghrib.
Istriku memasang wajah masam mendengar penuturan anak lelaki aku itu. "Akh, anak dan ayah sama saja, suka ngumpulin benda-benda tidak berguna!" sambung istriku.
"Guci itu kan bagus, Bu, aku bisa mengisinya dengan ikan peliharaanku!" kata anakku sambil tersenyum kepada ibunya. Kemudian dia palingkan ekor matanya ke arahku. Dia memberi kode seakan-akan penolakan ibunya hanya sebuah lelucon.
"Kita kan sudah punya aquarium, Sayang. Buat apalagi kamu naruh ikan dalam guci jelek itu!" balas istriku kepada anaknya sambil merengut.
"Guci itu akan aku taruh ikan hasil tangkapan dari parit dekat pinggir jalan, Bu. Sedangkan aquarium untuk ikan mas koki!" Anakku tetap mempertahankan keinginannya.
Istriku tidak membalas lagi ucapan anakku. Justru dia menatap ke arah aku dengan wajah masam.
Aku palingkan pandanganku ke arah lain. Aku pura-pura tidak melihat jika wajah istriku seperti benang kusut.
Tiga hari kemudian, aku lihat sudah ada ikan kecil- kecil berenang di dalam guci itu. Aku yakin itu pasti kerjaan anakku. Tapi aku tidak mengambil pusing dengan kelakuan anak-anak. Aku biarkan saja perbuatan anak
itu, asalkan tidak merugikan dirinya. Aku relakan guci yang rencananya untuk menampung air wudhu berubah jadi kolam ikan.
***
Setelah satu Minggu guci itu nongkrong di beranda belakang, istriku sering mendapat mimpi yang menurutnya aneh.
"Bang, malam tadi aku bermimpi mulut guci itu berubah menjadi lubang sebuah goa. Aku tersedot masuk ke dalam goa itu. Tubuhku melayang- layang di dalam perut goa yang sangat gelap. Kemudian, ketika sampai di ujung goa, tubuhku terhempas. Tubuhku terasa nyeri. Kepalaku sakit seperti mau pecah. Pandangan mataku terasa berkunang-kunang."
"Setelah itu aku terhenyak dari tidurku. Aku lihat tubuhku berkeringat. Jantungku berdebar!" cerita istriku ketika kami berkumpul kembali di meja makan.
"Itu karena Ibu melarang aku menaruh ikan dalam guci itu!" Anakku membalas cerita ibunya sambil tertawa kecil.
Mataku membulat menatap ke arah anakku. Aku tidak suka anakku berkata seperti itu kepada ibunya. Biar bagaimanapun seorang anak tidak boleh melawan ibu.
Anakku langsung terdiam sambil senyum dikulum. Tampaknya dia mengerti dengan isyarat mata yang aku kirim kepadanya.
"Mimpi itu hanya bunga tidur, Dek! Mungkin karena adek tidak suka dengan kehadiran guci tua itu, sehingga sampai terbawa ke alam mimpi!" Aku menatap istriku yang sedang menyantap makan malam di atas meja.
"Kamu selalu begitu, Bang! Tidak pernah sekalipun Abang langsung menerima kata-kata aku. Selalu ada saja alasan Abang! Abang ingin kalau aku cepat mati, ya? Supaya Abang bisa kawin lagi!" ucap istriku dengan nada tajam.
Aku hanya geleng-geleng kepala sambil menatap istriku. Aku menyambar gelas berisi air minum di hadapanku. Setelah air minum melewati kerongkongan, aku tinggalkan meja makan. Aku tidak mau berdebat dengan istriku, apalagi di depan anakku
Namun ternyata mimpi yang dialami istriku tidak hanya sekali. Hampir setiap malam istriku mengalami mimpi yang sama. Setiap kali kami berkumpul, selalu saja istriku mengomel perihal kehadiran guci tua itu.
Karena capek menghadapi omelan istriku, akhirnya aku putuskan untuk mengembalikan guci tua itu kepada Tono, tetanggaku yang telah memberikan guci itu. Aku menemui Tono di rumahnya yang baru.
Tono menolak mengambil guci itu. Tono beralasan, barang yang sudah diberi tidak boleh diambil kembali. Sudah puluhan tahun Tono sekeluarga menyimpan guci itu, tidak pernah mereka bermimpi seperti yang dialami istriku.
Aku pikir apa yang dikatakan Tono benar. Aku sendiri tidak pernah merasa ada masalah aneh dengan guci itu. Dan aku juga tidak pernah bermimpi macam-macam berkaitan dengan guci tua itu.
Namun aku tidak boleh egois. Sebagai suami aku harus melindungi dan menjaga istriku dari semua hal yang membuat dia tidak nyaman dan ketakutan.
Aku akan berusaha mengeluarkan guci itu dari rumahku. Tapi bagaimana caranya? Jika dipecah dan dibuang, aku merasa tidak tega. Lagi pula itu sama saja dengan tidak menghargai pemberian Tono.
Terpikir olehku untuk menjual guci itu. Semua teman di kantor, teman masa kecil, teman masa sekolah, bahkan teman baru kenal aku tawarin semuanya. Tapi tidak satu pun di antara mereka yang tertarik membeli guci itu.
***
Pagi ini hari Minggu, aku libur bekerja. Istriku mengajak pergi ke pasar tradisional untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Istriku mengajak berhenti di sebuah toko kelontong milik orang keturunan Tionghoa.
Istriku membeli tepung terigu curah untuk membuat kue. Tepung terigu curah itu, oleh pemilik toko ditaruh dalam guci yang mirip dengan guci di rumah aku. Aku tertarik untuk bertanya perihal guci itu kepada pemilik toko.
"Guci ini bagus ya, Ko!" kataku sambil memegang pinggir mulut guci wadah tepung terigu itu
"Wah, guci ini sudah ratusan tahun umurnya. Guci tua ini sudah turun temurun dari kakek buyut kami," jelas pemilik warung dengan dialek Tionghoa sambil tersenyum kepada aku.
Aku manggut-manggut. Aku percaya apa yang dikatakan pemilik warung. "Aku juga punya guci seperti ini, Ko, di rumah," ucapku.
"Jika benar guci yang Abang punya sama persis seperti ini, aku akan beli dua puluh juta!" ujar pemilik warung dengan serius.
Mata aku terbelalak mendengar penuturan pemilik toko. Bagiku yang bekerja hanya sebagai karyawan biasa, uang dua puluh juta sangatlah besar nilainya. Tanpa basa-basi lagi, aku langsung menjual guci tua yang aku punya kepada pemilik toko itu.
Ternyata ucapan pemilik toko sembako di pasar tradisional itu tidak main-main. Keesokan harinya dia datang ke rumahku. Setelah meneliti keaslian guci tua itu, uang dua puluh juta masuk ke kentongku.
Wajah istriku senyum sumringah. Dia sudah melupakan tentang mimpi-mimpinya yang aneh berkaitan dengan guci tua hadiah dari tetangga itu.
"Bang, mending Abang cari lagi guci seperti itu . Nanti kita jual lagi!" ujar istriku sambil senyum sumringah.***