Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Jejak Semangat

18 April 2013   18:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:59 138 0
Suasana SD Islam terpadu pagi ini (tahun lalu) ramai. Apel pagi sudah selesai dilaksanakan. Tidak seperti biasanya terlihat di halaman sekolah ada sebagian siswa yang tidak berseragam. Bebas bermain bola. Tendangan bola dengan strategi kecil, fokus pada gawang lawan, bagaimana dia bisa melakukan eksekusi penalti ke gawang lawan seperti Robin Van Persie. Itu yang luar biasa.

Sebagian dari kelas lainnya memang sedang mendapatkan pelajaran olah raga, mereka turut bermain di halaman sekolah. Halamannya tidak begitu luas. Gedung yang dikelilingi pagar-pagar tinggi. Sangat mencerminkan sekolah di tengah mentropolitan. Mana mungkin sekolah desa tega mengoperasionalkan dana sekolah hanya untuk membangun pagar beton tinggi yang bagi mereka tak berarti apa-apa. Mereka lebih bijak dengan memanfaatkan untuk melengkapi kebutuhan buku ajar dan menambah pesangon guru-guru honorernya. Sangat kontras bukan.

Bel masuk berbunyi. Siswa-siswi kelas satu yang belum benar-benar bisa diatur berlarian kesana-kemari  di koridor sekolah. Ustadzah (panggilan untuk guru perempuan) berteriak memanggil mereka untuk segera masuk kelas karena pelajaran akan segera dimulai. Alhasil, mereka yang ogah dan tetap ribut harus dijemput dan digendong ustadzah ke kelas. Benar-benar harus ekstra sabar.

Sekolah dasar Islam ini patut diberi acungan jempol. Bagaimana tidak, di sana arti kebersihan dan kesucian sangat diunggulkan. Kebersihan dan kesucian menjadi tanggung jawab bersama. Sangat menjalankan indentitas islam yakni kebersihan sebagian dari Iman. Siapa yang beriman, dia harus menjaga kebersihan. Di depan pintu masuk sekolah sudah disiapkan rak-rak sepatu kecil berjejer rapih bercat warna-warni. Tulisan ‘Lantai Suci’ sudah menjadi pemandangan pertama pengunjung ketika akan masuk kedalam koridor sekolah. Mau tidak mau yang ingin masuk harus melepas alas kaki. Sangat bersih dan teratur. Islam memang indah jika orang-orang di dalamnya mau menyadari dan menerapkannya nilai-nilai islam dikehidupanya.

Ruang kelasnya tidak begitu besar. Memiliki beberapa meja dan kursi kecil. Catnya berwarna-warni yang dipadukan dengan beberapa gambar-gambar lucu. Masing-masing kelas memiliki warna yang berbeda. Dinding dalam dan luar ruangan tidak pernah sepi, selalu dipenuhi dengan hasil karya seni siswa, baik lukisan, kerajinan tangan dan hasil karya lainnya. Semuanya sengaja didesain seperti itu agar siswa disana semakin semangat belajar.

Mencoba membandingkan. Jika kamu tahu, sewaktu saya SD, di desa dekat rumah. Kedisiplinan masih sangat kurang. Gurunya saja kadang masuk kadang tidak. Masih ditemui beberapa teman yang berkelahi dan bermain bola di dalam kelas, mengibaratkan seperti area pertandingan dan mereka menjadi pemain yang siap-siap mencetak gol. Teman-teman lainnya terpaksa mengalah untuk ditendangi dengan bola dari pada dipukuli keroyokan. Ada yang nagis merengek minta pulang ada juga yang jengis, menunjukkan bahwa dia adalah siswa yang harus ditakuti di kelas. Kelas sangat kotor, berdebu dan berantakan. Banyak sampah yang berserakan. Bangku dan kursi bercorak motif yang kurang jelas, berbunyi decit mengganggu konsetrasi belajar, coklat pudar, dengan coretan-coteran yang ndak enak dipandang. Udara panas, plafon jebol, banyak tikus dan kecoa, pun dengan buku-bukunya, lusuh dan kumal sudah banyak yang usang. Pagar tinggi di sekolahku bisa dilihat di pintu masuknya saja, terbuat dari bambu dan tidak terlalu tinggi, selebihnya hanya semak belukar. Repot sudah, ketika musim hujan tiba. Sekolah sering kebanjiran karena mendapatkan kiriman air dari sungai dan sawah dekat sekolah. Jika sudah banjir, murid-murid dan guru sekolah terpaksa kerjabakti, jika sudah parah, kelas pasti diliburkan. Senyum nakal tersungging dari wajah mereka, pertanda akan pulang lebih awal. bergegas berenang di telaga desa yang airnya meluap-luap. Mencari ikat keting, kepiting, dan ikan kecil lainnya. Bebas tidak banyak aturan.

SD Islam terpadu ini begitu istimewa. Anak-anak yang cerdas dan semakin di dukung oleh sarana dan prasarana yang memadai. Segala peraturan dan tata tertib sangat mudah diterapkan di anak didik disini, dari kelas 1 hingga 6. Yah, meskipun kebandelan mereka kadang kumat dan butuh tenaga ekstra dari ustadz ustadzah untuk menyelesaikannya. Kontradiksi dengan sistem pendidikan di desa.

Pagi-pagi benar kami datang berkunjung ke SD tersebut untuk memberikan penyuluhan tentang makanan sehat dan sekalian mengadaka cooking competition yakni memasak nugget bagi teman-teman kelas 5. Jadinya, untuk hari ini teman-teman kelas 5 bebas dari pelajaran sekolah. Senyum muncul dari wajah-wajah kecil itu. Batinnya mungkin bersorak ramai karena hari ini mereka mendapatkan pelajaran praktik, tidak lagi berkutat dengan buku-buku penuh teori. Bagi teman-teman di kota, memasak mungkin hal yang berbeda. Sudah dapat ditebak, mereka-mereka yang memiliki jadwal padat untuk bemain, les dan belajar mungkin jarang membantu orang tua mereka di dapur, terlebih anak laki-laki yang sebagian besar harinya hanya untuk bermain. Bahkan, mungkin orang tua mereka juga tidak sempat berkunjung ke dapur sekedar menyiapkan sarapan atau makan malam keluarga karena agenda yang padat, akhirnya tenaga pembantulah yang dikerahkan. Kehidupan kota memang penuh dengan kompetisi.

Berbicara tentang kompetisi. Cooking competition yang akan di ikuti teman-teman hari ini adalah memasak nugget sayur. Mungkin lebih baik saja saya memanggil adek-adek kelas 5 ini dengan sebutan teman-teman, biar lebih akrab. Meskipun banyak dari mereka yang sok kenal dan sok dekat memangil “ustadzah-ustazdah, nanti kita masak ya?” atau “ustadzah namanya siapa?” (padahal belum cocok di panggil ustadzah) serta banyak sekali pertanyaan pembuka dari mereka sebelum kami naik panggung untuk menjelaskan sekilas tentang makanan sehat dan keuntungannya. Ketika waktu untuk tanya jawab dimulai, mereka sangat aktif.

Banyak dari mereka yang angkat tangan untuk mengajukan pertanyaan, atau sekedar ikut meramaikan dan mencari perhatian, atau malah hanya tertarik dengan hadiahnya? Ya, untuk yang berani bertanya, dari kami sudah siapkan bingkisan khusus. Suasana ramai ricuh.

Kami, yang pagi itu tiba-tiba meramaikan masjid SD dengan program sosialisasi adalah mahasiswa dari universitas yang tidak jauh dari TKP. Saya dan teman-teman tim sengaja di undang oleh ustadzah Nida, salah satu wali kelas dari kelas 5 umar bin khatab. Sebenarnya ini bukan program yang mewakili kegiatan kampus. Melainkan program dari bisnis kecil-kecilan kami. Bisnis nugget sehat dengan sayur. Entah dari mana Ustadah Nida tahu akan bisnis kita ini. Mungkin dari siaran radio setempat sekitar 2 minggu yang lalu atau dari siapa itu tidak penting. Tujuan saya dan teman-teman mengadakan acara ini untuk memberikan pengarahan anak-anak dari makanan yang mereka konsumsi.

Setelah acara sosialisasi selesai. Siswa digiring menuju kelas untuk mempersiapkan kompetisi memasak. Masakan yang akan dilombakan adalah membuat nugget sehat dengan campuran sayur. Tiga kelas itu mulai rame. Kursi-kursi diangkat dan dipinggirkan. Peralatan perang, (eh maksud saya peralatan memasak) di keluarkan. Kami hanya menyediakan bahan-bahan, jadi peralatan memasaknya sudah disiapkan masing-masing kelompok. Ada 15 kelompok yang ikut kompetisi. Masing-masing kelompok berjumlah 6 orang, jadi totalnya 90 anak. jumalh yang tidak sedikit dengan pendamping hanya 6 orang, 3 dari guru 3 orang dari tim bisnis.

Acara bagi-bagi bahan berjalan dengan lancar. Semuanya telah mendapat bagian sama. Lihat, wajah teman-teman tampak antusias. Hal ini terlihat jelas, dari alat-alat yang mereka bawa sangat lengkap, kompor, nampan, tempat penyajian, toping, dan lain sebagainya telah dipersiapkan. Bahkan ada yang sampai tidak terpakai karena ya memang tidak dipakai. Sebelum mulai membuat adonan, saya dan tim memberikan pengarahan untuk teman-teman. Bahan-bahan apa saya yang harus dicampur terlebih dahulu dan mana bahan yang digunakan untuk sentuhan terakhir. Lengkap, perlahan dan jelas. Dengan alarm yang bersamaan, mereka mulai memasak.
“ustadzah, ini nanti diapakan ayam sama tepungnya?” teriak salah satu anak di kelas utsman
“ustadzah, sayurnya kita kok sedikit, nda ada jagung juga kayak kelompok lain, kan Hana suka jagung” hana menghampiri saya sambil menarik-narik baju dan merengek manja.
“iya sayang, minta ke ustdzah Anis ya untuk ditambahin sayurnya” jawabku sabar.
“ustadzah, Lukman ndak mau minjemin pisaunya, masak dipakai sendiri, Ririn juga ingin ikut masak” eh, yang satu ini ikut-ikutan merengek juga.
“iya sayang, kan bisa gantian” Jawabku sekali lagi sabar.
Di kelompok lain ada yang melontarkan pertanyaan yang sama. Yang lainnya juga bertanya sama persis. Memang harus ekstra sabar. Bagaimana dengan tim yang lain ya...
“ustadzah, jangan kemana-kemana, temenin kita”
“Ustadzah, sini...”
“Ustadzah ini motong sayurnya bagaimana???”
“Ustadzah, Kahfi usil!”
“duh, ustadzah ini kemana to...”
“ustadzah...!!!!”
Alloh, mereka memang lucu, aktif, menggemaskan dan rasa ingin tahunya sangat tinggi.

Tidak habis pikir bagaimana lelahnya guru-guru pengajar mereka yang hampir seharian penuh menghadapi mereka dengan segala kenakalan, manja, dan rasa ingin tahunya yang tinggi. Belum dikali 6 hari dalam seminggu. Satu bulan. Setahun. Yah, maklumlah, namanya juga anak. Sebagai seorang pengajar, mengajar dan membimbing anak didik sudah menjadi naluri dan tanggung jawabnya. Dulu mungkin saya juga seperti mereka. Bandel, begajul, dan susah di atur. Bedanya saya di desa dan mereka di kota. Ah, di desa memang lebih indah.

Waktu sudah menunjukkan pukul 11.30. bel berbunyi pertanda siswa-siswi harus segera bergegas menuju masjid sekolah untuk melaksanankan shalat dzuhur berjama’ah. Lomba sudah sampai di tahap pengukusan. Jadi bisa ditinggal. Lihat saya dan tim, kucel gara-gara menghadapi anak-anak brilian yang serba ingin tahu, satu-satu harus dijelaskan dengan detai dan berulang. Kami pun ikut beristirahat sejenak dan mengikuti mereka ke masjid sekolah.
Lihat, baru kali ini saya melihat sekolah dasar dengan 2 mushalah yang lumayan besar. Dulu saja di SD saya tidak ada masjid, boro-boro masjid, tempat shalat saja tidak ada, terpaksa kalau shalat harus pulang kerumah dulu. Jarak sekolah dan rumah hanya 500 m. Setelah shalat dzuhur dan makan siang, bergegas kembali ke sekolah, melewati pematang dan sungai kecil. Yah, namanya juga di desa.

Saya terpesona dengan mereka siang ini. Sebelum jama’ah dimulai mereka muroja’ah (mengulang hafalan), tartil dan serempak, antara panjang pendek dan makhraj pun sesuai dengan bacaan. Yang dihafal bukan sekedar surat-surat pendek, melainkan juz 29 dan 28 yang didalamnya terdiri dari beberapa surat panjang. Subhanallah, sungguh anak-anak yang cerdas. Saya malu dengan mereka, betapa tidak, melihat hafalan saya yang masih gratul-gratul (ah, tapi sama hebatnya juga kok dengan mereka. Membanggakan diri, mau dapat 3 juz, minta do’anya ya. Hee)

Setelah shalat dzuhur, saya dan tim kembali ke kelas terlebih dahulu. Siswa-sisiwi masih asik dengan rutinitasnya dimushalah. Setiba di kelas kami dan para ustdzah melihat keadakan masakan nugget teman-teman. Terpaksa ikut turun tangan meniriskan kukusan nugget dan menaruhnya di kelompok masing-masing bagi nugget mereka yang sudah masak. Kelas masih sepi. Teman-teman tim masih sibuk membereskan peralatan memasak. Saya berkeliling sejenak sambil melihat karya dan hasil kreasi teman-teman SD Islam. Sejenak kemudian, saya tertarik dengan tempelan kertas-kertas di dinding depan ruang kelas mereka. Ku baca judulnya, ‘TARGETKU DI KELAS 5’, tulisan milik salah seorang siswi kelas 5 Abu Bakar. Aku berdecak kagum. Anak-anak sekolah dasar di sini memang sudah didik untuk disiplin, mandiri, dan bermimpi.

Mereka benar-benar sudah berani bermimpi apa yang akan mereka inginkan ketika dewasa. Mimpi mereka tidak hanya angan-angan, akan tetapi mereka sudah berani menuliskannya. Ya, di selembar kertas yang kubaca tadi, berjudul “TARGETKU DI KELAS 5’. Meskipun tidak muluk-muluk untuk memimpikan akan menjadi apa mereka kelak. Setidaknya, ambisi untuk berubah menjadi lebih baik dan mendapatkan kejadian yang spesial di tahun ini mereka sudah menargetkannya.

Target mereka sederhana tetapi luarbiasa. Kalau tidak salah baca, ada yang bertuliskan seperti ini,
Farhan : TARGETKU DI KELAS LIMA
-    LULUS SERTIFIKASI HAFAL JUz 28
-    BERTANGGUNG JAWAB (HABIS NUMPAHIN MINUMAN, SEGERA DI-PEL)
-    HARUS MANDIRI
-    NILAI UJIAN MINIMAL 95
-    PUNYA PESAWAT DAN MOBIL SPORT
-    MEMBUAT MOBIL SPORT
AMIN..

Hafifah : Impianku... aku ingin menjadi juara 1 dan aku ingin menjadi peraih nilau UASBN dengan nilai yang sangat memuaskan serta bisa berbakti kepada kedua orang tua. Dan semoga Alloh mempertemukan aku, umi, dan abi di surga, Amiinn...
Dan semoga aku bisa haji dan menghajikan umi dan abi. Serta diberi rizki yang banyak entah dalam bentuk kesehatan maupun harta. Yang terakhir, aku ingin semua harapanku di dengan Alloah. Amin..
Shabira : aku ingin khatam Al-Qur’an dan aku ingin nilai ipaku mendapatkan nilai 100.hobiku menggambar dan satu lagi aku ingin membahagiakan orang tua. Amiinn..

Nisa :
Targetku Tahun ini
-    Lulus sertifikasi hafalan Jus 29
-    Nilai pelajaran di atas 75
-    Ingin menjadi orang kaya
-    Setiap selasa rabu jualan jajan di kelas
-    Ingin punya bisnis
-    Ingin membeli mobil

Sungguh luarbiasa anak-anak ini. Baru kelas 5 SD, mereka sudah memiliki mimpi dan berani menuliskannya. Mimpinya sederhana, unik, dan lucu. Tidak seperti saya dulu  ketika SD. Banyak dari teman-teman saya jika di tanya guru di sekolah “kalian kalau besar mau jadi apa?”. Maka jawabannya akan terdengar serempak “Dokter ustadzah..”. Jawaban klasik akan tetapi membutuhkan perjuangan untuk mendapatkannya. Saya sendiri tidak ikut-ikutan di forum tanya jawab ketika itu. saya memilih diam, karena saya memiliki mimpi yang lebih dari itu (hanya menyangkal).

Matahari mulai condong ke barat. Teman-teman kelas 5 sudah kembali ke kelas masing-masing dan menyiapkan hasil masakan mereka yang sudah masak untuk mendapatkan perlakuan selanjutnya, yakni pencetakan. Saya dan tim menjelaskan tentang proses pembuatan nugget selanjutnya. Sekali lagi mereka sibuk sendiri, berebut adonan nugget yang sudah dikukus untuk di cetak.

Ada-ada saja tingkah mereka yang membuat saya tidak bisa behenti tersenyum. Dikelas Abu bakar, Hana tidak berhenti bertanya tentang nugget yang sebenarnya sedari tadi sudah saya jelaskan. Di lain sisi, dia juga menghabiskan remah-remah nugget dari yang di cetak. Duh manis, kalau seperti ini nuggetnya bakal habis duluan sebelum di goreng. Kejadian serupa juga berulang di kelompok lain, mungkin kelas sebelah juga seperti itu.

“ustdzah, ini sudah bisa dimakan ya. Sudah enak kok ustadzah?”. Lutfi anak kelas Umar bin Khatab bertanya dengan mulut penuh nugget setengah jadi.
“iya sayang, tapi ini masih belum jadi. Harus di cetak dan dilumuri dengan tepung roti. Nanti kalau sudah digoreng, Lutfi baru bisa makan nuggetnya ya”. Jelas saya.
“ustdzah, nuggetnya enak”. Azam ikut ikut memakan nugget yang setengah jadi itu.
Benar-benar anak kecil. Tidak sabar, selalu ingin tahu, dan lucu-lucu.

Alhamdulillah, setelah sabar mendampingin teman-teman dari proses awal hingga akhir, kini saatnya penilaian. Kreasi teman-teman sangat luar biasa. Lihat saja sajian nugget yang sidah dimeja, topingnya kreatif. Ada yang dibuat seperti menara dengan buah tomat di atasnya. Ada yang di hias dengan keju, keripik, mayonaise, dan saus. Ada yang di buat dengan isi sayur, berbentu salat nugget, dan masih banyak yang lainnya. Nama-nama nugget hasil kreasi mereka juga menarik. Ada yang dinamai nugget 134, nugget vegetarian, nugget the best, dan nama-nama imajinatif lainnya. Saya dan tim kebingungan untuk menilainya. Semuanya bagus. Kalian semua hebat adik-adik!!!

Tingkah mereka memang lucu. Sempat saya kesulitan dengan salah satu siswi, namanya Nabila. Dia tidak mau masuk kelas untuk penilaian nugget. Dia malu, soalnya banyak anak laki-laki yang berdiri di depan pintu masuk.
“ustdzah, Nabila ndak mau masuk kelas. Banyak anak lakinya di sana. malu” gerutu Nabila yang sedari tadi mondar mandir di depan pintu masuk kelas sambil membawa hasil masakan nuggetnya.
“lho, nda apa-apa Nabila. Mereka nda ganggu kok. Kalau Nabila nda masuk, nuggetnya tidak bisa di nilai dong. Ustadzah temenin ya...” bujuk saya.

Akhirnya Nabila masuk sambil menunduk dan memegang erat baju saya. Hmm, anak kecil yang manis. Dia sudah tahu baiknya hubungan antara laki-laki dan perempuan itu seperti apa, tapi mungkin perlu belajar lagi. semangat Nabila sayang.

Hari yang menyenangkan sekaligus melelahkan. Terima kasih teman-teman kelas 5 SDIT. Ternyata, di balik kenakalan dan keaktifan kalian terdapat sebuah potensi yang sangat luarbiasa. Semoga apa saja yang telah kalian targetkan, meskipun sedikit, yakinlah suatu saat hal itu akan terwujud. Allah SWT Maha Mendengar, dan pasti mendengarkan do’a teman-teman, yang dibutuhkan sekarang bagaimana teman-teman mewujudkan dan mnegusahakannya. Semangat teman kecilku, yang lucu, cerdas, aktif dan menggemaskan.
Pelajaran sederhana yang memahamkan kembali tentang arti penting sebuah mimpi. Berterimakasihlah karena kalian bisa bermimpi. Berani bermimpi mengisyaratkan kalian berani untuk mengambil aksi. Aksi adalah sebuah proses, yang nantinya dalam sebuah proses tersebut kalian akan di hadapkan kepada maslah-maslah yang harus terpecahkan. Ketika seperti itu, tetaplah yakin mimpi kalian akan terwujud. Proses diibaratkan seperti petani yang bercocok tanam. Panennya di surga . Dengan iktiyar yang sungguh-sungguh dan tawaqal, bahwa segala sesuatu di muka bumi ini tak lepas dari pengawasan Sang Khaliq. Man Jadda wajada, Man shabaran basiran. –Al-abid-

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun