Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Pesohor & TV Lebih Takut Kepada Lembaga Rating Daripada KPI

27 Desember 2013   08:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:27 457 3
SEMALAM saya berbincang santai dengan seorang pesohor. Saya semakin yakin, kalau pesohor -- juga Lembaga Penyiaran -- ''lebih takut'' kepada lembaga rating daripada KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Berapa banyak sih acara TV yang tamat dan mampus karena divonis KPI? Kalau pun ada dan bisa dihitung dengan jari di satu tangan, paling-paling cuma berganti nama. Tapi, berapa banyak acara yang berhenti, dimatikan oleh Lembaga Penyiaran karena ratingnya amblas, tak sesuai dengan target yang ditetapkan? Jawabnya: tak terhitung!

Teringat bincang-bincang dengan seorang petinggi stasiun TV, beberapa tahun lalu. Dia seorang penentu sebuah tayangan layak tayang atau tidak, distop atau lanjut di TV yang dipimpinnya. Dia pernahberujar kepada saya, ''Urusan dengan KPI serahkan kepada kami. Tak usah dipikirkan. Yang penting, bagaimana caranya agar acara yang kamu produksi mendapat rating yang setinggi-tingginya.'' Kalau perlu, lanjutnya, ''Copy paste aja acara tv tetangga yang ratingnya paling tinggi, tinggal kita kasih tambahan kreasi yang lebih ekstrem! Kita pecah peraihan ratingnya biar acara di TV tetangga itu tidak terlalu dominan!''   Dan sekarang, itu makin mewujud!

''KPI?''

''Urusan saya!'' tegasnya sambil tersenyum penuh makna.

DALAM upaya peraihan rating seperti itu, pesohor yang mengisi acara itu dikonstruksi sedemikian hingga, agar terus diberitakan (dengan sisi ''baik-baiknya'', tentunya), agar ketersohorannya makin menjadi-jadi. Sensasi yang mengundang liputan, gosip yang dicari-cari dan diada-adakan pun diproduksi, lalu dimunculkan di acara yang juga ditayangkan stasiun TV tersebut. Sang artis ''dipagari'' untuk tidak boleh diberitakan sisi negatifnya yang faktual. Dijaga seperti kristal mahal yang tak boleh retak sekecil apa pun. Sementara, pengisi acara andalan di TV pesaing, ''haram'' dimunculkan di infotainment yang tayang di stasiun TVnya. Kecuali kalau beritanya yang ''jelek-jelek''.

Alhasil, seorang pesohor bisa dengan arogan berujar, ''Apa pun kelakuan buruk yang saya perbuat, tak bakal ditayangkan oleh TV itu. Maklum,. rating TVnya tergantung saya!'' Hebatnya, sang pesohor itu pun mendapat keistimewaan lain,yang dulu hampir tak pernah ada. Dulu, pesohor yang menjadi ''ikon'' satu TV,langsung diikat secara eksklusif untuk tak boleh tampil di TV lain. Sekarang, artis-artis pencipta rating tinggi, seperti dibebaskan tampil di TV-TV pesaing, bahkan di jenis tayangan yang sama. Bayangkan, dua-tiga tayangan sejenis, sama-sama tayang di primetime, artis utamanya adalah sosok pesohor yang sama. Bahkan berbagi segmen. Segmen satu hadir di tayangan A di TV A. Lalu sang pesohor ''berlari'' ke TV lain, dan kemudian muncul di segmen tiga tayangan B di TV B. Makin yakinlah sang pesohor ini untuk tidak diberitakan ''aneh-aneh'' oleh banyak stasiun TV. ''Mereka semua tergantung sama saya, Mas,'' begitu tutur sang pesohor kepada saya. Saya cuma bisa terdiam, tak mampu membantah, karena memang demikian adanya. Paling tidak, dalam pengamatan saya.

Sebuah fenomena yang menarik dicermati. Ketersohoran menjadi sebuah kontruksi dengan sebuah kepentingan di dalamnya: rating tinggi dan peraihan iklan sebanyak-banyaknya. Durasi sebuah acara bisa melar dari satu jam menjadi 2, 3, bahkan 4 jam, bukan karena konten acaranya yang bertambah, tapi karena iklannya yang bertambah menggunung.

Tak aneh, kalau anak SD pun bercita-cita menjadi selebriti, atau menjadi (seperti) artis yang wajahnya muncul di hampir semua acara primetime sejumlah stasiun TV. Ketersohoran bukan lagi menjadi sebuah ''akibat'', tetapi sudah menjadi sebuah ''tujuan''. Orang-orang melatih kefasihannya berbicara, menjiplak gesture orang terkenal dan mengusahakan apa pun supaya bisa terkenal. Termasuk merekayasa gosip!

Kemampuan dalam seni akting, seni suara,dan beragam seni lainnya bukan lagi hal utama. Tetapi bagaimana menciptakan sebuah ''brand'', yang bahkan, ''brand'' itu adalah bukan dirinya sendiri. Sengaja dipompakan, sengaja direkayasa. Sebutan ''maha bintang'', atau ''diva'' bukan lagi karena kepiawaian seseorang dalam dunia seni suara, seni peran, atau lain-lainnya.  Tapi karena sebuah konstruksi identifikasi wajah, proporsi tubuh, gesture dan karakter yang diidealisasikan oleh media.

Dan kita pun menikmati kisah sukses yang sebenarnya hanya sebuah ''konstruksi kisah sukses.''

Di balik semua ini, saya cuma ingin mengatakan ''selamat jalan KPI'', dan ''sukses selalu untuk lembaga rating''.

@maman1965

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun