Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Sarang Bersenyum

21 Desember 2010   04:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:32 105 4

Maaf. Itu kata yang sambil saya ucapkan dalam batin saya ketika menanjak menyusurijalan-jalan desa Ngripungan beraspal kasar. Sudah dua kali saya bersama mbak Sasha kesasar, salah jalan. Karena di desa itu jalannya menurut saya banyak yang kembar. Setelah melewati jalan yang disana berdiri tegak papan kecil bertuliskan “Tugu Belanda”, saya sejenak menghentikan mesin motor.

“Mbak, kita minta bantuan mas Yula atau siapa untuk menjemput kita di tugu Belanda ini” pengajuaan saran saya.

Melihat wajah mbak Sasha, saya tidak tega. Belum sarapan sudah saya ajak susur jalan menanjak dan lumayan menegangkan. Untung saja kami berdua sudah menghadap Tuhan di rumahNya jadi rasa lelah dan binggung bisa terkontrol.

Tangan kanannya memegang handphone dan menekan nomor mas Yula. Tapi sebelum ditekan digit dua belas itu, dia berkata “ora eneng sinyal”. Saya hanya pringas-pringis menghibur hati sambil mengingat-ingat arah jalan menuju tempat dimana penghuninya sangat ramah dan terlihat bahagia. Sarang Bersenyum.

Kembali teringat, Tuhan ada pada orang-orang yang berani petuah mas Yula.

Beruntung, mas Yula dan seorang remaja kelas satu SMP menjemput kami. Sesampai di sana, mereka besar-kecil, tua muda sedang beradu mulut untuk menciptakan sederetan senyum panjang selama membuat burung kertas.

Walau datang terlambat, saya bisa menikmati keceriaan bersama anak-anak Studio biru disana. Melihat sekian puluh burung kertas dengan warna-warna yang mereka suka, penuh senyum dan tawa mereka membuat burung kertas. Entah harapan apa yang mereka selipkan ditiap lipatan kertas yang menjadi seekor burung yang penuh dengan harapan untuk masa depan mereka kelak.

Satu buku, bukankah terlalu sepele buat kita, namun untuk mereka satu buku yang didalamnya berisi baris-baris kata yang mampu membuka cakrawala masa depan mereka. Menjadi jembatan untuk membuat sebuah dayung yang mampu menghantarkan mereka tetap selamat di jaman yang semakin maju dan entahlah apa namanya. Dunia yang menggila.

Kemauan dan usaha mereka yang menjadi sampan/perahu besi.

Jalan dan naik sepeda dengan medan yang naik turun siap menjatuhkan diri mereka sewaktu-waktu jika mereka lengah dan tak berhati-hati. Mereka lebih beruntung dibanding saya. Mereka lebih sehat dan kuat. Rajin naik sepeda, jalan kaki, kalori terbakar tepat pada waktunya, menikmati udara yang sangat segar. Energi pepohonan hijau selalu menerobos mata mereka, mungkin energi suci itu yang selalu mereka gunakan sebagai bahan bakar, untuk mereka selalu tersenyum dan giat belajar ditengah lingkup hidup yang cukupmurah.

Dinding dari anyaman bambu menjadi pelindung sinar UV, atap genteng. Mereka kaya akan angin hijau. Dari jendela gubuk itu mereka sebentar menatap keramaian kota Jogja dari bukit. Luas dan tidak hijau.

Buku adalah gudang impian. Gudang yang terawat dan penuh harapan.

Harapan yang tidak pernah mati namun tetap ada.

Sebuah buku akan sangat berarti bagi mereka dan akan menciptakan lebih banyak lagi butir-butir senyum yang menguap di Bumi Pertiwi.

---Jika para pembaca ingin menciptakan senyum dan harapan indah untuk mereka penghuni sarang bersenyum, dapat memberikan sebuah buku dan seekor burung kertas buatan pemberi buku yang mewakilkan harapan hidup ceria untuk mereka---

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun