Ini adalah hari ke-8 saya menempati rumah baru yang terletak di wilayah Jakarta Barat. Sambil menuliskan artikel ini, saya jadi ingat semua proses dan perjuangan yang harus saya lewati di lima bulan ke belakang. Lumayan berat, tapi penuh berkat.
Jadi, awalnya saya sedang mampir ke satu rumah di daerah Jakarta Barat. Saat itu di depan rumah ini saya lihat beberapa bangunan yang sedang dibangun. Sudah beberapa kali teman saya yang tinggal disini bilang kalua sedang di bangun beberapa rumah di gang tempat dia tinggal. Sebuah gang yang hanya bias dilalui satu mobil dan masih terletak di tengah kota. Hanya beberapa menit dari pusat perbelanjaan ternama di Jakarta. Dia memberi tahu saya tentang rumah ini karena tahu saya sedang iseng mencari rumah. Sempat ke bogor dan berbagai pameran untuk cari tahu. Sekedar cari tahu, sambil menabung kecil-kecilan. Karena toh di pameran banyak kan perumahan yang menawarkan gratis ini itu dan hanya tinggal DP 5 juta. Itu deh yang saya cari dulu.
Tapi rumah di tengah Jakarta? Sulit untuk membayangkan bisa dapat rumah di kota. You've heard what they've said, "Lahan semakin sempit, rumah di Jakarta sudah tidak ada lagi yang murah". Hingga saya lihat rumah di hadapan saya waktu itu. Iseng-iseng, saya googling alamat rumah untuk cari tahu detail dan harganya online. Benar saja, rumah tersebut ada di salah satu situs property. Dengan harga yang lumayan bikin heran; karena gak segitu gila mahalnya.
Harganya? Saya gak enak sebut harga secara detail disini. Yang jelas gak bombastis milyaran seperti yang diisukan. Dengan semangat iseng lainnya, saya kontak agen penjual yang nama dan nomornya tertera di papan depan rumah yang sedang di bangun itu. Oh, di gang tersebut sedang ada 6 rumah dibangun, termasuk rumah yang saya tempati. Rumah ini dibangun di atas runtuhan rumah tua dan dijadikan rumah ala townhouse dengan luas tanah kecil, namun meninggi ke atas. Hemat ruang.
Proses pembelian
Setelah cek rumah (dan naskir tentunya), saya diperkenalkan oleh agen ke pemilik deretan rumah tersebut. Dalam obrolan yang kurang lebih berlangsung satu jam, saya dijelaskan dengan detail proses pembelian rumah, persyaratan dan biaya terkait. Secara singkat, ini yang saya pelajari:
- Persayaratan dokumen di awal adalah hal termudah yang akan kita lewati. Cukup ktp dan npwp. Next, saat di bank dokumen yang diminta juga tidak kalah simpelnya; surat keterangan karyawan dari kantor, slip gaji 3 bulan ke belakang (beberapa bank memang minta rata-rata saldo kita untuk stabil terisi dengan pengeluaran yang gak signifikan untuk dilihat kemampuan bayar), kartu keluarga, akta kelahiran. Sepertinya persyaratan ini akan lebih complicated untuk wiraswasta karena gak ada slip gaji dan bukti penghasilan tetap. I don't know, ask the bank.
- Down payment. This would be the hardest one that will crush you to your small details. Jadi, karena rumah ini bukan dibeli dari property besar ala podomoro, gak ada promo DP murah ataupun gratis biaya. Saya bernego langsung dengan pemilik property tentang DP yang saya mampu, termasuk berapa kali cicilan. Hari itu adalah bulan Juli 2019 dan si rumah diperkirakan akan selesai dalam 4 bulan saja. Akhir November 2019, rumah bisa ditempati. Dengan sisa 4 bulan saja, saya nego agar DPnya hanya 10% dan dibagi 4x plus membayar booking fee yang lumayan glek-25jutaan. Di approve dan bang! Di hari itu juga saya membayar booking fee dan DP pertama. Tabungan pun menyusut dengan cantik.
- Biaya bank. Pemilik rumah gak bisa menjelaskan secara detail biaya rumah yang perlu disiapkan. Hanya bank yang nanti kita pilih akan bisa jelaskan detailnya sendiri. Nah, ini menarik. Kita bahas nanti di bawah ya.
Alur proses pembelian
Ini yang dulu saya gak kebayang dengan jelas dan bahkan urutan proses pembayaran / pembelian rumah ini gak terlalu banyak dijelaskan di situs jual beli rumah. Atau mungkin saya aja yang gak ngerti? Intinya, alur pembelian rumah langsung ke home developer/owner adalah seperti ini:
Pembayaran Booking Fee - pembuatan surat kesepakatan jual beli rumah dihadapan notaris - pembayaran cicilan DP - rumah diselesaikan - kontak bank untuk appraisal (alias evaluasi oleh bank) - bayar biaya appraisal - dapat hasil survey dari beberapa bank yang kita tunjuk - pilih bank (dengan coverage dan promo terbaik) - bayar biaya bank - bayar biaya notaris - notaris cek keabsahan dokumen dan pengalihan nama akta rumah - akad di bank (dokumen lalu ditahan di bank) - serah terima rumah dan kuncinya, lalu move in. Done.
Apraisal dan biaya bank
Saya gak pernah tahu arti appraisal bank sebelumnya. Ternyata, apabila kita memilih untuk menggunakan KPR, kita harus melalui proses Panjang yang menarik: mempelajari setiap promo bank, penawaran, menghitung biaya yang ditetapkan bank dan membandingkan bank satu dan lainnya.
Setelah rumah sudah 90% selesai, kita mulai bisa menghubungi beberapa bank yang kita pilih atau sudah bekerja sama dengan developer untuk bertanya tentang biaya yang biasa mereka kenakan. Setiap bank punya penawaran dan syarat beda. Misalnya, BCA rate bunganya dikenal lebih stabil, tapi DP harus 15%. Mandiri bisa 5% untuk rumah baru pertama dan dibeli dari developer bukan home owner, Permata DP 15%, dll.
Beberapa bank akan minta kita untuk membayar biaya appraisal yang range biayanya sekitar 300-1,5 juta. Mandiri sendiri yang mayan tinggi. Kalau gak salah, appraisalnya 1,250 juta. Appraisal ini adalah proses survey yang dilakukan bank untuk menentukan berapa harga rumah yang akan kita agunkan. Nilai ini lah yang menjadi jumlah kredit KPR kita Nah, kadang meski si penjual rumah bilang harga jualnya sekian, bank bisa memutuskan bahwa harga rumah tersebut di bawah atau diatas harga penjual. Tricky nya adalah ketika nilai yang diberikan lebih rendah, maka kita harus bersiap untuk menambah DP.
Itulah juga yang saya alami. Sudah hitung baik-baik bahwa DP dan biaya bank akan sekian, eh ternyata hasil appraisal dari 3 bank yang saya minta appraisal malah di bawah permintaan. Beberapa malah jauh. Akhirnya milih yang terbaik dan nambahin DP.
Anyway, biaya bank itu apa aja sih? Saya sendiri gak bisa ceritain detail karena sejujurnya terlalu banyak singkatan rumit yang baru saya dengar. Tapi kira-kira ini rinciannya:
- Provisi
- Administrasi bank
- SKHMT
- APHT
- Hak Tanggung
- Asuransi Jiwa
- Asuransi kebakaran
- Dana Mengendap
- AJB & balik nama
- Cek sertifikat
- PNBP dan SPS
- Deposit pajak
- RTGS.
Semua ini harus dilunasi pada saat akad atau pengesahan dokumen KPR di bank. Biayanya sendiri kurang lebih 10% dari biaya total pembelian rumah.
Muda dan mebeli rumah: gimana?
Sejujurnya, setelah melewati semua proses ini ada satu hal yang saya pelajari; membeli rumah itu bukan hal yang mustahil untuk anak muda. Menurut saya, setidaknya kamu harus fokus menabung untuk mempersiapkan dana untuk DP dan biaya-biaya bank yang kisaran dananya 20% dari rumah yang akan kamu beli. Fokus deh untuk mengumpulkan dana sekitar 250 juta. Untuk startnya.
Iya, kalau DPnya kekecilan kita akan membayar bunga yang jauh lebih tinggi disbanding harga rumah sebenarnya. Bagus memang kalau kamu bisa mempersiapkan dana lebih dari itu. Hanya, beberapa orang lebih banyak menunda dibanding bergerak. Saya sendiri, prefer untuk maju saja dan ke depannya lebih pandai lagi mengatur keuangan dan karir agar biaya lain bisa tercukupi.
Satu lagi yang menarik; rumah di Jakarta itu gak segitu langkanya. Coba masuk ke daerah perumahan lama. Masih banyak proyek rumah lama yang dijadikan baru. Adalagi yang menjual rumah. Prosesnya kurang lebih sama mudah dan rumitnya. Rajin aja tanya-tanya. Dan kadang, peruntungan dan jodoh memang jadi factor yang menentukan.
Di blog selanjutnya saya pengen ngobrol tentang hal yang lebih personal; kesan-kesan menjadi perempuan lajang yang membeli rumah. Percaya atau nggak, komentar yang saya dapat sangat beragam. Dari mulai bingung, menasihati, melarang dengan kasih, juga mendukung. Ada yang bilang jangan jadi perempuan yang terlalu mandiri, karena pria akan takut. Ada yang bilang, belinya nanti aja, patungan sama suami. Padahal, kalau pria yang beli rumah, mereka bilangnya "wah dia mapan". Saya pengen banget sharing ini. Seru gak tuh? Yuk cerita-cerita lagi nanti.
(Tulisan ini dipublikasikan ulang dari blog pribadi milik saya: https://wordpress.com/dindaaksari)