Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Menulis adalah Terapi 2 - Pada Kuasa Aksara

7 Maret 2024   16:19 Diperbarui: 10 Maret 2024   12:03 256 5

~ Menulis adalah Terapi 2 – pada "Kuasa Aksara. ~

Masa Depan Budaya Ekstase Membaca di Era  Teknologi  Digitalisasi buku

Pondasi menjadi seorang penulis harus memiliki budaya ekstase membaca. Mempunyai kecepatan membaca di atas rata-rata pembaca pada umumnya, memiliki pemahaman aksara atau huruf dan pemahaman keilmuan. Sejak usia dini setiap orang telah dikenal-kan dengan belajar mengeja huruf, mulai dari huruf a sampai dengan z, hingga mempunyai kemampuan membaca sebuah kalimat. Seiring berjalannya waktu meningkat kemampuan membaca sebuah kalimat dalam satu paragraf. Dan selanjutnya berkembang mampu membaca satu buku penuh. 

Pertanyaannya apakah kemampuan membaca setiap orang bisa mengembangkan kesadaran diri pada budaya ekstase membaca? Apakah mampu meningkatkan kesadaran diri akan budaya ekstase membaca dalam lingkungannya?

Pembaca adalah manusia pencerna makna penuh kesadaran: sesuatu peristiwa yang sangat abstrak, gaib, misterius tertanam dalam diri manusia. Pada jaman revolusi bangsa ini, kita mengenal dua orang tokoh pembaca/pencerna makna penuh kesadaran, ke dua tokoh ini dikenal dengan sebutan mesin pembaca yaitu Muhammad Hatta dan Tan Malaka. Begitu tinggi kecintaan-nya pada buku ke dua tokoh ini rela membawa kemana-pun buku-bukunya walaupun dalam pengasingan. 

Tan Malaka sebagai seorang buronan politik dalam pelarian terpaksa membuang semua bukunya, sedangkan Hatta membawa buku-bukunya dalam masa pengasingan beliau. Hatta dan Tan Malaka menyerukan budaya aksara dengan memberdayakan akal sehat, memahami aksara dan kemandirian pikiran menjadi sebuah kebebasan.

Bagi Muhammad Hatta buku adalah sebuah benda sakral dalam hidupnya, sebuah pengalaman, kenangan, sejarah di dalam material kertas yang beraroma khas dan tertera tanda tangan penulisnya. Hatta menemukan sebuah kenangan ketika memegang sebuah buku, buku adalah aktivitas sakral antara jiwa pembaca dengan teks yang tertulis dan aroma khas buku itu sendiri. “Membaca adalah pengalaman tersendiri, ditandai tegangan antara teks dan keadaan badan serta jiwa pembaca. Semakin kuat dan mantap tegangan itu, menjadi semakin fungsional teks itu.” Ronald Barrker Dan Robert Escarpit (1976:156). Harapan terbesar kita adalah adanya kemajuan yang signifikan akan budaya ekstase membaca bangsa ini, dengan didasari adanya peningkatan dan berkembangan sikap kejiwaan budaya membaca.

Dalam buku Kuasa Aksara (M. Fauzi Sukri-Penerbit Diomedia) memberikan pandangan bahwa sebagian besar orang memiliki kemampuan membaca rata-rata. Ironis-nya kemampuan membaca tidak seiring dengan berkembangnya kecepatan membaca dan mencerna, hanya sekedar membaca. 

Dalam hal ini realitanya membaca yang tidak diikuti dengan gerak pikiran, pemahaman dan penghayatan pada satu jalan yang sama. Bahkan tidak pernah berkembang secara signifikan atau meningkat drastis, dan cenderung staghnan.  Fakta-nya sejak dini kita belajar berawal dari sekolah Taman Kanak-kanak sampai Perguruan tinggi sebagian orang atau pembaca belum mengalami peningkatan kecepatan membaca yang signifikan.

Kemajuan bangsa ini tergantung pada generasi muda kita, saat ini adalah seorang pelajar dan mahasiswa, sedangkan keahlian atau kecerdasan seorang pelajar/mahasiswa itu sendiri  kuncinya adalah kecepatan membaca, membaca, dan membaca. Sehingga tercapainya sebuah tujuan yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, pelajar/mahasiswa harus mempunyai budaya ekstase membaca dan memiliki kemampuan ber-evolusi untuk membaca cepat. 

Kecepatan membaca yang berkualitas dan seiring dengan sistem kerja mata, gerak otak pikiran manusia. Sangat disayangkan penyia-nyian terbesar peradaban bangsa ini adalah waktu untuk membaca sangat kurang dan belum terbentuk menjadi sebuah budaya ekstase membaca.

Pada era ditemukannya teknologi mesin cetak atau tulis hingga era digitalisasi abad ini, terjadi perkembangan budaya aksara yang begitu pesat. Begitu juga dalam komunikasi dunia politik sekarang ini, sebagian besar politikus telah meninggalkan budaya aksara atau huruf. Arus komunikasi politik cenderung memilih menggunakan komunikasi gambar atau fotografi, tanpa dialog, dan tanpa retorika kata. 

Komunikasi politik gambar atau foto dalam dunia politik sepenuhnya imajinatif-figuratif, pragmatis-manipulatif dan anti dialog. Wacana yang terjadi sekarang ini, komunikasi dunia politik cenderung menggunakan budaya teknologi gambar atau fotografi, pada akhirnya meninggalkan budaya lisan maupun budaya aksara itu sendiri.

 Wacana ini terjadi karena sebagian politikus yang kurang matang, tidak mempunyai kemampuan pemahaman tentang retorika kata, kecakapan dialog, dan kemampuan nalar untuk berlogika. Sehingga cenderung menghasrati komunikasi budaya visual berupa gambar, baliho dengan foto yang menarik menjadi alternatif komunikasi dunia politik. Dengan memanfaatkan keterlibatan intelektual dan emosional politik dengan kesan yang mengagumkan. Fakta yang sangat mencemaskan saat ini adalah peralihan teknologi media komunikasi politik dengan dampak penurunan kualitas politik demokrasi di negeri kita tercinta ini.

Seiring dengan berjalannya waktu dari masa ke masa, sejak aksara ditemukan terjadi empat kali revolusi tekhnologi cetak atau tulis. Kemajuan teknologi dengan ditemukannya mesin cetak, mendorong terjadi percepatan aksara cetak maupun digital dan perkembangan budaya aksara mengalami evolusi dan revolusi semakin pesat. 

Dampaknya dengan berkembangnya mesin cetak/tulis, tercetaknya ribuan buku setiap harinya, tetapi tidak diikuti dengan perkembangan sikap kejiwaan budaya membaca. Bahkan di era digital sekarang ini budaya digitalisasi buku atau ebook berkembang semakin pesat di dunia maya. Terjadi digitalisasi buku dan perpustakaan maya saat ini, apakah digitalisasi buku akan melahirkan manusia yang protektif nan posesif terhadap buku cetak/tulis? Mampukah dengan meningkatnya perkembangan teknologi mesin cetak/tulis dan teknologi digitalisasi buku/ebook, selaras dengan meningkatnya gerakan budaya ekstase membaca?

Yang menjadi wacana saat ini adalah kekhawatiran akan peningkatan masa depan budaya membaca sangat kurang. Kemajuan teknologi dunia cetak yang semakin berkembang pesat, dan maraknya budaya digitalisasi buku dengan di produksinya ebook secara  massal. Dunia maya secara radikal menjadi pemicu perubahan dari textual Culture menjadi Visual Culture, atau dari Tradisional Book Culture menjadi Digital Book Culture

Pada intinya muncul sebuah pertanyaan yaitu terjadinya evolusi maupun revolusi percepatan cetak atau digital, apakah seiring dengan perkembangan evolusi atau revolusi percepatan membaca? Suatu percepatan membaca yang memiliki kemampuan untuk mencerna, kemampuan memahami dan menghayati. Hal ini yang diungkapkan penulis dalam buku Kuasa Aksara, kekhawatiran akan masa depan membaca yang lamban dan tidak ada perkembangan secara signifikan.

Untuk mencerdaskan masyarakat dan meningkatkan peradaban suatu bangsa, kita berharap terjadinya evolusi bahkan revolusi membaca cepat secara kolektif, seiring dengan sistem kerja mata, otak dan hati manusia

Budaya membaca dengan diikuti gerak pikiran, pemahaman dan penghayatan pada satu jalan yang sama. Sehingga ada peningkatan pada kemampuan membaca cepat, menganalisa, memahami setiap kondisi percepatan teknologi dan perubahan budaya. Kemajuan teknologi budaya aksara begitu cepat karena meningkatnya teknologi mesin cetak/tulisan dan digitalisasi buku pada era sekarang ini. 

Kesimpulan dari semua ini karena terjadi percepatan teknologi ini begitu berkembang, diharapkan seiring dengan terjadinya evolusi dan revolusi membaca cepat secara kolektif, seiring dengan sistem kerja mata, otak dan hati manusia. Demi mencerdaskan penerus bangsa dan masa depan budaya ekstase membaca bangsa ini.

 

Malang, Maret 2024

Salam

Rudy Aksara_Nusa

 


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun