Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Moratorium Remisi Koruptor Kebijakan Politik Pencitraan

8 Desember 2011   07:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:41 1067 0
Rencana moratorium remisi koruptor terus menuai polemik. Banyak kalangan baik yang pro maupun yang kontra terhadap wacana tersebut, keduanya sama-sama masih ragu akan keseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus korupsi yang menjamur di negeri ini.

Ketidakpercayaan ini tidaklah lepas dari fakta kebijakan pemerintah selama ini yang terlihat lebih memperhatikan kesejahteraan koruptor daripada menuntaskan kemiskinan masyarakat. Ini seperti yang disampaikan budayawan Wahyu NH. Aly apabila polemik terkait dengan wacana moratorium remisi koruptor ini sekedar drama bola panas yang akan diredupkan melalui adegan yang lain. Drama kepemerintahan presiden SBY yang selalu berhenti tanpa ada penuntasan (wrong ending).

"Wacana moratorium remisi koruptor, ini 'kan hanya siulan politis saja. Faktanya, SBY yang pernah berjanji akan menjadi terdepan dalam pemberantasan korupsi atau perampok rakyat, selama ini 'kan justru sebaliknya. Presiden selama ini sangat getol membela para perampok-perampok itu. Sebut saja di antaranya membebaskan  si perampok Aulia Pohan, besannya sendiri," papar Wahyu NH. Aly selepas mengisi dialog bebas bersama Lawang Ngajeng di Jogjakarta.

"Selain itu, dalam edisi perombakan kabinet ini, para menterinya yang tersandung korupsi dipertahankan mati-matian oleh presiden, semisal Muhaimin dan Andi Mallarangeng. Jadi, cukup pantas masyarakat menilai wacana ini sebagai gaya klasik pencitraan SBY. Saya sangat percaya, ini drama fiktif yang tak akan pernah direalisasikan. Meskipun demikian, mudah-mudahan sih sekarang tak demikian," lanjut budayawan muda ini.

Nudirman Munir, anggota komisi II DPR RI juga memberikan penilaian yang senada. Dia menegaskan, apabila wacana moratorium remisi koruptor hanyalah pencitraan yang sangat sulit untuk diimplementasikan. Kamis kemarin, Nurdiman mengatakan, "Kalau hanya moratorium 'kan tidak ada landasannya. Ini sama saja blunder. Ini tidak ada dalam literatur kalau moratorium itu bisa membatalkan undang-undang."

"Kalau mau pencitraan, SK pembebasan diubah saja, atau presiden mengeluarkan," jelas Nudirman dalam diskusi Moratorium Remisi untuk Koruptor, Legal atau Melanggar Hukum saat itu di Jakarta.
Pernyataan seirama juga disampaikan oleh mantan Menkum dan HAM Yusril Izha Mahendra. Wacana moratorium remisi bagi terpidana korupsi dan teroris, dinilainya hanya sebagai program gagah-gagahan Presiden SBY, agar dianggap berani memberantas korupsi. Yusril mengatakan,

"Hanya untuk gagah-gagahan saja."

Lebih jauh, wakil koordinator ICW Emerson Juntho dalam dialog Polemik di Warung Daun, ia merasa khawatir apabila wacana tersebut akan menimbulkan efek negatif yang lebih besar dengan meningkatnya vonis bebas bagi koruptor. Dikatakan di Jakarta pada Sabtu di bulan yang lalu, 7 November 2011, "Kami melihat ada kecendrungan banyak vonis bebas di pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di daerah-daerah."

Diterangkan juga oleh calon hakim agung terpilih Gayus Lumbuun, bahwasanya kebijakan moratorium remisi bagi terpidana kasus korupsi dan terorisme bertentangan dengan Undang-Undang tentang Pemasyarakatan. Ia memaparkan, di dalam Pasal 14 Ayat 1 Huruf I UU Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan jelas mengatur, narapidana berhak untuk mendapatkan pengurangan masa pidana.

Pernyataan-pernyataan kontra di atas selain membukakan realitas aturan negeri ini yang sarat kepentingan, namun tentunya juga mengurangi kecemasan para koruptor yang sedang mengalami kekhawatiran setelah mendengar wacana moratorium remisi ini. Karena, pernyataan di atas seakan terkandung unsur membantu pihak koruptor.

Polemik Istilah Moratorium Menuai Tanggapan
Polemik yang cukup keras perihal moratorium remisi koruptor menuai tanggapan serius dari pihak Kemenkum  dan HAM. Kemenkum  dan HAM mencoba mengklarifikasi dengan menjelaskan pengertian moratorium remisi koruptor. Melalui Denny, wakil Kemenkum  dan HAM, dikatakan apabila yang dimaksud moratorium adalah pengetatan bukan penghapusan sama sekali.

Ditegaskan juga, jika moratorium dimaknai penghapusan maka sama halnya dengan peniadaan undang-undang sehingga termasuk penyelewengan. Jelas mantan Staf Khusus Presiden itu dalam jumpa pers di Kemenkum  dan HAM, Kamis 3 November 2011,

"Kami melihat istilah ini disalahgunakan. Kami mengganti dengan pengetatan karena kalau moratorium berarti dihapuskan, undang-undangnya juga harus dihapuskan," jelas Denny.

Dikatakan pula, maksud pengetatan dalam hal ini adalah memaksimalkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 dengan memberikan persyaratan tersendiri untuk remisi dan pembebasan yang ditujukan khusus kepada whistle blower atau justice colaborator. Imbuh Denny, kebijakan ini bukanlah suatu kebijakan baru.
"Sudah ada pengetatan, ada syarat, tata cara yang berbeda dan lebih berat untuk narapidana organized crime, termasuk korupsi," tegas Denny.

Moratorium Remisi, Kebijakan Blunder
Meskipun secara peristilahan terkait dengan moratorium telah direvisi oleh Denny, dengan mengganti menggunakan wacana pengetatan, namun bukan berarti telah usai polemic seputar moratorium remisi untuk koruptor. Revisi tersebut masih memerlukan penjelasan yang gamblang, khususnya dalam implementasinya. Ini seperti yang dikemukakan oleh Ilyas, pengamat hukum yang berdomisili di Jogjakarta selepas menghadiri kegiatan budayawan Wahyu NH. Aly dalam dialog terbuka bersama Lawang Ngajeng.

"Moratorium apabila dimaknai penghapusan, tentunya memerlukan payung hukum. Harus ada undang-undang yang mengaturnya secara jelas. Apabila yang dimaksud moratorium itu pengetatan, itu sah-sah saja, tapi blunder dalam pelaksanaannya," terang Ilyas.

Menurut Ilyas, di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, secara tegas tercantum apabila remisi adalah pengurangan masa menjalani pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

Ilyas juga menambahkan, ditinjau dari aturannya selama ini pada dasarnya terkait dengan remisi memiliki beberapa jenis seperti remisi umum, remisi khusus, dan rernisi tambahan. Selain itu juga ada remisi dasawarsa. Bila melihat Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.01- HN.02.01 Tahun 2006, diatur juga tentang remisi umum susulan. Belum lagi dengan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M.Ol.HN.02.01 Tabun 2001 yang memberikan aturan akan remisi khusus tertunda dan remisi khusus bersyarat.

Kembali Ilyas menjelaskan, mengambil dasar Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.09.HN.02.01 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden RI Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi, dipahami bahwasanya remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana.

Pengertian berkelakuan baik di sini, adalah menaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang tercatat di buku register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi.
Melalui pernyataannya tersebut, Ilyas kembali mengatakan, apabila kebijakan pengetatan hanya ada di pusat sedangkan di lapas tidak ada mekanisme yang mengaturnya, menurutnya itu sama saja tidak ada artinya. Namun apabila pihak lapas dibuatkan aturan-aturan khusus dalam penilaian berkelakuan baik bagi koruptor, maka bukan lagi pengetatan melainkan sudah musti dibuatkan undang-undangnya agar tidak menjadi problem.

"Apabila tidak dibuatkan undang-undangnya, hanya sekedar kebijakan pengetatan remisi, itu tidak bisa berjalan lah. Yang menilai baik dan buruk narapidana itu 'kan lapas," papar Ilyas.

Lanjut Ilyas mengungkapkan, belum lagi melihat untuk remisi tambahan yang sampai hari ini masih tumpang tindih dan tidak ada keselarasan dalam beberapa penafsiran. Masing-masing aturan tidak memiliki definisi yang tegas, baik itu Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor M.09.HN.02.01 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, ataupun Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M.04-HN.02.01 Tahun 2000 tentang Remisi Tambahan Bagi Narapidana dan Anak Pidana

"Peraturan yang tumpang tindih dan tanpa keselarasan ini, yang hanya mencantumkan contoh-contoh perbuatan saja tanpa definisi yang tegas, tentunya dalam implementasinya membuka celah petugas untuk berbuat seenak-udelnya (semaunya sendiri)," ungkap Ilyas.

Pada kesempatan yang sama, Wahyu NH Aly menegaskan, problem selama ini di samping tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang remisi bagi koruptor secara khusus, juga kewenangan lapas yang begitu besar dalam memberikan penilaian baik dan buruk narapidana ataupun anak narapidana. Sehingga selama ini sangat terbuka kolusi dan suap.

"Blunder, kalau moratorium, apapun itu pengertiannya apakah dihapuskan ataukah diketatkan, kalau hanya sekedar kebijakan tanpa dibuatkan payung hukumnya," tegas Wahyu.

Tulisan bulan kemarin, November, yang disusun dari berbagai sumber seperti kompas.com., detik.com., vivanews.com., okezone, dll

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun