Apakah kata “memalukan” layak disandangkan pada Indonesia pascapertandingan melawan Bahrain? Atau mungkin ada kata lain yang tepat untuk mewakili kondisi sepert ini. Sebagai pecinta sebak bola, keadaan seperti ini sungguh membuat suasana hati saya tidak begitu baik. Sedih sekali.
Saya melihat sendiri tim sepak bola nasional Indonesia menjadi bulan-bulanan pemain Bahrain di laga pamungkas babak ke tiga Kualifikasi Piala Dunia 2014 Zona Asia. Laga kontra Bahrain pada Rabu (29/02) ini, pasukan Indonesia di bawah komando Aji Santoso dicukur 10 gol tanpa balas sama sekali oleh pemain Bahrain.
Timnas Indonesia yang diwakili oleh pemain U-23 bermain “seolah” tanpa beban sama sekali. Bahrain dan Indonesia telah pernah bertarung sebelumnya. Dari beberapa hasil tersebut, bisa dikata kedua tim cukup memiliki kekuatan yang hampir imbang. Tapi dengan hasil seperti ini, siapa yang tidak terkejut?
Beberapa waktu sebelum bertolak ke Bahrain, palatih timnas Indonesia, Aji Santoso, menegaskan bahwa pemainnya akan bermain lepas dan tanpa beban sama sekali. Bermodalkan kekalahan atas Persebaya dalam laga uji coba yang dihelat pada Jumat (24/02) Indonesia benar-benar tidak memiliki beban sama sekali menghadapi Bahrain. Bahkan, lambang Garuda yang disematkan pada dada semua pemain seolah bukan sebuah kebanggaan yang perlu dipertaruhkan. Yaa, sepertilah ini hasilnya.
Bahrain memang tak lolos ke babak selanjutnya. Meski berhasil menggilas Indonesia dengan skor telak seperti itu, Bahrain dipastikan tak bisa lolos ke babak keempat kualifikasi Piala Dunia 2014 zona Asia. Hal ini dikarenakan pada pertandingan lainnya, yakni keberhasilan Qatar menahan imbang 2-2 Iran. Dengan hasil tersebut cukup membuat Qatar berhasil bertengger di posisi ke dua dengan nilai sepuluh di susul Bahrain dengan nilai 9 dan Indonesia tanpa nilai satu poin pun. Memalukan!
Jalannya pertandingan kontra Bahrain mungkin cukup membuat semua penonton saling beragumen. Laga yang dihelat di depan publik Bahrain ini seperti sama sekali tidak diminati oleh pendukung Bahrain sendiri. Tampak penonton yang hanya berada di beberapa sisi tribun. Tapi kemudian mereka cukup terhibur atas sepuluh gol yang bersarang di gawang Indonesia. Selamat!
Pemain Indonesia sudah dikejutkan dengan dikartumerahnya Samsidar pada menit ke-3. Kiper Indonesia itu diusir wasit setelah melanggar Ismael Abdul Latif. Tak hanya kartu merah, Bahrain juga dihadiahi pinalti. Ismail cukup bagus menyelesaikan tugasnya.
Selanjutnya Indonesia harus bermain dengan sepuluh pemain. Bahrain yang dari peluit pertama pertandingan berjalan sangat agresif membangun serang semakin mudah menghancurkan pertahanan Indonesia. Di babak pertama saja Indonesia sudah ketinggalan 4-0 dari tim tuan rumah.
Memasuki babak kedua, Bahrain bukannya bermain santai, bahkan lebih menggila dari babak pertama. Dalam waktu 12 menit, Bahrain mampu melesakkan empat gol tambahan. Melihat kondisi timnya seperti itu, Aji Santoso menilai wasit telah melakukan pelbagai kesalahan. Aji langsung memprotes keras beberapa keputusan wasit. Sial baginya, wasit yang pada kenyataannya juga terkesan membantu Bahrain melayangkan kartu merah untuk pelatih Indonesia. Aji Santoso di usir keluar lapangan. Meski sempat bersikeras tidak mau keluar, Aji akhrinya melunak dan langsung meninggalkan pertandingan.
Baharain belum puas benar dengan itu, mereka kembali menambah gol hingga injury time pun ada gol yang bersarang ke gawang Indonesia. Skor 10-0 pun cukup membuat PSSI menjadi bulan-bulanan komentator di beberapa portal yang memberitakan pertandingan ini. Pembaca berita tersebut meninggalkan komentar-komentar pedas terhadap Djohar Arifin Husin. Mereka menilai Arifin jelas sudah gagal dalam memimpin badan sepak bola tertinggi di Indonesia ini.
Banyak yang menginginkan Arifin mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Dualisme kompetisi telah merusak sepak bola Indonesia. Kekalahan 10-0 atas Bahrain seolah menjadi asam yang ditaburi ke luka para pecinta sepak bola Indonesia setelah sehari sebelumnya melihat pemain U-21 dicukur 1-3 oleh Miyanmar.
Padahal, harapan masyarakat Indonesia untuk prestasi sepak bola di tingkat Internasional jelas diletakkan pada pemain-pemain muda. Mereka yang akan mewujudkan mimpi-mimpi Indonesia meraih prestasi tersebut. Namun, bila PSSI masih menjadi alat politik dan kepentingan suatu golongan, maka niscaya kita tidak akan pernah merasakan kejayaan dalam level apapun.
Kita seharusnya sadar bahwa Indonesia saat ini beda dengan beberapa tahun yang lalu. Selain memiliki calon pemain-pemain berbakat, Negara kita telah menjadi sasaran bisnis klub-blub besar dari Negara eropa. Beberapa bulanyang akan datang, Inter Milan, salah satu raksasa italia akan berkunjung ke Indonesia dengan skuat terbaiknya.
Beberapa waktu yang lalu para pemain veteran terbaik di dunia juga sempat menyambangi Indonesia. Mereka ingin melihat sendiri seperti apa Indonsia itu. AC Milan, Real Madrid, Arsenal dan Barcelona bahkan telah mempersiapkan diri dalam menyaring bakat pemain-pemain muda Indonesia lewat sekolah yang akan dibuka di Indonesia. Apakah kita tidak bisa memanfaatkan keadaan seperti itu?
Bila kondisi sepak bola masih seprti ini, puluhan tahun akan datangpun tak akan ada suguhan yang menarik dari bidang olah raga yang satu ini. Kita sempat memiliki harapan besar terhadap pemain U-23 yang pernah menampilkan permainan yang bagus dengan kualitas pemain-pemain muda berbakat. Namun, sekali lagi, bila yang bagus kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan satu golongan, maka yakinlah itu semua akan rusak.
Revolusi mungkin kata yang sudah punah untuk Indonesia. Tapi hancurkan dulu PSSI yang sekarang ini. Jangan pernah akui lagi PSSI sebagai badan sepak bola tertinggi di Indonesia bila masalah ini tak bisa diselesaikan dengan segera. Garuda yang berpaling wajahnya, maafkan mereka yang keterlaluan itu! [Akmal M Roem]