Oleh:
Akmal M Roem Perseteruan dan kematian! Hanya itu yang mungkin bisa menjadi kata tepat untuk sebuah rivalitas panas ini. Meski belum dimulai, panasnya laga El Clásico antara Real Madrid kontra Barcelona akhir pekan ini sudah merembet ke luar lapangan dan memakan korban jiwa di Angola.seperti dikutip di situs bola.ne, seorang remaja diduga dengan sengaja menembak mati ayahnya sendiri setelah keduanya terlibat debat sengit tentang laga El Clásico, demikian diberitakan kantor berita Angola, Angop. Memang tidak bisa dipungkiri, duel Real Madrid vs Barcelona adalah partai yang ditunggu-tunggu penggemar sepak bola se antero dunia. Duel yang disebut El Clásico ini tak ayal memberikan kejutan-kejutan yang kerap tidak bisa diprediksikan. Pertemua dua raksasa sepak bola Matador ini tak ayal direpresentasikan sebuah perseteruan republik. Karena persaingan antara Real Madrid vs Barcelona melebihi batas-batas wilayah. Rivalitas yang abadi, karena yang ikut bersitegang adalah ibu kota dengan daerah yang hendak merdeka. Tidak hanya sepak bola yang berbicara. Tapi, inilah politik yang sebenarnya. Real Madrid dan Barcelona adalah dua kota besar di Spanyol. Dari hal itu, bisa saja menjadi alasan yang cukup kuat untuk membentuk sebuah rivalitas. Mengingat kedua daerah ini memiliki kultur dan emosi sehingga banyak yang menganggap bahwa kedua kota tersebut telah menghadirkan dua ‘mahzab’ intelektual yang berbeda, dan tentu saja, berseberangan satu sama lain. Real Madrid adalah Castilan dan Barcelona adalah Catalan. Orang-orang Catalan adalah masyarakat yang bebas, sedangkan Castille lebih seperti Keraton-nya Spanyol dan pusat pemerintahan. Perseteruan memuncak ketika Jenderal Franco, orang Madrid, yang beraliran fasisme, ingin ‘membasmi’ daerah Catalan. Jadi, ketika El Clásico digelar dan dimenangi Barcelona, ini merupakan kemenangan seluruh rakyat Catalunya dalam membebaskan diri dari tirani pusat. Jika yang menang adalah Real Madrid, berarti ini adalah kemenangan pemerintah dalam upaya menegaskan kekuasaannya. Ada sebuah kalimat yang menegaskan tentang perseteruan antara masyarakat Spanyol terkait pertandingan ini. Kalimat yang berbunyi “Everyone picks a side” adalah sebuah pernyataan atas perseteruan ideologi, sosial, dan politik antara kebudayaan daerah yang ingin merdeka dengan pemerintah pusat yang kuat. Perseteruan ini tidak hanya melibatkan pendukung Real Madrid dengan Barcelona. Akan tetapi seluruh masyarakat Spanyol juga akan terbelah menjadi dua bagian. Mereka akan menjadi kelompok Castille dan kelompok Catalunya. Dan itu hanya aka terjadi ketika duel El Clásico berlangsung. El Clásico yang akan berlangsung dini hari nanti (11/12) masih kerap dianggap sebagai penentu gelar pada akhir musim. Ya, ini tidak hanya sebatas gengsi, namun harga diri untuk dominasi kedua tim di La Liga merupakan jaminan panasnya pertandingan ini. Karena kedua tim biasanya berada di pucuk klasemen, maka hasil dari El Clásico menjadi sangat menentukan siapa yang akan merajai liga pada akhir musim. Terkait prediksi hasil akhir penentuan klasemen liga, ada hal yang berbeda untuk tahun ini Hal itu diucapkan oleh mantan manajer legendaris Barcelona,Johan Cruyff yang menganggap terlalu dini menyebut laga El Clásico akhir pekan ini ketika Barca menyambangi markas Real Madrid, sebagai penentu gelar juara. Saat ini Real Madrid memang masih memimpin klasemen La Liga Primera, unggul tiga poin dari sang seteru dan masih menyimpan satu laga tunda. Artinya bisa saja, bila Real Madrid menang atas Barcelona dan juga menang di laga tunda, maka selisih poin bisa menjadi sembilan. Dan itu cukup memberi tekanan tersendiri bagi Barcelona. Cruyff memang selalu berkomentar terkait pertandingan ini. Tapi kali ini argumennya mencoba mementahkan teori tentang hasil akhir liga. Seperti dilansir ESPN, Johan Cruyff berkata bahwa “Kita akan lihat akhir pekan ini siapa yang akan keluar sebagai pemenang.Clasico tak akan jadi penentu. Masih ada banyak pertandingan tersisa. Apa yang terjadi akhir pekan nanti takkan ada pengaruhnya pada perburuan gelar juara.Itu hanya sebuah pertandingan, tak lebih. Kemenangan untuk Madrid tak akan serta merta mengartikan jika mereka adalah tim yang dominan.” Memang, beberapa fans Real Madrid sendiri beranggapan bahwa komentar Cruyff tersebut adalah bentuk dari ketakutannya kalau tahun ini memang benar Real Madrid yang akan menguasai kasta sepak bola Spanyol. Tapi itu semua hanya prediksi bukan? El Clásico sendiri telah menghasilkan pelbagai istilah. Mungkin Anda sudah mengetahui hal tersebut, seperti Cules dan Merengues. Barcelona dan fansnya dikenal sebagai "Cules" yang merujuk kepada kata "Cule" di bahasa Catalan yang berarti "bokong". Real Madrid memiliki julukan "Merengues". Disebutkan, ini mengacu kepada seragam timnya yang serba putih sehingga mirip dengan penganan puding yang terbuat dari putih telur dan gula, yang bernama sama. Kemudian, La Manita, adalah kemenangan telak Barcelona atas Real Madrid yang kemudian membuat fans Barcelona melambaikan sebelah tangan ke udara dengan jari dibuka lebar. La Minita atau tangan mungil adalah lambang kemenagan orang kecil atas orang castille. Selanjutnya, Villarato adalah teori konspirasi mengenai keputusan wasit yang bias dan menguntungkan kedua kesebelasan kerap membayangi duel Madrid kontra Barca. Pada era diktator Francisco Franco, tuduhan keberpihakan wasit dialamatkan kepada Madrid. Tetapi belakangan hal itu justru dilontarkan ke arah Barca. Khusus untuk musim lalu, fakta menarik adalah lahirnya istilah El dedo de 'Mou' adalah keributan yang terjadi saat Barca berjumpa Madrid di Piala Super Spanyol Agustus lalu. Diawali dengan pelanggaran di dalam lapangan, situasi lantas memanas sampai luar lapangan. Di tengah-tengah kericuhan tersebut Mourinho menyelinap ke belakang asisten Guardiola, Tito Vilanova, dan berusaha mencolok matanya--meski kemudian jari Mourinho malah mengenai pipi dan kuping Vilanova. Wasit tidak melihat "el dedo de Mou" alias insiden "jari-jari Mourinho" itu meski seluruh adegannya terlihat jelas di kamera televisi. Dan yang terpanas adalah Mes que un club. Slogan Barca "lebih dari sebuah klub" itu dapat ikut membantu menjelaskan betapa El Clásico memang bukan sekadar pertandingan sepakbola biasa. Barca dilihat sebagai simbol dari nasionalisme Catalan dan pergulatan mendapat pengakuan dari pemerintah Spanyol yang disimbolisasikan oleh Madrid. Di Camp Nou, fans Barca lazim mengibarkan bendera kuning dengan garis-garis merah yang merupakan bendera Catalan, dan mengusung spanduk bertuliskan "Catalunya bukanlah Spanyol". Juga tak sedikit yang memberikan siulan saat lagu kebangsaan Spanyol diperdengarkan di Mestalla sebelum final Copa del Rey musim lalu. Fans Madrid umumnya merespon dengan mengibarkan bendera Spanyol dan menyanyikan lagu 'Viva Espana'. Inilah bukti kuatnya revalitas kedua tim. Yang pasti El Clásico jelas bukan hanya sepak bola biasa. Ini perseteruan harga diri yang dimainkan oleh politik sepak bola. Seperti meja catur, Jose Mourinho dan Pep Guardiola akan berkonsentrasi penuh untuk meracik gerak para pemainnya agar bisa keluar dengan kepala tegak. Oleh karena itulah bisa dikatakan nama El Clásico sendiri memiliki fungsi yang ‘unik’ yaitu sebagai ‘pembatas transparan’ antara dua daerah dalam satu negara. Suporter dari klub lain, siapa pun kita, akan memilih salah satu di antara Real Madrid dan Bercelona, berdasarkan kepentingan dan ideologi masing-masing, everyone (should) picks a side. Anda pilih yang mana? []
KEMBALI KE ARTIKEL