Mereka selalu bermain bersama. Sedari kecil. Bila petang datang, tak ada yang mereka lewati dengan kesendirian. Hal itu akan mereka padai ketika senja datang. Itupun karena harus berada di rumah masing-masing. Malam tidak baik untuk mereka ajak bermain.
Sesuatu yang menyenangkan pasti akan dikerjakan bersama. Berbagi cerita dan tawa. Mereka sering mengintip acara televisi di rumah pak geuchik lewat lubang jendelanya. Siaran yang tak pernah mereka lewatkan; Kabuto dan serial anak si Unyil. Setelah menonton biasanya mereka bermain di pinggir kali; bermain masak-masakan, membikin sebuah keluarga–yang ada ayah, ibu dan anak–kecil, dokter-dokteran, dan pelbagai cerita asik juga bisa hadir dari tawa mereka. Paling tidak, cerita tentang hilang kartu main atau karet tanding yang disembunyikan ibu mereka.
Halulai. Begitu kata untuk nyebut singkat nama mereka bertiga. Entah dari mana mereka belajar membuat singkatan seperti itu. Mereka selalu bertiga. Ya, semacam tim kecil barangkali. Halimah, Lusi, dan Laila. Ketiga gadis kecil yang nanti akan menjadi besar, cantik, pintar, dan baik hati. Setidaknya itu harapan keluarga mereka. Kini mereka sedang belajar menjadi ibu-ibu. Bermain seperti itu kiranya pada sebuah waktu yang menyenangkan. Hari yang biasa untuk dilalui. Bermain dan tertawa bersama di bawah matahari dan bisik angin kecil.
Hari itu, tempat yang biasa dijadikan tempat bermain terlihat begitu panas. Matahari persis di atas kepala. Tak berangin atau awan yang bisa membuat suasana sedikit sejuk. Pun demikian mereka bertiga tetap memutuskan untuk bermain di pinggir kali. Sebab, permainan yang kemarin belum habis mereka mainkan. Mereka sudah sangat mengenal tempat ini. Di kali inilah mereka sering tertawa, bertukar cerita atau bertengkar sesekali waktu.
“Sebentar lagi lebaran. Apa sudah ada yang dapat baju lebaran?” tanya Lusi sambil tersnyum. Menyembunyikan sesuatu. “Aku sudah. Aku warna merah jambu! Baju yang bagus.” Jawab Laila, bangga. “Chop. Aku warna ungu. Tak boleh ada yang sama!” Lanjut lusi besar nada. Sementara Halimah masih terdiam. Menyulut senyum yang rawan dan aneh sekali. Senyum yang kira-kira tak pernah mereka lihat sebelumnya di antara sesama mereka. “Kau sudah ada baju lebaran, Ha!” tanya Lusi. “Chop. Jangan beli wana merah jambu dan hijau juga. Aku sudah pesan ayahku untuk membeli baju warna hijau. Chop!” Seronoh Laila sambil berdiri tegap. Dia pasang wajah penuh kebahagiaan. Mendengar tentang baju-baju itu Halimah tertegun. Sedih bukan kepalang. Dia berlari jauh. Meningglkan Laila dan Lusi di sana. Halimah pulang ke rumah sendiri. Menyusuri petak sawah yang berair. Bila tak kontrol dia bisa jatuh dan ditelan lumpur. Tapi, siapa peduli dengan semua itu. Halimah sedang benar-benar sedih. Tapi tak bisa menangis sama sekali. Dukanya begitu hebat.
Baju baru di hari lebaran menjadi sesuatu yang beda di sini. Setiap anak-anak pasti akan mendapatkan sesuatu yang baru dari orang tuanya. Biasa mereka dibelikan baju baru, celana, sandal atau sepatu baru. Boleh dikata, itu semacam hal yang wajib. Pabila tak diberikan, serasa lebaran tak lengkap bagi mereka yang dini. Anak-anak di kampung selalu menunggu baju lebaran yang dibawa pulang ayah. Karena ayah mereka yang mencari uang untuk rumah oleh karenanya ayah pula yang harus membelikan baju lebaran itu. Bagi anak-anak yang sudah tak memiliki ayah, biasanya mereka mendapatkan baju lebaran dari kakek atau paman. Tapi, hal yang paling indah bagi mereka tetap menerima baju lebaran dari ayah.
Orang-orang kampung di sini masih suka berburu dan menebang kayu di hutan. Belum banyak yang bekerja di kota. Hanya ada beberapa pemuda yang kebetulan dikirim oleh orang tua mereka untuk belajar di kota. Beberapa di antaranya ada yang menjadi petani dan penebang kayu. Para perempuan biasanya mencari rotan dan ada juga yang hanya menunggu suaminya pulang membawa ikan hasil pancingan di kali.
***
Hari mulai tampak gelap. Satu persatu anak-anak kecil berlarian menuju rumah mereka. Masuk dan hilang dari jalanan. Saat orang-orang akan berkumpul dalam rumah atau surau barangkali. Mempersiapkan sesuatu untuk berbuka puasa. Tapi, sore yang tidak menyenangkan lantas keluar dari raut wajah Halimah. Ia masih menyimpan kesal atas pertanyaan Lusi dan Laila tadi. Tentang baju lebaran yang dibelikan ayah mereka.
Halimah menatap ke arah hutan di senja yang akan punah itu. Tatapannya jauh sekali. Kosong. Matanya berkaca. Seperti hendak mengeluarkan air. Menenggelamkan asa. Membunuh segala kepedihan yang telah terkumpul besar. Melenyapkan senja dengan amarah. Dia sedang berpikir untuk menangis hingga air mata itu akan menjadi lautan yang luas. Membuas dan siap menghanyutkan siapa saja. Tapi, dengan berat ia menahannya agar tak jatuh setetespun. Sesekali ia usap hidung dengan tangan kecilnya. Matanya merah. Terus mengarah ke hutan. Wajah muram. Mulut terkatub. Diam. Ia menyimpan satu hasrat besar pada hutan itu. Apa yang dipikirannya sama sekali bukan sebuah dendam atau kebencian. Ia hanya menyimpan rasa rindu yang begitu menyiksa. Barangkali rasa itu harus ia tuntaskan kali ini. Begitulah cara ia menunggu untuk mewujudkan keinginannya itu.
Halimah sedang tidak menyukai permen atau main karet bersama Laila dan Lusi. Dia sedang menunggu kepulangan Ayah. Raut wajahnya menukilkan kepedihan yang teramat dalam. Kecut. Ingin menangis. Tapi sayang, dia sama sekali tidak bisa menangis di tempat ini. Padahal banyak sekali hal yang ingin ditangisinya. Apalagi untuk anak seumur dia. Pasti perlu banyak menangis untuk mendapatkan sesuatu. Namun, sekali lagi, menangis bukanlah hal yang baik baginya. Bila sedih dia lebih memilih memandang langit atau hutan ketimbang harus membuat matanya berair. Menangis itu mengeluarkan air. Bila air dalam tubuh kita sudah kering maka kau akan haus dan kita akan merasa lemas sekali. Jadi, jangan sering menangis. Nanti kau akan keseringan haus dan menjadi lemas. Begitu kira tipu Mak bila melihat Halimah mulai sedih. Bila mengingat kata Mak itu, Halimah menjadi gadis yang kuat. Tak bisa menangis. Dia hanya mampu memendam rasa sedih itu.
Saat itu, Halimah tidak sedang berpikir untuk menggambar gunung seperti yang diajarkan gurunya. Ia bahkan tidak ingat apa yang seperti dikatakan ibu guru saat mengamati gunung lalu menggambarkannya di kertas. Gunung yang ada hutan lebat, awan putih dan secarik cahaya matahari yang tersenyum di atasnya. Tapi kini Halimah sedang murka pada hutan. Hutan telah merenggut kebahagiaannya. Hutan yang ditatapnya itu telah membunuh keceriaanya.
Melihat Halimah yang berdiri diam sembari melihat gunung dengan awan mendung bergelayut di sana. Hati Mak gundah. Mak mencoba mendekatinya perlahan. Gemuruh terdengar sendu. Kecil dari kejauhan. Angin mulai merebahkan ilalang dan menggugurkan layu dedaunan. Mak pun bergegas ingin tahu kegundahan apa yang sedang dirasa Halimah.
“Apa yang sedang kau pikir, Nak?” Suara Mak pelan. “Ayah. Kapan dia pulang?” Halimah mendesah kecil. Mak jadi terdiam. Seketika suasana manjadi asing. Aneh. Mak selalu tidak bisa menjawab bila Halimah bertanya seperti itu. Kadang, agar Halimah melupa, Mak mengajaknya melihat pertandingan kicau burung yang dibikin pemuda kampung di lapangan ketika sore hari. Tapi menjelang magrib itu, Mak sama sekali tidak tahu harus memberi alasan apapun tentang pertanyaan Halimah. Mak hanya bisa diam. Lesu.
“Kita menunggu buka puasa di dalam, Nak. Sebentar lagi sudah magrib” rayu Mak agar Halimah bisa masuk ke dalam. “Mak saja yang masuk. Halimah ingin di sini dulu!” Hentaknya kasar. Mak tercengang. Suasana semakin tidak bersahabat. Mak linglung. Tidak tahu lagi harus membicarakan apa dengan Halimah. Banyak alasan yang sudah dia berikan selama ini. Selama ini Halimah sudah mempercayai alasan-alasan dari Mak. Tapi, tidak kali ini. Halimah benar-banar sudah bosan dengan alasan yang Mak berikan.
“Ayah janji kalau sudah pulang dari sana dia akan membawakan baju Lebaran untuk Halimah. Tapi, ini sudah hampir lebaran, ayah tak pulang, Mak! Bukankah ayah pergi sebelum kita mulai puasa? Lalu apa ayah tak ingat jalan pulang?” tanya Halimah. “Baju lebaran? Warna apa yang kau inginkan? Besok temani Mak ke pasar. Kita beli di sana saja.” Jawab Mak sambil merapikan letak selendang di kepalanya. “Aku ingin baju dari ayah. Seperti Lusi dan Laila. Mereka selalu dibelikan baju oleh Ayahnya. Tapi kenapa Halimah tak dibelikan baju oleh Ayah?” Teriak Halimah besar. Mak sedih bukan kepalang. “Mak tidak tahu, nak. Kita harus berdoa agar ayah cepat pulang. Bukan hanya Halimah, Mak juga sedih bila Halimah tidak semangat!”
Sesaat semua menjadi diam. Kedua mereka larut dalam kesedihan yang dasyat. Perlahan Halimah menatap Mak yang semakin galau dan sedih. “Mak sedih? Jangan menangis! Nanti Mak akan haus dan menjadi lemas!” seruduk Halimah. Mak tercengang. Diam dan tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.[]
(Banda Aceh, 2011)