Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Ritual Sunyi

8 Mei 2011   05:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:57 191 1
Malam itu adalah kali terakhir aku menemuinya. Dia kelihatan lelah dan kotor sekali. Dia ayahku. Bersembunyi dari sesuatu yang tak pernah kunjung kuketahui. Seingatku, dia selalu diburu oleh orang-orang yang begitu benci melihatnya.

Ayah sering menghabiskan waktunya dalam kamar kecil di bagian belakang rumah. Rumah ini tidak terlalu besar, hanya punya tiga kamar dan sebuah dapur sekaligus tempat makan bila sedang berkumpul. Bila hujan lebat, aku akan kerepotan membersihkan lantai. Basah dan becek sekali. Kadang terkesan seperti kubangan kerbau. Lucu dan jorok. Lantainya sama sekali tidak ada alas. Kami hanya punya tanah untuk dipijak. Kami hanya punya beberapa susunan papan untuk berlindung dari tiupan angin. Juga atap rumah ini terbuat dari susunan daun rumbia tua. Ayah yang mengerjakan semua itu.

Aku tinggal bersama Ayah. Ibu sudah tiada. Ya, bagiku, ibu sudah lama meninggal. Dia pergi meninggalkan aku dan ayah. Entah sudah mati atau masih hidup, aku sendiri tidak tahu karena dia tidak menjelaskankan apapun saat dia pergi. Barangkali ia tak patut memberitahukan padaku kemana dia akan pergi. Biarkan dia menemukan sesuatu yang baik baginya. Aku bahagia dia tidak di sini.

Waktu itu, kulihat ibu berusaha menahan tangis sembari menatap wajah ayah. Aku pikir, ibu memang tak bisa menangis. Hanya menatap ayah. Ayah juga aneh. Dia tidak beranjak sama sekali dari tempat duduknya. Hanya diam dan memandang wajah ibu. Lalu, tak lama sesudahnya ibu pergi begitu saja. Aku tak didekatinya sama sekali. Apalagi berharap untuk dicium atau dipeluk. Itu mustahil.

Ibuku tak seperti kebanyakan perempuan lain. Dia sama sekali tidak menyukai anak-anak. Apalagi gadis sepertiku ini. Kecil dan kumal. Kadang selalu merepotkannya. Apalagi ketika ayah dan ibu bertengkar hebat. Pasti aku akan jadi sasarannya. Melucutku dengan rotan. Memakiku dengan segala perkataan yang paling jelek. Hina sekali.

Pernah satu ketika ia memukuliku dengan keras sekali. Dia memukulku dengan sebilah batang kedondong. Aku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Aku merasakan sakit yang hebat. Seluruh tubuhku bengkak. Rasa yang sakit itu tak hilang selama tiga hari. Anehnya, aku benar-benar tidak bisa menangis sama sekali. Seperti ibu yang kadang sering menangis bila dimarahi ayah. Sedang aku, tak bisa mengeluarkan air mata. Aku merasakan sesuatu yang perih di bagian mata ini. Sakit. Tapi tak pernah bisa berair.

Agar dikasihani ibu, aku hanya bisa berteriak kesakitan. Berharap ibu segera pergi dan tak memukuliku lagi. Hanya itu yang bisa kulakukan. Tapi, untuk apakah itu semua? Petir dan hujan yang turun saat itu menelan raungan sakitku. Tak ada yang mendengar. Apalagi menolongku. Memang, hari itu aku yang salah. Aku berusaha mengintip apa yang dikerjakan ayah dalam kamar kecil. Ibu melihatku dari dapur. Tiba-tiba aku ditariknya kebelakang. Dipukuli dan dicaci. Ah, buat apa aku harus mengingat tentang perempuan itu.

Ayah pernah bercerita padaku, tentang ibu. Dia sebenarnya menikahi ibu hanya untuk melengkapai suatu rahasia yang bisa membuatnya kaya pada suatu saat nanti. Tapi, ternyata salah. Sampai dia melahirkan aku, hingga bisa bertahan hidup seperti ini, ayah tidak menjadi orang kaya. Ayah hanya lelaki yang kini diburu dan ketakutan. Tapi, dia selalu berjanji padaku untuk terus berusaha agar cepat kaya. Dia mengucapkan janji itu, sambil tertawa. Hanya kekayaan yang ada di dalam benaknya. Aku tak sekolah, tak ada kawan bermain, dan tak pernah tahu apa yang dia kerjakan. Sama sekali bukan masalah baginya.

***

Sore itu aku putuskan untuk mengikuti ayah. Kubuntuti dia dari belakang. Ayah terlihat dengan kain sarung di pinggulnya. Pacul dan parang di tangannya. Dia bergegas pergi ke hutan. Menuju kampung seberang. Agak jauh dari tempat kami. Kira-kira setengah harti perjalanan. Sepertinya ayah tidak tahu bahwa aku mengikutinya dari belakang. Dia berjalan biasa saja. Menghembuskan asap rokok di sepanjang jalan. Melihat ke arah kiri dan kanan. Sesekali meludah. Sesekali dia memotong batang kecil yang dengan parangnya.

Aku terus mengikutinya. Aku begitu lelah. Tiba-tiba terasa sangat dingin. Awan gelap mulai membahana. Gerimis kecilpun turut menemani perjalananku mengikuti ayah. Aku berjalan menelusuri jalan batu yang gelap. Mengikuti jejak ayah yang mulai samar di mataku. Baru kali ini aku berjalan sejauh ini. Lelah sekali. Ayah berhenti. Membakar obor. Melihat ke belakang. Sepertinya dia mulai merasa ada yang mengikutinya. Dia melanjutkan perjalanannya. Aku terus membuntutinya. Dari kejauhan dalam semak yang gelap. Tak bercahaya sedikitpun. Gerimis kecil pula. Kedinginan dan menggigil. Celaka sekali tak ada bulan malam ini. Sementara jalan pulang pun aku sudah  tak ingat.

Ayah berhenti lagi. Wajahnya berpaling ke belakang. Matanya tertuju pada satu pohon besar berserabut. Aku tak begitu jelas melihatnya. Malam terlalu gelap. Ia palingkan wajahnya ke depan. Aku berusaha mendekat agar bisa tahu apa yang dilakukanya. Kali ini aku harus tahu apa yang selama ini dia kerjakan. Aku tak mau hanya menjadi anak yang tak pernah mengenali ayahnya sendiri.

Ayah melekatkan obor pada pohon itu. Jelas terlihat olehku ternyata di balik pohon besar itu adalah pemakaman warga. Kuburan yang begitu banyak. Ayah mengelilingi kuburan itu. Dia seperti orang gila. Cangkul di tangannya meliuk-liuk. Dia seperti sedang menikmati sesuatu. Menari-nari. Tertawa. Melihat langit. Dalam hujan yang begitu hebat. Petir dan angin. Ayah semakin ingin tertawa. Berlari sambil menari-nari.

Sembari terus berputar-putar mengelilingi kuburan. Ia mengangkat cangkulnya setinggi-tingginya. Hujan semakin lebat. Hanya hujan dan angin kencang. Sesekali kilat kecil menyala. Gemuruh dari kejauhan jelas terdengar. Ayah kemudian menggali kuburan itu. Kuburan yang terlihat masih baru. Tiba-tiba saja obornya mati karena hujan. Ayah tak merisaukan itu. penglihatanku semakin tidak jelas. Kilatan petir mulai berdatangan. Guntur mengelegar. Ayah masuk ke dalam kubur yang digalinya. Perlahan hilang dalam tanah. Aku ingin sekali mendekatinya. Akan tetapi aku takut ayah akan membunuhku bila mencampuri urusannya.

Aku semakin penasaran. Aku putuskan untuk mendekati kuburan yang digali ayah. Kilat semakin cerlang. Aku jelas melihat tubuh ayah. Merah. Membungkuk. Di dalam kuburan terbaring seorang perempuan. Perempuan muda sekali. Telanjang dan kaku. Dia berusaha mengeluarkannya perempuan itu dari liang. Tubuh perempuan itu terbaring di atas kuburan. Telanjang dan belumuran lumpur. Ayah pun keluar dari kuburan itu. Dia menghidupkan kembali obornya. Hujan terlalu deras. Obornya tak menyala. Ayah mengelilingi tubuh perempuan itu. Berputar-putar. Dia kemudian membuka seluruh pakaiannya. Lalu menyetubuhi mayat perempuan itu. Ayah tertawa.

Hujan semakin deras. Aku ingin sekali menangis kencang. Tapi, tetap tidak bisa. Ketakutan membungkusku dalam dingin ini. Aku tercengang melihat ayah yang sibuk dengan mayat itu. Malam ini benar-benar tidak seperti biasanya.

Tiba-tiba dari kejauhan aku melihat cahaya kecil. Seperti kunang-kunang dalam jumlah besar. Mereka semakin mendekat. Mengepung. Ayah tidak tahu keberadaan cahaya itu. Dia sedang asik dengan tubuh perempuan itu. Mengulum dan merengkuhhnya. Ayah begitu menikmatinya.

Cahaya itu semakin mendekat. Bergerak ke semakin cepat. Ternyata bukan kunang-kunang seperti yang kuterka, melainkan suluh yang digunakan orang-orang sebagai penerang jalan. Mereka tahu apa yang sedang dikerjakan ayah. Saat orang-orang ramai mulai mendekat ayah terlihat masih terdiam. Menikmati dingin yang kelam. Dengan sepotong daging perempuan yang terbujur kaku di atas liang.

Seluruh orang mengepung. Mengamuk. Api-api berterbangan. Ayah terguling dari atas tubuh perempuan itu. Aku langsung berteriak. Mereka mengejarku dan ayah. Ayah berlari ketakutan. Telanjang. Meninggalkan tubuh perempuan itu di atas liangnya. Ayah tersungkur. Satu parang mengenainya. Tepat di punggung. Tertancap. Ayah berteriak. Menangis kesakitan. Tak ada pertolongan. Ayah dipancung. Mati.

Tubuhnya dibiarkan membusuk. Ayah tak akan pernah menjadi kaya seperti apa yang diharapkannya. Orang-orang kampung membawaku ke tempat mereka. Aku dipasung. Menunggu mati dan membusuk. Jangan menangis di sini. Kau akan di sangka hantu yang bergentayangan. Hantu yang dilepaskan ayah untuk membalaskan dendamnya. Siapapun yang terdengar menangis. Bersiaplah untuk mati. Tubuhmu akan membusuk.[]

Penulis Akmal M Roem lahir di Aceh Besar. Penikmat kopi dan ketan srikaya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun