[caption id="" align="aligncenter" width="640" caption="sumber: matanews.com"][/caption] “Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun orang harus mengeluarkan banyak uang” Anonymous Sudah menjadi sebuah hal lazim ketika orang-orang menganggap bahwa politik itu hanyalah kebohongan. Karena pelaku politik di Indonesia kebanyakan adalah pecinta kebohongan. Masyarakat awam barang kali juga sudah jenuh dengan trik dan cara politisi membangun sebuah dinasti dalam bentuk permainan cantik itu. Walau tidak sedikit juga masyarakat sudah terdidik, menganggap bahwa yang buruk itu bukan politik akan tetapi politisi, hanya saja banyak hati kadung sakit melihat tabiat politik Indonesia yang tak pernah baik. Memaknai politisi dan politik, akan terjadi perdebatan panjang soal siapa yang buruk hari ini. Apakah politik yang menjadikan politisi menjadi buruk atau politisi yang kemudian mengubah politik menjadi sangat tidak disenangi. Kasus seperti ini sering ditemui di pelbagai meja diskusi atau sekedar obrolan tak berujung di warung kopi. Tak akan pernah cukup waktu untuk mendiskusikan politik dan politisi. Setiap waktu, akan banyak sekali permasalahan. Akan tetapi tidak tertutup kemungkinan keberhasilan sesuatu yang dilakukan melalui cara politik akan mendapatkan perhatian penting dalam kehidupan sehari hari. Ada juga yang baik. Tidak semua politisi itu buruk. Sebentar lagi, tepatnya beberapa hari lagi, masyarakat di seluruh Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi yang bertajuk pemilihan umum 9 April 2014. Sebuah hal yang sudah ditunggu oleh para peserta demokrasi untuk bertarung dan membuka kesempatan agar bisa duduk di kursi-kursi ‘panas’ itu. Sesuatu yang konon katanya masyarakat harus menggunakan hak suaranya sebagai bentuk penunjukan langsung pada seseorang untuk menjadi wakil dan hanya sebatas mengumpulkan aspirasi masyarakat. Pertannyaan sederhana, pemilu yang sudah 10 kali dilaksanakan di Indonesia ini apakah pernah menghasilkan ‘generasi emas’ yang duduk di kursi dewan itu? Rasa-rasanya sih belum sama sekali. Miliaran rupiah dihabiskan Negara untuk perhelatan ini. Kebanyakan yang terpilih adalah para pencuri pintar. Fenomena “Semoga” Jelang pemilu, kata “semoga” menjadi sangat popular dan begitu dikagumi banyak orang. Seorang politisi dengan cara apapun akan mendekati pemilihnya. Dan kata “semoga” adalah kunci paling penting untuk bisa mendekati siapapun. Anda mungkin masih ingat betapa hebatnya iklan “Katakan tidak pada(hal) korupsi” nya Partai Demokrat. Sebagian besar bintang iklan itu kini berada di rumah tahanan. Orang yang diusung partai dengan yang sempat member harapan bagi masyarakat Indonesia itu berhasil mengelabui masyarakat banyak. Mereka dipilih karena berani berjanji akan bersih akan tetapi akhirnya korupsi juga. Dulu, selama mengikuti kampanye para calegnya itu, saya masih ingat sekali bagaimana kata “semoga” menjadi sedemikian sering digunakan oleh para caleg untuk memberi harapan-harapan akan adanya perubahan kea rah yang lebih baik. Intinya, mendulang suara yang banyak dari kata itu. Baiklah, kalau memang kasus korupsi menjadi hal klise untuk dibicarakan, maka lihatlah betapa buruknya kegiatan beberapa anggota dewan yang kepergok mesum atau bahkan ada yang mengejutkan pada saat rapat dewan bisa-bisanya memutar video porno. Apa jadinnya Indonesia diwakili oleh orang-orang jahanam seperti itu. Jelang pemilu April 2014 ini, sungguh banyak fenomena baru yang menguap di masyakat. Berbagai cara dilakukan oleh para calon legislatif tersebut. Niatnya tentu ingin meraup suara sebanyak mungkin agar jalannya mulus. Agar bisa terpilih dan bisa menikmati banyak hal setelahnya. Hanya saja, cara-cara yang dilakukan calon legislatif tahun 2014 ternyata masih sama dengan pandahulunya. Meski terlihat sedikit ada perubahan. Ya, mungkin ini bentuk penyesuaian dari masa ke masa. Tapi apalah yang bisa dipetik dari semua ini? Belajar dari pengalaman, banyak politisi yang berjanji akan berbuat ini itu dan akan menyelesaikan ini itu, akan tetapi akhirnya hanya jadi omong kosong. Lihatlah buruknya kegiatan para caleg, misalnya yang dengan sengaja membuat sampah visual di mana-mana. Kota yang indah disulap menjadi kumuh dengan ragam poster dan spanduk bergambarkan manusia-manusia aneh. Para caleg berani tanpa rasa malu itu berani mengobral janji-janji serta ajakan untuk hal yang tak pasti. Tentu dibungkus dengan kata “semoga”, “perubahan”, “lebih baik”. “ke depan” dan kata-kata bagus lainnya. Kadang pekerjaan mereka itu mengundang tawa kita. Atau tepatnya para caleg mengajak kita untuk menertawakan kekonyolan mereka. Ada caleg yang fotonya dibalik, ada yang salah menulis jargon, ada yang pasang foto dengan artis atau berdampingan dengan orang tertentu. Kebanyakan terpampang di tiang listrik, dinding-dinding, pohon dan sebagainya. Buruk sekali. Mereka sadar bahwa ini membutuhkan uang sangat banyak. Bahkan untuk kalahpun mereka siap mengeluarkan uang dalam jumlah banyak. Tahun 2009, tentu hal serupa pernah terjadi atau mungkin empat tahun sebelumnya bila kita ingat ingat tentu juga demikian. Untuk menarik suara dari masyarakat, segala macam cara ditempuh. Mengelontorkan uang banyak hanya untuk membantu rakyat tanpa ada kepentingan pribadi akan sangat mustahil terjadi di Indonesia. Setidaknya para caleg yang nantinya akan terpilih pasti mikir tentang bagaimana cara membalikkan modal selama jadi caleg. Belum lagi setoran wajib partai. Janji-janji memang kerap menjadi bahan santapan. Kelakuan caleg tak ubahnya orang jomblo yang sedang mendekati target penghapus status jomblonya. Apapun akan dilakukan. Apapun. Asal punya niat dan bulatkan tekat, yang buruk bisa jadi baik. Yang penting usaha dulu. Hal-hal seperti itu telah berlangsung lama di Indonesia ini. Ada juga katanya partai baru, semangat baru. Kalau partai baru itu di dalamnya dihuni oleh sebagian besar orang-orang yang gagal di partai lama, mungkin saja akan menjadi pertai baru yang buruk. Nama boleh beda, tapi isinya juga tetap sama: busuk. Usaha dan Janji Apapun akan dilakukan untuk mencapai tujuan. Seorang politisi yang hendak mencalonkan diri menjadi caleg, baginya, selalu ada ruang untuk mengumbar janji agar terpilih. Hal seperti ini kerap menjadi contoh setiap generasi baru dalam kancah politik. Karena janji adalah makanan paling lezat yang bisa dinikmati oleh masyarakat. Apapun bisa dijanjikan. Soal menepati janji itu urusan belakangan. Jika ditagih, masih banyak alasan yang bisa disampaikan. Tentu dengan bahasa yang politis juga. Kasihan sekali para politisi muda yang punya harapan baru untuk Indonesia kemudian didik oleh para senior yang sudah sekian lama bermain dalam politik kotor. Akhirnya akan berkelakuan yang sama. Kasihan sekali. Semoga nantinya ada penyelamat bagi mereka. Semoga. Tapi persoalan usaha menarik perhatian masyarakat memang bisa menjadi sorotan unik tersendiri. Lihatlah misalnya seorang politisi yang tidak pernah mengutip sampah di tempat bau yang sangat menyengat, ia bisa saja mengarahkan massa untuk membersihkan tampat itu dalam sekejap. Atau berbondong-bondong melakukan operasi pembersihan kota dan sudah barang tentu dia akan berada di antara pengutip sampah agar bisa difoto dan dipajang di berbagai tempat untuk menjelaskan bahwa dia sadar lingkungan. Sehingga melahirkan jargon, “pilihlah pemimpin yang merakyat dan berani turun langsung untuk kepentingan bersama” tapi setelah terpilih apakah masih mau ke tempat pembuangan sampah? Ngak yakin saya kalau dia masih mau. Berjanji membuat jalan, tapi tak kunjung terealisasi. Berjanji memperbaiki sarana publik, tapi gagal terlaksana dengan alasan tak dapat dukungan oleh pihak ini dan itu. Mudah sekali. Tentu janji selama kampanye yang pernah dicatat oleh masyarakat akan menjadi catatan bisu dan tak punya makna apapun. Karena pada umumnya masyarakat Indonesia mudah melupakan sesuatu. Mereka tidak ingin terlalu lama larut dalam masalah yang sama-sama terus. Persoalan janji politik, sudah sangat sering dan akan terus terjadi selama masih ada kampanye dari para calon legislatif yang tidak tahu apa-apa soal pemerintahan akan tetapi memberanikan diri mencalonkan diri. Pun yang pintar soal itu juga kerap menjadi pembohong setelahnya. Konon Nikita Khuschev yang pernah menjabat sekjen Partai Komunis Uni Soviet berkata bahwa politisi dimanapun sama saja, mereka berani berjanji membangun jembatan meski tak ada sungai di tempat itu. Dan hal itu sudah terjadi berulang-ulang kali di Indonesia Raya ini. Saya pernah mengikuti pendidikan politik dan bergabung dengan beberapa partai politik. Hanya saja akhirnya saya memutuskan bahwa politik itu memuakkan sekali. Tidak ada ketenangan yang bisa didapatkan di dalam kerumunan kebohongan itu. Orang-orang bisa saling membunuh hanya karena jabatan. Orang-orang bisa marah karena tak saling satu paham lagi. Alhasil, jelas tak ada cinta di tempat itu. Makanya saya memilih keluar. Yang ada hanya intrik bagaimana bisa saling menjatuhkan agar mudah menuju puncak. Pemilihan umum yang tinggal menghitung hari ini akan kembali menjadi saksi bahwa Indonesia ini masih berada di gerbang kemerdekaan. Saya punya beberapa teman yang sedang mencalonkan diri pada pemilu 2014 ini. Saya berharap dan menggunakan kata “semoga” saya bisa memilih mereka semuanya. Saya akan berlaku adil terhadap semua. Masuk ke bilik, mencoblos semua orang yang saya kenal. Kalau nantinya surat suara yang saya berikan masuk dalam kategori suara rusak, tidak apa-apa. Setidaknya saya sudah berlaku adil buat mereka. Saya akan menjadi pemilih yang adil. Semoga ini bukan khutbah. Semoga.
@vanroem
KEMBALI KE ARTIKEL