Siang tadi, di ruang PSB Spidi kami kedatangan tamu. Seorang pria sepuh. Namanya H. Muslimin. Pria Bugis berusia 80 tahun. Saya menaksir seperti itu sebab ia mengaku hampir seumuran H. Jusuf Kalla.
Lebih dari separuh usianya itu ia habiskan di negeri kangguru, Australia. Ia merantau ke sana pada tahun 1971. Hingga ia punya anak dan cucu yang menetap di sana.
Di usianya yang senja, ia dua kali setahun datang ke Indonesia. Empat bulan ia tinggal di Sulawesi. Mendirikan sebuah pesantren di Donggala, Sulteng.
Ia bercerita soal dua sisi Australia, positif dan negatifnya. Mirip dengan negeri barat, di mana mereka mengagungkan kedisiplinan, kebersihan, dan kejujuran. Tapi di sisi lain meninggalkan simbol keagamaan atas nama kebebasan.
"Kamu harus bayar parkir empat juta rupiah untuk beberapa jam untuk parkiran di kantor. Itu dilakukan untuk meminimalisir penggunaan mobil pribadi ke kantor agar tak menyebabkan kemacetan. Jadi orang-orang memarkir mobil mereka dekat stasiun lalu naik kereta ke kantor." Cerita H. Muslimin.
Meski orang-orang mengamalkan sebagian nilai agama pada pada ranah sosial, tapi mereka meninggalkan agama sebagai simbol religiusitas.
"Gereja ditinggalkan. Kosong. Banyak yang dijual. Dijadikan toko. Kami bahkan membelinya untuk dijadikan masjid." Ujarnya.
Kabar baiknya, justru Islam berkembang pesat di Australia. Saat ia baru datang ke sana masjid hanya ada dua. Sekarang sudah tak dapat dihitung lagi. Pemerintah memberikan hak-hak umat Islam untuk menjalankan agamanya.
"Saya merasa nyaman di sini. Makanya saya betah. Kehidupan di sini memang mahal. Tapi penghasilan cukup besar. Bahkan pengangguran mendapatkan bantuan dari pemerintah perbulan. Angkanya besar. Bisa buat liburan ke Bali." kata H. Muslimin.
Makanya tak heran jika Australia adalah syurga bagi para pencari suaka dari negara berkonflik. Tak peduli mereka menantang maut menyeberangi samudera hingga bisa berakhir di penjara.
Dari apa yang perhatikan selama kurang lebih sejam. Ia begitu lahap memakan mie ayam dari warung Baksan Spidi. Artinya selera makannya pada makanan Indonesia tak berubah. Atau memang mie ayamnya yang enak yah?
Apalagi logatnya. Ia berbahasa Indonesia dengan logat Bugis yang sangat fasih. Tak luntur sama sekali. Jika tak tahu latar belakangnya. Anda mungkin mengiranya orang tua Bugis dari daerah.
Terima kasih, Aji. Saya tak lupa mencium tangannya saat ia pamit untuk pergi.