"Oh iya, Ustadz. Bisa." Jawab saja singkat.
Setiba di bandara, kami bertemu dengan Ershall yang diantar oleh pembina Karantina Tahfidz Darul Istiqamah, ustadz Azizul Hakim. Ini kali pertama saya bertemu dengannya. Meski beberapa kali melihat foto-fotonya berseliweran di sosmed teman.
Paras anak kelahiran Philadelphia ini lebih mirip orang Arab dibanding orang Amerika pada umumnya. Kulitnya putih. Hidungnya bangir khas Arab. Hal itu bisa dimaklumi sebab ia adalah turunan gado-gado Indonesia Arab. Namun, ayah dan ibunya sudah lama tinggal dan bekerja di Amerika Serikat dan menjadi warga negara di sana.
Ershal akan kembali ke negaranya, Amerika Serikat. Setelah lebih sebulan berada di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan.
Alasan mengapa ia datang ke Indonesia menarik perhatian saya sehingga tak ayal saya harus membagikan tentangnya di sini meski sedikit.
"Ershall datang ke sini untuk menghafal Al-Qur'an. Sejak bertemu di Amerika Serikat, ia selalu mengutarakan niat menghafal Al-Qur'an pada kepada saya." Cerita ustadz Muthahhir tentang Ershall.
Ustadz Muthahhir juga menuturkan bahwa Ershall selalu mengikuti program pembelajaran Al-Qur'an di Amerika Serikat. Ia beberapa kali mengikuti kegiatan Summer Camp di pesantren Nur Inka Nusantara Madani, Connecticut. Juga belajar langsung pada ustadz Muthahhir baik lewat offline atau online.
Namun, belajar dan menghafal Al-Qur'an di sana ia rasa belum cukup. Pemuda bernama lengkap Ershall Axl Gunandar ini merasa harus ke Indonesia untuk belajar lebih intensif.
Berkat dukungan orang tuanya yang telah berkonsultasi pada ustadz Muthahhir, terbanglah Ershall ke Indonesia. Setiba di sini, ia belajar dan menghafal Al-Qur'an di Karantina Tahfidz Darul Istiqamah, sebuah tempat penghafalan Al-Qur'an 30 juz dalam sebulan di Gowa, Sulawesi Selatan.
"Untungnya Ershall suka makanan Indonesia. Ia juga bisa beradaptasi dengan budaya di sini. Jadi bisa betah. Beberapa kali saya memperhatikan, ia begitu menikmati kesendirianya menghafal Al-Qur'an." Tutur ustadz Azizul Hakim.
Selama di sini, mahasiswa Kingston University di London ini memilih fokus menghafal mutqin lima juz dibandingkan menamatkan hafalan 30 juz sebulan. Sebab ia bermimpi menjadi imam sepulangnya ke Amerika. Alhamdulillah, ia sukses menghafal lima juz lancar.
Ershal sebenarnya masih mau tinggal lebih lama, untuk menghafal lebih banyak lagi, tapi ibunya mau naik haji Juni bulan depan, jadi ia harus pulang melihat ibunya.
Sesaat sebelum ia masuk dalam ruang tunggu bandara, saya menyalaminya. Saya sedikit berbicara dengannya dengan bahasa Inggris yang agak kacau. Sebab Ershall juga kacau dalam berbahasa Indonesia. Aksennya mirip bule. Untungnya ia paham saat orang berbicara dengannya.
Ketika tubuhnya menghilang dari pandangan, saya tiba-tiba merasa tertampar oleh anak muda ini. Ia datang jauh-jauh dari Amerika Serikat. Negeri non muslim lagi. Membutuhkan effort dan perjuangan yang besar. Mengeluarkan biaya tak sedikit. Meninggalkan waktu belajar di kampus. Demi menghafal Al-Qur'an.
Padahal saya sendiri meski tinggal di Indonesia, bahkan mengajar di pondok tahfidz, tapi hafalan Al-Qur'an saya masih berantakan. Tekad untuk menambahnya juga kurang.
Ershall pula dengan membawa oleh-oleh lima juz yang kelak akan dibacanya di Amerika Serikat. Saya pulang ke rumah membawa inspirasi darinya.