Tadi siang saya mencoba makan pada sebuah warung baru di dekat rumah. Warungnya menempati ruko. Luas dan bersih. Meja dan kursi tertata rapi. Daftar menu dan harga tertera di poster dinding yang berukuran besar.
Menu makanan dan minumannya cukup banyak. Dan harganya cukup murah. Saya suka warung dengan transparansi harga seperti ini, tapi tak terlalu setuju sama menunya yang terlalu banyak.
Pemiliknya tersenyum menanyai apa yang ingin Saya pesan. Saya memilih menu mie pangsit bakso dan es buah. Istrinya membuat es buah, ia membuat mie pangsit.
Diam-diam saya memerhatikan mereka bekerja. Dan jujur, saya merasa mereka masih terlihat kaku. Saya pikir mereka masih belum terlatih.
Sang istri dibantu oleh seorang karyawati menyiapkan es. Susu kondensasi yang agak beku ia coba taruh dalam gelas es buah. Tapi sulit lepas dari sendok, jadi ia mencelupkan jarinya ke sendok untuk mendorong susu kental manis itu masuk ke gelas. Untung setelahnya ia tak menjilat tangannya.
Terakhir ia masukkan sirup merah ke dalam gelas. Tumpahan sirup di bibir gelas ia bersihkan dengan jarinya. Saya geleng-geleng kepala. Selesai. Saya yakin ia tak tahu saya memerhatikannya.
Saya langsung teringat saat istriku membuat es buah. Tapi di sini warung. Yang mengonsumsi orang lain. Bukan keluarga. Kalau di rumah, tak masalah, bahkan jika cara penyajiannya mirip orang prindavan tetap saja tak jijik untuk dimakan...
Sementara itu sang suami memasak mie ayam. Beberapa kali ia membuka tutup panci untuk memastikan mienya apakah sudah matang. Es buah saya hampir habis, mienya belum selesai. Saya menghitung lebih dari 15 menit untuk menyiapkan satu porsi mie pangsit.
Dan rasa mie pangsitnya biasa saja. Bahkan saya tak menghabiskan baksonya padahal saya pecinta bakso.
Untuk pelanggan yang cuma saya sendiri, dengan pesanan hanya dua menu, penyajiannya terlalu lambat. Bagaimana lagi jika ada banyak pelanggan.
Saat mendatangi meja kasir untuk membayar makanan saya, pemiliknya meletakkan rokoknya yang menyala di meja. Ini bagian paling buruk bagi saya. Bagaimana mungkin ia merokok di depan pelanggan, di meja kasir lagi!
Menurut saya keluarga ini terlalu berani. Menyewa ruko tiga lantai dengan tarif puluhan juta perbulan. Membeli banyak perabot meja dan kursi. Lalu tak didukung oleh kemampuan dan pengalaman yang baik dalam memasak menu berkualitas, menyajikan makanan, hingga pelayanan.
Saya pernah membaca data jika bisnis yang paling banyak menjamur sekarang dan sekaligus paling banyak tutup adalah bisnis kuliner.
Saya tak punya pengalaman dalam bisnis kuliner. Tapi untuk hal-hal dasar yang harus dikuasai dalam bisnis ini, saya paham.
Semoga keluarga tersebut dapat belajar dengan cepat agar bisnis mereka bisa sukses. Amin