Tapi bagaimana jika saya ceritakan kepada Anda soal seorang bapak dengan anak berjumlah ratusan orang dengan 27 orang ummi? Dan sosok pria itu berasal dari Indonesia, tepatnya di Sulawesi Selatan.
Anda mungkin tak akan percaya. Tapi faktanya memang begitu. Yah, H. Sabaruddin Salam Hadi, Lc., begitu nama panjangnya adalah Abi (ayah dalam bahasa Arab) bagi 322 santri putri dan 100 santri putra. Para santri memanggilnya Abi.
Pria berkulit putih ini adalah kepala bagian Kepengasuhan Spidi. Sementara di Dibs, alumni Madinah ini adalah kepala sekolah MA dan MTs. Meski bukan ayah biologis, tapi bisa dianggap sebagai ayah kedua bagi para santri selama di asrama jika menilik perannya bak ayah terhadap para santri.
Selepas makan siang, saya berbincang dengannya di mat'am (ruang makan) Spidi. Ringan tapi sarat makna. Mat'am sudah nyaris kosong. Anak-anak sudah kembali ke kelas untuk belajar. Hanya ada kami dan beberapa petugas dapur yang masih tinggal untuk beres-beres.
"Saya adalah orang yang tinggal di luar Spidi yang paling pertama datang ke kampus sekaligus paling terakhir pulang." Pria yang berpengalaman dalam urusan haji dan umrah ini mulai bercerita.
"Menurut SOP, Â jam kerja saya dimulai jam dua dini hari. Lalu pulang jam paling cepat pukul 09.30 malam selepas memastikan anak-anak sudah tidur semua." Jawab pria asal Kolaka ini saat saya menanyainya tentang jam kerjanya.
"Tapi realitanya, saya hampir tak punya waktu untuk diri saya sendiri. Nyaris semuanya diambil oleh urusan kepengasuhan. Mengasuh anak-anak 24 jam sehari..." Lanjutnya dengan suara lirih.
Pria humoris ini mengepalai 27 orang ummi (pengasuh santri). Mohon catat itu, hanya mengepalai. Mungkin sudah menjawab rasa penasaran Anda soal 27 ummi di atas. Di mana setiap hari pada jam dua malam ia datang membangunkan ummi-ummi lewat telepon. Memastikan pukul 02.30 anak-anak sudah di masjid untuk melaksanakan shalat lail. Mengawasi jalannya program halaqah Al-Qur'an setelah shalat, sarapan di jam 04.30, shalat shubuh, lalu halaqah Tahfidz setelah shubuh sampai jam tujuh pagi.
Pukul 07.20 anak-anak masuk kelas hingga pukul 15.10. Di saat itu, tugas kepengasuhan diambil alih oleh bagian kependidikan. Namun kak Sabar, begitu kami sering memanggilnya tidak dapat beristirahat. Ia punya jam mengajar lagi di kelas.
Setiap hari para santri penuh kegiatan kecuali di hari Ahad, hari libur. Mereka hanya bisa kembali ke kamar selepas shalat ashar, makan malam jam lima sore kemudian shalat Maghrib. Selepas shalat isya, anak-anak kembali ke asrama untuk tidur. Menerapkan tilawa (tidur lebih awal), pukul 20.00 malam, santri sudah harus tidur malam.
"Yah, mungkin waktuku terkuras habis untuk mereka. 2-3 anak saja bukan main tanggung jawabnya, bagaimana lagi dengan 400 anak? Tapi banyak ibrah yang saya bisa dapatkan dengan amanah ini. Saya menyebutnya dengan ma'lumat syawari', pelajaran yang tak didapatkan di kelas, namun di jalan. Dalam konteks amanah ini, saya belajar bagaimana mengasuh anak-anak dengan berbagai latar belakang daerah, suku, dan karakter ." Jawabnya dengan nada rendah saat ditanya tentang suka dukanya membina santri.
Alumni MA Darul Istiqamah tahun 2001 ini pun tak lupa membagikan beberapa tips dalam membina anak-anak. Misalnya melakukan hal-hal sederhana, namun dampaknya begitu besar bagi santri. Di saat-saat tertentu, ia mengajak para santri naik mobil lalu berkeliling kampus, satu dua putaran. Menurutnya, dalam mobil anak-anak akan sangat bahagia sekali. Hiburan sederhana, namun dapat mengusir rasa bosan santri.
Belum lagi memberikan hadiah-hadiah kecil. Permen, cemilan, hingga pulpen sebagai bentuk perhatian. Dulu di Madinah, seorang dosennya suka membagi-bagikan teh atau roti kepada mahasiswa. Dengan alasan itulah ia menyukai dosen tersebut. Lalu ia pun suka belajar padanya. Ia pun ingin meniru dosen tersebut.
Pria yang biasa dipanggil Sobru ini juga selalu siap mendengar celotehan hingga keluh kesah anak-anak. Menurutnya, anak-anak sudah cukup senang dengan didengarkan. Itu sudah merupakan bagian daripada solusi keluhan mereka.
Dari perbincangan kami, setidaknya saya mencatat beberapa hal utamanya bahwa Spidi betul-betul memerhatikan pembinaan anak-anak. 27 ummi asrama ditempatkan di asrama. Merekalah yang mengasuh 322 santri tersebut. Dikepalai oleh ustadz Sabar. Mereka inilah yang paling berjasa dalam berjalannya program unggulan tilawa secara konsisten.
Saat mengobrol, tiba-tiba beberapa santri datang minta izin untuk masuk asrama. Karena mereka mau packing barang sebelum Back Home Day (liburan pulang kampung) Jumat besok. Namun ustadz Sabar harus berkomunikasi lagi dengan unit pendidikan. Saya menilai hal itu sebagai alur birokrasi dan manajemen yang baik.
Tak lama berselang datang lagi seorang santri. Namun tidak untuk minta izin. Ia justeru datang dengan sekantong plastik makanan.
"Ustadz, ini ada oleh-oleh dari ibuku buat ustadz." Kata siswi tersebut sambil menyodorkan paket tersebut pada ustadz Sabar. Saya melihatnya sebagai bukti bahwa ustadz Sabar betul-betul punya tempat di hati santri dan orang tuanya.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 13.05, masih banyak hal sebenarnya yang harus saya tanyakan pada ustadz Sabar, tapi karena saya harus mengajar, jadi saya pamit kepadanya. Saya berterima kasih atas kesediaannya berbagi denganku.
Saya punya kesan mendalam padanya. Bahwa memiliki orang dengan dedikasi seperti ustadz Sabar ini, santri, orang tua, ummi-ummi, civitas, dan  Spidi sendiri sungguh beruntung.
Semoga Allah memajangkan umurnya dalam keberkahan, ketaatan, dan kesehatan. Amin ya Rabb.