Minggu lalu, tepatnya Sabtu tanggal dua bulan ini, Sekolah Putri Darul Istiqamah (Spidi), tempat saya mengajar memberikan hadiah bagi peserta didik terbaik language camp. Hadiahnya adalah jalan-jalan dan nonton film di bioskop.
Dipilihlah jalan dan nonton film di Nipah Mall, sebuah pusat perbelanjaan baru di bilangan kota Makassar. Saya bersama beberapa guru bahasa mendampingi 30 siswi.
Yang akan kami tonton adalah film Indonesia yang diadaptasi dari sebuah film Korea dengan judul yang sama : Miracle In Cell No. 7.
Meski belum pernah menonton film versi Koreanya, namun saya pernah mendengar kalau ceritanya sangat bagus. Bahkan katanya menjadi salah satu film drama Korea yang paling menguras air mata.
Ekpektasi saya pada film garapan Hanung Bramantyo ini tidak begitu besar. Karena -jujur-, saya tidak begitu tertarik dengan film nasional. Saya hampir tidak punya minat membayar tiket untuk sebuah film Indonesia. Tapi karena ini dibayarkan, saya pun ikut saja. Meski sebelumnya, beberapa film Indonesia tetap pernah saya tonton di bioskop, karena diajak teman.
Karena jadwal tayangnya pukul 12 siang, bertepatan dengan jadwal shalat dhuhur. Saya memilih shalat dhuhur dulu di masjid mall yang cukup besar. Saya telat menonton sekitar 20 menit. Untungnya yang diputar di sepuluh menit awal adalah iklan, jadi saya hanya luput 10 menit adegan awal film. Bagi saya tidak masalah, karena film ini bukanlah film yang menuntut detail runut dengan plot twist yang rumit.
Saat duduk itu pun, saya masih belum menyaksikan film dengan baik saat layar menayangkan frame kehangatan dan keeratan hubungan Dodo Rozak (Vino G Bastian) pemeran utama yang mengidap penyakit keterbelakangan mental dengan anaknya, Tika (Graciella Abigail).
Hingga akhirnya adegan si Dodo Rozak dijebloskan dalam penjara dengan tuduhan pembunuhan dan pemerkosaan terhadap anak kecil. Ia bertemu dengan lima tahanan yang satu sel dengannya. Ada Bang Japra (Indro Warkop) ketua geng Napi sel nomor tujuh, Jaki (Tora Sudiro), Bewok (Rigen), Atmo/Gepeng (Indra Jegel), dan Bule (Brian Domani). Melihat aktor-aktor tersebut, bisa ditebak alurnya akan penuh tawa.
Adegan kocak pun dimulai. Bioskop mulai ramai suara tawa penonton. Saya pun mulai serius mengikuti setiap adegan. Saya ikut tertawa. Semuanya nyaris sempurna memainkan peran dalam mengocok perut penonton.
Adegan selanjutnya di mana Tika diselundupkan masuk ke penjara oleh Bang Japra, karena merasa berutang nyawa pada Dodo Rozak yang berharap bertemu anaknya. Kedua anak bapak yang saling menyayangi dengan kuat itu bisa bertemu dan bermain bersama dalam penjara. Tika dan Dodo betul-betul polos. Tak peduli mereka dalam penjara selama mereka berdua bersama. Kelima teman Dodo pun juga ikut bahagia dengan kehadiran Tika.
Sejak itu, adegan tawa sudah mulai bercampur haru. Emosi penonton betul-betul diaduk. Sebentar tertawa, tak lama kemudian terharu. Lalu tertawa lagi, terharu lagi. Sesak dada rasanya.
Lalu adegan di mana Dodo Rozak divonis oleh hakim hukuman mati setelah ia mengakui pembunuhan yang dituduhkan kepadanya meski tak ia lakukan, karena sebelum vonis ia diancam oleh bapak korban (Iedil Putra) akan mencelakai Tika jika Dodo menyangkal membuat penonton gregetan. Memunculkan perasaan menyesal sekaligus tak bisa apa-apa. Usaha Hendro Sanusi, kepala sipir yang diperankan oleh Deny Sumargo untuk menyelamatkan Dodo dari vonis menjadi sia-sia.
Mulai dari adegan itulah tak ada lagi tawa. Yang ada hanya perasaan sedih. Juga saat Dodo Rozak harus dibawa ke Nusakambangan untuk dieksekusi. Dodo berpelukan dengan teman-teman sesama penghuni sel. Bang Japra yang paling terpukul.
Kemudian puncaknya adegan perpisahan Tika dengan sang ayah. Ia tak tahu ayahnya mau dibawa ke mana. Yang ia tahu ayahnya mau pergi jauh. Keduanya sempat-sempatnya memainkan permainan yang biasa mereka lakukan sebelum berpisah. Keduanya tertawa lepas karena tak tahu apa yang akan terjadi. Tapi penonton menangis. Saya bahkan mendengar suara tangis tersedu-sedu dari banyak arah, entah dari kursi mana. Saya menebak mereka adalah para siswi.
Dan adegan setelahnya yang tak perlu saya ceritakan. Saya berharap kalian menontonnya sendiri. Saya yang awalnya mencoba menahan tangis akhirnya harus jebol juga juga. Saya gagal menahan air mata, tapi untungnya berhasil tak mengeluarkan suara.
Film belum kelar, tapi tahu sudah di penghujung, saya bergegas keluar ruangan teater karena menghindari terlihat mata saya sembab saat lampu menyala. Terdengar tawa dari kursi penonton. Saya tahu para siswi menertawai saya yang hampir keluar lewat pintu masuk sebelum berbalik ke arah pintu keluar. Saya pun ke toilet untuk mengusap air mata dengan tisu.
Terbersit keinginan menggoda para guru dan siswi, jadi saya menunggui mereka di pintu keluar. Betul, tak ada satupun penonton yang keluar dengan mata yang tak memerah. Bahkan ada seorang siswi yang masih tersedu saat keluar membuat pengunjung lain heran. Saya menggoda mereka yang hanya bisa pasrah tersipu malu.
Bagi saya, ini mungkin pengalaman menonton film yang membuat satu teater menangis. Saya pernah menonton film Indonesia lainnya di bioskop, tapi tidak seperti ini sensasinya.
Film ini betul-betul meruntuhkan harga diri dan gengsi saya sebagai pria di hadapan para wanita. Padahal saya sudah berusaha untuk menahan tangis. Menonton film ini memang lebih baik dengan menanggalkan gengsi sebagai pria. Nikmati alurnya, resapi, dan menangislah secara natural, biarkan air mata itu keluar.