Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Kisah Pertentangan antara Manja dengan Mimpi Besar

11 September 2022   22:31 Diperbarui: 12 September 2022   05:00 410 1
Spidi, sebuah sekolah Islam putri berasrama yang bergengsi nan elit terletak di kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Sebuah sekolah yang menjelma menjadi rujukan pendidikan Islam dan umum bagi anak-anak putri yang datang dari berbagai penjuru Indonesia khususnya bagian timur beberapa tahun terakhir ini.

Di sekolah ini tercatat banyak cerita cinta, kesungguhan, dan pengorbanan. Kisah-kisah pertentangan antara kemanjaan dan mimpi besar. Kisah-kisah yang menginspirasi para pejuang ilmu dan iman.

*********

Gadis ayu kelas sembilan bahasa itu berdiri mengintip lewat jendela asrama. Hujan deras turun membasahi kaca jendela. Sebuah kenangan yang sudah ia kubur dalam-dalam mengendap naik ke permukaan memorinya. Kenangan dua tahun lebih yang silam, awal ia menjejakkan kaki di Sekolah ini.

Bulir-bulir air matanya tak pernah henti mengaliri pipinya yang merah merona. Ini hari pertama ia harus menerima kenyataan untuk berpisah dengan keluarga tercinta.

Ibu, ayah, dan dua adiknya yang mengantarnya lepas sudah dari pandangan matanya. Terlihat bagian belakang mobil Alphard hitam yang mereka tumpangi bergerak maju menjauhi dirinya yang berdiri mematung seakan tak percaya.

Namanya Anisa Nailatul Izzah Aras. Tapi teman-teman di sekolah memanggilnya Tita. Nama singkat sebagai tanda keakraban. Wajahnya bulat. Cantik dan manis berpadu memancarkan pesona. Serupa purnama. Siapa pun melihatnya akan berdesir kagum pada kecantikannya.

Tita tipikal anak yang manja. Ayahnya seorang berpangkat. Kakeknya malah seorang bupati sejak Tita masih kelas satu SD sampai sekarang. Semuanya serba ada. Bahkan serba mewah. Tita dimanjakan oleh orang tua apalagi sang kakek. Apa pun keinginannya pasti dikabulkan. Pantas saja jika Tita tumbuh besar dengan sifat manjanya.

Hari-hari silih berganti, namun perasaanya tetap sama. Sedih. Rindu. Seminggu, dua Minggu, hingga sebulan lamanya merasakan penderitaan batin dan fisik. Tak berselera makan, tidur tak nyenyak, dan belajar pun tak semangat. Tak ada yang salah dengan makanan di math'am (ruang makan). Kasurnya empuk. Kamarnya di asrama ber-AC. Ruang kelasnya Ber-AC pula. Fasilitas sekolahnya sangat mewah. Ada ummi-ummi selalu menemani dan menghiburnya. Teman-temannya juga baik. Tak bisa ia mungkiri.

Tapi kebebasannya terbelenggu. Tak ada lagi gadget iPhone teranyar di tangannya yang biasa ia  maini hampir tiap waktu. Tak ada lagi jalan-jalan nyaris setiap hari ke mall.

Kehilangan pelukan hangat ibu setiap malam sebelum ia tidur. Ciuman manja ayah di keningnya saat berangkat ke sekolah. Juga gangguan kecil dua adiknya lagi di rumah.

Semuanya yang pernah lama ia nikmati, harus hilang beberapa waktu ini. Perasaan nyaman itu yang belum bisa membuatnya move on. Membuatnya tak bisa menikmati keberadaannya di Spidi. Ia kesepian dalam keramaian. Terasing dalam keberagaman.  

Belum lagi di asrama, ia harus tidur lebih awal bangun lebih awal. Sesuatu yang tak pernah sama sekali ia lakukan sebelumnya. Aturan-aturan mengikat asrama menyiksanya. Memakai kaus kaki. Ciput. Tak boleh bersuara keras. Dan semacamnya.

Rindu mengundang tangis sedih. Sedih mengundang ketidaksemangatan. Lalu melahirkan semacam perasaan hampir putus asa. Puncaknya, ia memaksa untuk pulang. Tapi pihak sekolah tak memberikannya izin. Di sisi lain, juga berusaha terus menghiburnya dengan berbagai cara.

Hari itu Selasa pagi. Lebih sebulan sejak ia masuk di Spidi. Ustadz bahasa Arab yang baru itu memberikan nasihat di kelas sebelum mengajar. Bahasanya lembut. Mengalir bak air membasahi jiwa. Lalu bertahta di relung hati. "Anak-anakku yang shalihah sekalian, suatu saat nanti, kalian akan bangga terhadap semua rasa rindu pada orang tua, rasa sulit, rasa lelah, rasa sedih, dan sebagainya dalam kehidupan berasrama karena kalian berhasil melewati semua itu."

"Kelak kalian akan berkata pada si manja yang ada pada diri kalian, hai manja, kamu pernah berusaha mencabut mimpiku. Cita-citaku. Impianku. Tapi tekadku berusaha melawanmu. Inilah aku sekarang yang tak bisa kau kalahkan. Inilah aku sekarang yang sukses menghafal Al-Qur'an." Lanjut sang ustadz dengan suara bergetar.

Tita seperti tersengat. Tersentak. Seumpama peluru menghujam dadanya mendengar untaian kalimat sang ustadz. Lalu pelan ia mengingat mimpi yang pernah ia tulis di buku diarinya. Yah membahagiakan orang tua. Tersadar harapan ayah dan ibu padanya. Teringat ucapan ayah saat malam terakhir ia di rumah sebelum masuk asrama "Nak, ayah dan ibu lebih bangga kalau Tita bisa hafal Al-Qur'an dibanding Tita berikan kami harta."

Air matanya membulir, menetes pelan. Hangat di pipinya. Tapi dengan cepat ia mengelapnya. Malu kalau ketahuan teman-temannya. Tapi, air mata itu tak seakan tak mau kompromi. Terus jatuh tak bisa ia kontrol. Terlanjur. "Biarlah ia jatuh" katanya dalam hati. Teman-teman memerhatikannya. Tapi Tita sudah tak peduli.

Penyesalannya teramat besar. Sungguh ia hampir saja kalah oleh perasaan manjanya. Keinginan untuk bebas. Pun rindu dan sedihnya.

"Tita, kamu ini kuat. Kamu ini punya mimpi. Kamu cerdas. Kamu hebat. Masa harus kalah sama perasaan manja itu, kamu harus berkorban .." Ia terus membatin pada dirinya.

Sejak sang ustadz keluar kelas, semangatnya mulai bergelora. Niatnya kembali ia tata. Agar lelahnya 'lillaah'. Teringat nasihat ibu direktur masa orientasi dulu "Saya kasih contoh, si A dan si B masuk pesantren. Si A niatnya karena Allah. Sementara si B karena terpaksa. Yang mana yang lebih menderita? Tentu jawabannya si B. Padahal mereka sama-sama tidur di kamar dan di kasur yang sama jenisnya. Sama-sama makan makanan yang sama. Belajar mapel yang sama. Belajar pada guru yang sama. Akhirnya si A sukses dan si B gagal."

Malam hari itu, ia tidur lebih cepat dari biasanya. Meski peraturan mewajibkan tidur lebih awal jam delapan malam, tapi Tita dan teman-temannya sering kali tidur telat karena bercerita. Kali ini Tita bertekad untuk tak sulit dibangunkan jam dua dini hari. Ia tidur lebih cepat daripada teman-temannya yang masih bergosip ria.

Selepas shalat lail, ia bertekad menghafal dua halaman Al-Qur'an selama sejam sampai shalat shubuh ditunaikan. Sesuatu yang tak pernah ia lakukan. Dan ternyata ia bisa dan mudah baginya. Ia tersenyum bahagia.

"Ibu, Tita dapat nilai A semua mapel dalam ujian mid semester. Hafalan Tita sudah 5 juz" Ucapnya suatu hari saat ia sudah tiga bulan belajar di Spidi pada ibu yang ada di balik sambungan telepon.

Berapa kali Tita mengalami pasang surut semangat? Tak terhitung jumlahnya. Tapi selalu berhasil bangkit lewat motivasi guru dan temannya. Pun oleh kemauan tak boleh kalah oleh teman. Juga terpengaruh dari apa yang ia lihat dari orang di sekitarnya yang rajin dan bersemangat. Tita menyadari betul pentingnya lingkungan yang baik. Gadis berusia 14 tahun itu berhasil merawat konsistensinya dalam belajar dan beribadah dengan aturan sekolah yang kasat mata membelenggu, namun sejatinya menuntunnya ke arah di mana ia dan impiannya bisa berpelukan manja.

Hingga kini di kelas sembilan bahasa, Anisah Nailatul Izzah Aras jika berlebihan dikatakan terbaik, ia merupakan salah satu siswi terbaik. Profil siswi smart, shalihah, 'malebbi' (anggun) tereflesikan pada dirinya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun