Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Sekelumit Cerita Ringan dari Kaki Gunung Lompo Battang

17 Agustus 2021   08:31 Diperbarui: 17 Agustus 2021   08:34 371 2
Sekelumit Cerita Dari Kaki Gunung Lompobattang.

Ujian penerimaan santri Wadizzuhur di ponpes Darul Istiqamah cabang Bulukumba selesai menjelang tengah malam.

Ini adalah rangkaian ujian terakhir yang kami adakan setelah yang lain di di beberapa daerah di kabupaten Sinjai, yakni Lappae, Puce'e, dan Bongki.

Kami harus meninggalkan kota Bulukumba saat itu juga.
Di google Map, perjalanan pulang menempuh sekitar empat jam.

Melewati kota Bantaeng, naik ke Loka, lalu Bontolojong, Jeneponto, lalu Cikoro, perbatasan Jeneponto Gowa.

Kami sampai di Malakaji lewat tengah malam. Perjalanan untuk sampai ke Wadizzuhur masih tersisa sekitar dua jam lagi.

Menyusuri jalan poros Malakaji- Sapaya di belantara kaki gunung Lompobattang yang sangat sepi nan menyeramkan apalagi di tengah malam.

Bahan bakar mobil nyaris habis. Beberapa rumah penjual BBM eceran kami singgahi, namun tak ada yang buka.

Meski pintu diketuk lama bersahutan dengan suara salam beberapa kali. Tak ada jawaban apalagi pintu terbuka.

Penghuni rumah mungkin lelap dalam mimpi. Atau tak mau membuka pintu, khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan.

Siapa pun tak berani mengambil resiko membuka pintu rumah jam dua dini hari oleh suara asing.

Pimpinan mengambil keputusan untuk menginap di masjid dibanding terus berjalan, berspekulasi menemukan penjual lain saat tangki mobil hampir kering.

Tapi cuaca sangat dingin menusuk. Sebagian tak punya jaket apalagi selimut.
Tak ada yang berani tidur hanya berlapiskan baju tipis melawan dingin.

Beliau menelepon kerabat yang tinggal di Alla', Gowa. Terpaksa.
Telepon dijawab, kami diberi tumpangan nginap di rumahnya.

Alhamdulillah, jarak rumahnya hanya berjarak sekitar satu kilometer dari lokasi kami.

Rumah panggung berbahan kayu mahal. Terlihat eksotis. Besar. Dan yang paling penting kami bertujuh bisa tidur berbantal dan berselimut tebal. Nikmat sekali. Alhamdulillah.

Pagi hari dingin berkurang. Sempurna untuk menghirup suasana segar pegunungan. Di sini bahkan jauh lebih segar dibanding Malino yang sudah terkotori oleh asap kendaraan wisatawan.

Mungkin pemerintah Gowa atau provinsi bisa melirik potensi ini.
Atau orang-orang kaya di Makassar bisa beralih ke arah timur Gowa ini.

Membeli tanah yang lebih murah, membangun villa pribadi, dibanding saling menyikut untuk membeli sebidang tanah sempit di Malino.

Rumah-rumah panggung berderet rapih di tepi jalan. Hampir semua halaman penuh dengan berbagai macam bunga indah. Ada ornamen lampu hias berbahan gelas plastik bekas tergantung di teras setiap rumah.

Di sekitar rumah ada rambatan pohon markisa yang sedang tak berbuah. Pohon kopi, pohon jeruk, pohon cengkeh, sayuran, dll.

Ada simbiosis mutualisme sini. Saling menguntungkan antara manusia dengan alam. Tanaman dirawat, balas memberi hasil panen yang banyak.

Selain Sumatera Barat, Sulsel juga dikenal Sebagai penghasil buah markisa. Di daerah sinilah pusatnya.

Sarapan pagi kami hari itu berkomposisi buah dan sayur yang dominan. Sayurnya segar. Labu siam berkuah santan. Sayur terung diiris tipis, digoreng berlapis tepung. Krispi.
Dijadikan lauk. Sarapan rasa makan siang. Lezat sekali.

Rambutan dan durian yang kami bawa dari Sinjai dijadikan makanan penutup sarapan. Tenang. Masih tersisa banyak buat oleh-oleh.

Makanan nyaris ludes. Namun kami belum beranjak pergi. Melanjutkan ngobrol. Tanpa tema.

Sesekali berkonsultasi dengan tuan rumah tentang bercocok tanam. Sesekali membahas tentang agama. Dll.

Sering kali hal-hal yang tak direncanakan ternyata berakhir indah.
Perjalanan kerja kami berasa liburan meski singkat.

Setelah perut dan juga tangki mobil terisi, kami pun berpamitan pulang. Tak lupa berterima kasih yang banyak pada pak Safar, tuan rumah.

Dalam hati, saya berharap tuan rumah masih berkenan menerima kami.
Saya masih ingin kembali ke sini lagi suatu hari nanti insya Allah.
Saya jatuh cinta.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun