Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Hidup Hanya Untuk Menjemput Maut

26 Desember 2011   17:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:43 1066 6
[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Laron di Sekitar Lampu Penerangan Jalan, (Gb: Dok. Akhmad Rozi)"][/caption] Sepanjang hari ini, matahari tak begitu jelas menampakan diri. Rupanya ia malu-malu, bersembuyi di balik awan. Mulai pagi buta hingga hari sore, rintik gerimis, agaknya enggan berhenti. Sudah kuduga sebelumnya, pagi tadi, bila mendung terlihat berwarna putih, hujan akan berlangsung lama. Dugaanku, tidak meleset. Lain halnya, bila mendung terlihat hitam berarak, hujan tidak akan berlangsung lama, meskipun sangat lebat. Itu yang kuamati di sini, semenjak puluhan tahun lalu, meskipun dugaan ini, tidak selamanya benar seratus persen. Ada juga kalanya tidak menentu. Ketidakmenentuan ini, rasa-rasanya lebih intens terjadi setelah hutan di daerah ini terlihat gundul di mana-mana, gunung-gunung berubah lembah, dan penuh limbah batu bara. Ciri-ciri hujan ataupun siklusnya, menjadi tak menentu. Di saat hari memasuki malam, sang rintik gerimis pun, tak lagi menunjukan aktifitasnya. Pada saat itulah bermunculah sosok hewan kecil yang mondar-mandir, terbang ke sana kemari. Seolah-olah binatang ini, sudah tahu jadwal hujan berhenti di sore hari, sehingga ia menampakan diri. Sosok binatang itu adalah laron, yang tak tahu lagi, berapa ribu jumlahnya. Tak bisa lagi menghitungnya. Dan buat apa kalau menghitungnya!. Beberapa orang tampak tak perduli, dengan kehadiran binatang kecil ini, karena dianggapnya tidak berbahaya. Namun, beberapa yang lain menjadi sibuk, berusaha menghalaunya, agar tidak mengganggu aktifitasnya. Ada pula yang seketika itu berlari, menutup makanan yang sebelumnya dibiarkan terbuka. Ia ketakutan bila makanan-makanan itu, dihinggapi binatang laron, entah karena jijik atau dianggap beracun. Hampir di semua rumah, mematikan lampu penerang. Maksudnya, agar sang laron itu, tidak menyerbu ke rumah mereka. Mereka menyadari, sang laron akan mengejar cahaya lampu. Hingga praktis laron-laron itu hilir mudik di jalanan, atau pun di tempat umum seperti pos ronda, yang lampu penerangannya masih tetap menyala. Pemandangan seperti ini tentu saja sangat berbeda dengan suasana waktu dahulu, ketika aku masih anak-anak. Pada saat bermunculnya binatang laron, suasana menjadi riuh penuh suka cita. Seolah ada mainan yang mengasyikan. Masing-masing mengejar untuk menangkapnya, kemudian dimasukan ke dalam plastik. Berlomba-lomba untuk mendapatkan terbanyak dari yang lain. Suatu kebanggaan bila mampu memperoleh terbanyak. Laron-laron yang telah ditangkap itu, dikumpulkan dan dibandingkan satu sama lain, untuk dinilai bersama-sama: siapa yang mendapatkan laron terbanyak. Gemuruh, sorak sorai muncul seketika, setelah sang pemenang diumumkan. Mereka bersikap reflek memberikan apresiasi kepada pemenang. Tak tahu lagi kemana, nasib sang laron, pasca diumumkannya pemenang “penangkap terbanyak”. Ada yang memanfaatkannya untuk umpan memancing ikan, ada pula yang diberikan kepada binatang piaraan orang tua mereka. Rasanya, pada waktu itu, tidak ada yang diolah, untuk dikonsumsi manusia, misalnya untuk bahan baku “peyek”, ataupun dimasak “ongseng”. [caption id="" align="alignleft" width="400" caption="Anak-anak tak lagi berminat, bermain dengan laron (Gb: Dok. Akhmad Rozi)"][/caption] Pemandangan seperti itu, kini tak kudapatkan lagi di sini. Mungkin suasana sudah berbeda. Bisa jadi saat ini, bermain dengan laron, tidak bisa memikat hati. Barang mainan yang ada jauh lebih menarik dibanding laron. Barang mainan sekaran, serba elektronik, tidak melelahkan dan tidak perlu bersusah payah untuk mempermainkannya. Tak begitu lama rasanya, hilir mudir sang laron, mengejar lampu, dan menikmati cahaya, ia harus mengakhiri riwayat hidupnya. Di jalan-jalan, terutama di sekitar tiang listrik penerangan jalan, berserakan tubuh sang laron, terkapar tak berdaya. Sayap-sayapnya pun, terlepas dari batang tubuhnya. “Dia sudah tak bernyawa. Mungkin sudah menghadap Sang Pencipta”, gumanku dalam hati. Secepat itukah? Hidup hanya untuk menjemput maut!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun