Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Drowning Love

17 April 2013   15:21 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:03 187 0

Airis masih tertidur pulas di sampingku. Wajah polosnya kala tidur selalu mengingatkanku padamu Aisya. Kamu telah benar-benar meninggalkan hampir seluruh jejak wajahmu di mukanya. Apakah kamu tidak rindudengan Airis, mainan kesayanganmu? Kasihan ia harus menanggung kesendirian tanpa teman seorang ibu.

---

Jarum panjang jam belum berjalan penuh satu putaran, aku terbangun oleh tepukan tangan Airis di wajahku.

“Ayah.. bangun Ayah..” tangan Airis masih deras menepuk-nepuk pipiku.

“Sebentar Dek, lima menit lagi ya,” tawarku ingin memperpanjang tidur barang sejenak.

“Bangun dong Ayah..! Sudah dipanggil ama adzan tuh!”

“Iya.. iya.. Lima menit aja, please!” kelima jari tangan ku sodorkan keluar, sementara badan dan wajahku masih bersembunyi di balik selimut.

“Ayah, Airis tadi ketemu ama Bubu Aisya” suara Airis tiba-tiba mengusir kantukku dalam sekejap.

“Oh ya? Di mana? Kok nggak diajak pulang?”

“Bubu ngajak Airis main ke Studio Park, katanya Bubu kangen main ama Airis.”

“Airis mimpi ya? Airis kangen sama Bubu?”

Airis hanya mengangguk pelan dan tidak melanjutkan kata-katanya.

“Ya sudah, biar kangennya sama Bubu terobati,  yuk kita sholat subuh habis itu kita doakan Bubu biar cepat pulang.”

---

Pagi itu Aisya ada tugas mendadak dari kantor untuk mengurus L/C yang bermasalah di Denpasar. Langit masih gelap dan Airis masih tertidur lelap ketika ibunya pergi.

“Maaf Ayah, Aisya tak sempat pamitan sama Airis. Tolong kalau dia bangun bilangin ya kalau Bubu sudah berangkat kerja duluan. Paling cuma sebentar kok, begitu selesai urusannya sore nanti Bubu langsung terbang kembali ke Bandung.”

“Iya, hati-hati ya.. Jaga diri, Bubu kan bawa calon adiknya Airis.” Ku kecup lembut keningnya, tapi tidak seperti biasanya Aisya menutup matanya begitu lama seakan berat meninggalkan aku dan Airis.

“Jaga mainanku ya Ayah, Bubu pasti pulang kok..” itulah pesan terakhir yang Aisya berikan padaku. Setelah pagi itu aku tak pernah lagi melihat wajah ayunya. Hanya pesan terakhirnya yang selalu kusampaikan pada Airis, “Bubu pasti pulang.”

---

Jam 07.00 aku sarapan di ruang tengah di temani berita pagi Media TV, salah satu kebiasaan burukku, sarapan sambil nonton TV sebelum berangkat mengajar. Airis baru saja bangun, ia dimandikan mbak Sum di kamar mandi belakang. Sendokan terakhir, tiba-tiba nasi yang ku telan tersedak di tenggorokan.  Breaking News di TV memberitakan, baru saja terjadi kecelakaan pesawat Elang Indonesia nomor penerbangan EI-098 jurusan Bandung-Denpasar. Sebelum mendarat di bandara Ngurah Rai pesawat itu tenggelam di perairan Bali. Dugaan sementara karena cuaca buruk, awan kumulonimbus disertai hujan menghalangi jarak pandang pilot beberapa menit sebelum mendarat.

Begitu shock aku mendengar berita pilu itu. Oh, bukankah itu pesawat yang mengantar Aisya ke Denpasar? Beberapa hari tak ada kejelasan tentang nasib para penumpang, termasuk Aisya. Data sementara dari informasi maskapai penerbangan, jumlah penumpang beserta awak 100 orang, 50 orang selamat, 30 orang luka-luka, 10 orang belum teridentifikasi dan 10 orang lainnya hilang terseret arus selat Bali. Aku terus memantau perkembangan informasi, tapi tak ada satupun nama Aisya di daftar penumpang selamat atau luka. Petugas mengatakan kemungkinan Aisya termasuk dari 10 penumpang yang belum diketemukan.

Hari berganti minggu, bulan dan tahun tapi tetap tak ada kejelasan nasib Aisya. Bukankah kau berjanji akan pulang Aisya? Seperti janjimu padaku dan pada Airis. Tapi jika yang kau maksud adalah pulang pada Yang Maha Kuasa, sungguh aku tak rela Aisya. “Ya Allah kenapa Aisya kau panggil Aisya secepat itu? Airis masih sangat membutuhkan ibunya dan tentu Aisya masih ingin bersama mainan kesayangannya, Airis. Tapi kenapa Engkau tega mengambilnya?”

Astaghfirullahal ‘adzim.., ampuni hambaMu Ya Allah, hampir saja hamba khilaf lepas kendali tidak menerima ketentuanMu. Bukankah semua adalah titipanMu? Benar kata-katamu waktu itu Aisya, “Semua yang ada di dunia ini hanya pinjaman. Ayah, ibu, istri, sahabat, harta, cinta, bahkan selembar  kain yang menempel di badan adalah pinjaman yang suatu ketika akan diambil oleh pemilikNya?” Selamat jalan Aisya, semoga kau bahagia pulang ke pangkuanNya.

---

Air mataku semakin deras turun diantara untaian do’a. Airis duduk di belakangku, tertunduk haru mengamini setiap do’a yang ku panjatkan. Semoga kau bahagia di sana Aisya. Lihatlah aku telah memenuhi janjiku untuk menjaga Airis, putra kesayangan kita. Airis: anak Aisya dan Riski, begitu dulu kau menamainya. Anak yang sangat kita nanti-nantikan hadirnya, hingga ia datang di usia ketujuh perkawinan kita. Dulu sempat kau berputus asa dan ikhlas menyuruhku untuk menikah lagi jika di tahun kesepuluh tak juga kau sanggup memberikanku keturunan.

“Suatu saat nanti kalau Aisya tak sanggup memberikan buah hati, Ayah boleh menikah lagi dengan Zena. Dia teman kuliahku, anaknya baik dan belum bertemu dengan jodohnya hingga kini.” Tapi kata-katamu itu hanya ku anggap angin lalu, mana ada wanita di dunia ini yang rela hidup berdua dengan istri lain suaminya.

Tapi setelah tiga tahun kepergianmu, aku tak sanggup melihat kesepian Airis. Ia sangat membutuhkan sosok seorang ibu yang memberikannya kehangatan, ia butuh seorang ibu yang mampu mendidik dan membimbingnya, ia butuh seorang ibu yang bisa menemaninya bermain. Ia butuh sosok seorang ibu, tidak hanya seorang ayah. Ya.. dan Zena adalah orang yang tepat. Betul katamu Aisya, Zena adalah wanita yang baik, ia juga mewakili karakter dirimu  yang supel, penyayang, cuek tapi cerdas. Airis sekarang juga sudah mulai akrab dengannya.

---

Hajatan akan segera dilangsungkan, walaupun sederhana tapi seluruh keluarga, teman dan tetangga dekat hadir ke rumah untuk menyaksikan akad nikah, antara aku dengan Zena. Berat sebenarnya harus melakukan ini Aisya, tapi demi Airis dan pesanmu dulu.. Toh, untuk kebahagiaan Zena juga yang di usia kepala tiga tak kunjung datang jodoh untuknya. Aku juga butuh orang lain agar bisa terus berjalan dan sedikit demi sedikit menghapus kenangan bersamamu, Aisya.

Semua yang hadir sudah berkumpul di ruang tamu dan halaman depan yang bertenda.Sebentar lagi akad nikah akad dilangsungkan. Tiba-tiba seorang wanita asing datang tak diundang, menyeret sebuah koper besar dengan bocah kecil di gendongan. Tetamu yang sudah duduk rapi sedari tadi tampak heran, tak terkecuali aku yang sudah duduk berhadapan dengan wali nikah. Oh, siapakah dia gerangan?

“Ayah, Bubu pulang,” wanita itu berkata.

“A.. Aisya? Apakah itu kamu?”

“Iya Ayah, aku Aisyah istrimu dan aku sudah memenuhi janjiku untuk pulang. Kubawakan serta untukmu Fatma, mainan baru kita.”

Aku tak percaya wanita yang berdiri di hadapanku dan para tamu ini adalah Aisya. Wajahnya tampak lain tak seperti Aisya yang dulu. Ada bekas luka operasi Face-off di samping kiri wajahnya. Tapi aku tak samar dengan suara itu. Ya, itu Aisya istriku.

“Oh, Aisya…”

Beribu haru biru bahagia tumpah seketika. Aku memeluk erat Aisya, kuciumi wajah dan bibirnya serta Fatma gadis kecil yang masih dalam gendongan. Tak ku pedulikan tetamu yang hadir. Mereka tampak heran dan bertanya-tanya atas kejadian yang tengah mereka saksikan. Sebagian lain yang faham, larut dalam keharuan sambil tak kuasa menahan derasnya air mata.Acara yang seharusnya sakral ini berubah menjadi lautan haru dan air matabahagia.

Oh, mengapa kau pulang terlambat Aisya? Kau tega membiarkanku tenggelam tak berdayadi tengah cerita, tapi aku harus mengambil keputusan untuk melanjutkan cerita kehidupan. Tapi syukurlah aku tak lagi sendirian bersama Airis. Kini di rumah kita ada Aisya, Fatma dan… | Zena..???

[SMG, 17/04/2013, 14:58]

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun