Fenomena Indonenglish, atau penggunaan campuran antara bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari, menjadi semakin marak di kalangan anak muda Indonesia. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan cara berkomunikasi, tetapi juga menggambarkan dinamika budaya populer yang semakin dipengaruhi oleh globalisasi. Dalam esai ini, penulis membahas Indonenglish sebagai cerminan dari gelombang budaya populer yang berkembang di Indonesia, sekaligus mengkritik dampak dari fenomena ini terhadap bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
Dalam menjelaskan fenomena Indonenglish, penulis tidak hanya menyoroti tren kebahasaan, tetapi juga menghubungkannya dengan konsep captive mind (pikiran yang terperangkap) yang dikemukakan oleh Syed Hussein Alatas. Konsep ini merujuk pada mentalitas bangsa-bangsa bekas koloni yang masih merasa inferior di hadapan budaya Barat. Dalam konteks bahasa, penggunaan Indonenglish dianggap sebagai salah satu bentuk dari mentalitas terjajah ini, di mana masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Inggris yang dianggap lebih modern dan berkelas dibandingkan dengan bahasa Indonesia. Fenomena ini, menurut penulis, bukan hanya sekadar tren, tetapi juga mencerminkan pengaruh kuat dari mentalitas pascakolonial.
Penulis menyoroti bahwa pemakaian bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari oleh anak muda Indonesia tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, tetapi juga mulai merambah ke daerah-daerah lain. Ini menunjukkan bahwa pengaruh Indonenglish sudah meluas dan tidak lagi terbatas pada kelompok sosial tertentu. Peran teknologi dan media sosial sangat besar dalam menyebarkan fenomena ini. Platform media sosial seperti Instagram, Twitter, dan YouTube menjadi medium utama di mana anak muda mengekspresikan diri mereka, seringkali dengan menggunakan bahasa campuran antara Indonesia dan Inggris. Penggunaan bahasa Inggris atau Indonenglish dalam konten-konten di media sosial dianggap keren, modern, dan mencerminkan gaya hidup global yang kosmopolitan.
Namun, penulis mengingatkan bahwa di balik popularitas Indonenglish, terdapat dampak negatif yang harus diwaspadai, terutama terhadap kelangsungan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Ketika anak muda semakin sering menggunakan bahasa campuran ini, ada kekhawatiran bahwa kemampuan mereka dalam berbahasa Indonesia yang baik dan benar akan menurun. Lebih jauh lagi, fenomena ini dapat mengikis rasa kebanggaan terhadap bahasa Indonesia dan, secara tidak langsung, terhadap identitas nasional itu sendiri.
Penulis juga mengkritik kebijakan pemerintah, terutama dalam hal internasionalisasi pendidikan. Banyak universitas di Indonesia yang kini mewajibkan penggunaan bahasa Inggris dalam program-program akademiknya sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan peringkat internasional dan menarik minat mahasiswa asing. Namun, penulis menilai bahwa kebijakan ini, jika tidak diimbangi dengan upaya yang serius untuk mempertahankan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar utama, dapat berujung pada pelacuran budaya dan bahasa Indonesia. Ini karena penggunaan bahasa Inggris yang berlebihan di institusi pendidikan dapat membuat bahasa Indonesia semakin tersisih dari ranah intelektual dan akademik.
Dalam pandangan penulis, pemerintah seharusnya lebih serius dalam menjaga posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Kebijakan pendidikan harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak hanya mempromosikan internasionalisasi, tetapi juga memperkuat penggunaan bahasa Indonesia di semua bidang. Menjaga keberlanjutan bahasa Indonesia tidak hanya berarti melestarikan bahasa, tetapi juga melindungi identitas budaya dan jati diri bangsa.
Apresiasi saya terhadap esai ini adalah bagaimana penulis dengan tajam menghubungkan fenomena kebahasaan dengan persoalan pascakolonialisme dan dominasi budaya Barat. Penulis berhasil menunjukkan bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga simbol kebudayaan dan identitas nasional. Lebih dari itu, penulis juga menyoroti bagaimana penggunaan bahasa Inggris secara berlebihan dapat merusak esensi dari kebanggaan terhadap bahasa Indonesia. Pemerintah, dalam hal ini, memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa bahasa Indonesia tetap relevan dan kuat di tengah gempuran globalisasi dan budaya populer yang semakin didominasi oleh Barat.
Untuk menjaga eksistensi bahasa Indonesia di tengah fenomena indonenglish, pendidikan bahasa perlu diperkuat dengan integrasi kurikulum yang modern, pelatihan guru, dan penggunaan dalam kegiatan akademik; konten digital dan media berbahasa Indonesia harus dipopulerkan; internasionalisasi bahasa perlu didorong melalui pusat studi dan diplomasi budaya; riset kosakata baru dan penerbitan ilmiah dalam bahasa Indonesia perlu ditingkatkan; kesadaran masyarakat harus ditumbuhkan melalui kampanye dan komunitas; kebijakan penggunaan bahasa di ruang publik serta penghargaan dapat diterapkan; dan orang tua perlu diedukasi agar mendampingi anak belajar bahasa Indonesia sebelum bahasa asing, didukung oleh buku dan media anak yang menarik.
Sebagai penutup, meskipun fenomena Indonenglish menimbulkan kekhawatiran tentang kelangsungan bahasa Indonesia, penting juga untuk melihatnya sebagai bagian dari dinamika bahasa yang alami. Upaya untuk menjaga bahasa Indonesia sebagai identitas nasional harus dilakukan tanpa mengabaikan kenyataan bahwa bahasa akan selalu berkembang. Oleh karena itu, tantangannya adalah bagaimana mengelola perubahan ini agar bahasa Indonesia tetap relevan, modern, dan mencerminkan identitas bangsa di tengah arus globalisasi.