BERPISAH dengan orang yang dicintai dan disayang, selalu menumbuhkan rasa sedih yang dalam. Begitulah yang dirasakan Maryani, ketika Rafilus pergi meninggalkannya setelah lebih tujuh tahun mereka hidup berumahtangga sebagai suami-istri.
Maryani sangat tidak menginginkan perpisahan itu, karena dia sangat mencintai Rafilus. Dia ingin tetap bersama lelaki itu, selamanya. Kelembutan dan kasih sayang Rafilus telah meninabobokkan hatinya untuk selalu bersama dengannya. Akan tetapi Rafilus punya perhitungan lain. Dia ingin punya keturunan, dan hal itu tidak bisa diberikan oleh Maryani.
Mereka berdua sudah memeriksakan diri ke dokter ahli, dan keduanya dinyatakan sehat. Tidak mandul. Namun, mengapa Maryani belum juga mengandung?
Oleh sebab itu, dengan berat hati, setelah berpikir dengan cermat penuh berbagai pertimbangan, akhirnya Rafilus memutuskan untuk berpisah dengan Maryani, istrinya.
"Ini memang berat, Mar, bagi kita berdua. Bukan aku tidak mencintaimu. Tapi aku tidak bisa melihat jalan lain, jika ingin memiliki keturunan, selain berpisah denganmu dan kemudian aku akan menikah dengan perempuan lain. Maafkan aku," ucap Rafilus ketika itu.
Maryani wajahnya menjadi pucat. Lalu menangis pelan. Ditatapnya Rafilus dengan sorot mata sendu.
"Maafkan aku, kalau hingga kini belum bisa memberimu keturunan. Tapi maukah kau bersabar beberapa waktu lagi, Raf, siapa tahu aku nanti hamil dan kita punya anak." Maryani menghapus airmatanya. "Kupikir, kita memang harus menungggu...."
"Menunggu? Sudah tujuh tahun jalan, Mar. Itu bukan waktu yang sebentar. Menunggu sampai kapan?"
"Bagaimana kalau kita mengadopsi seorang anak, Raf? Banyak sudah contoh, suami-istri yang tadinya tidak punya keturunan, kemudian bisa punya anak setelah mereka mengadopsi seorang anak," kata Maryani, nadanya penuh bujukkan.
Rafilus menggeleng. Ditatapnya istrinya dengan lembut, dan katanya: "Yang kuinginkan seorang anak yang lahir dari rahimmu sendiri, buah dari cinta kasih kita berdua."
Maryani mengerti. Pendirian Rafilus sudah tidak mungkin berubah lagi. Dia harus besar hati menerima kenyataan ini sekalipun pahit. Perpisahan dengan Rafilus tak bisa dihindari, meskipun cinta dan sayangnya terhadap suaminya itu begitu besar. Namun, dia juga mengerti kalau jodohnya dengan Rafilus memang hanya sampai di sini, tak bisa diperpanjang lagi. Semua atas izin Tuhan. Tidak perlu disesali berkepanjangan.
Dan seperti anak panah yang melesat lepas dari busurnya, begitu tangkas dan cepat, demikianlah juga waktu. Pusaran waktu menyeret segala sesuatunya dengan cepat dan membawa perubahan yang tidak terasa pada semua. Seperti tanpa disadari oleh siapa pun. Meskipun, matahari tetap terbit di timur dan tenggelam di barat.
Begitulah adanya. Rafilus sendiri mengakui hal itu. Tanpa dia sadari, ternyata sudah tujuh tahun dia berpisah cerai dengan istri pertamanya, Maryani. Dan sudah jalan tujuh tahun pula dia hidup berumahtangga dengan Rismayana, istri ke duanya, dan belum pula beroleh keturunan sebagaimana yang mereka berdua harapkan.
Sore ini, Rafilus dan Rismayana, sedang duduk berdua di teras belakang rumahnya yang menghadap sungai kecil berair jernih, yang pada tepiannya tumbuh subur pohon bungur, flamboyan dan bugenvil. Suasana begitu nyaman dan teduh.
Rismayana meletakkan perlahan handphonenya di atas meja, dan sejenak menatap suaminya yang asyik membaca majalah pertanian yang baru dibelinya tadi pagi sepulang kerja.
"Tentang apa yang kau baca itu, Bang?" tanya Rismayana, tersenyum tipis.
"Hmm. Tentang cara menanam dan berkebun strawberry, kelengkeng, dan alpukat. Menurutku menarik," jawab Rafilus. "Ini bisa kita coba menanamnya di lahan milik kita di Borneo nanti."
"Semoga cepat terlaksana, Bang. Aku juga suka memelihara tanaman, apalagi tanaman yang bisa menghasilkan."
"Sangat menyenangkan punya kebun buahan di lahan sendiri."
Rafilus memang sejak sebulan lalu meminta dimutasi ke tanah kelahirannya di Borneo. Pimpinan perusahaan tempat dia bekerja, sudah menyetujui. Rafilus diplot akan menjadi kepala cabang perusahaan itu di sana nanti.
Oleh sebab itu, rumah miliknya bersama Rismayana yang sekarang mereka tempati, akan dijual. Sudah seminggu ini Rafilus memasang sepanduk bertuliskan: 'rumah ini dijual tanpa perantara. Sila hubungi nomor ini: xxxxxxxxxx.'
Sudah ada beberapa orang yang menelpon, tapi tidak ada kelanjutannya. Yah, namanya menjual rumah, tentu saja tidak bisa secepat lakunya seperti menjual pisang molen. Harus sabar menunggu pembeli yang benar-benar serius. Bisa jadi, sampai Rafilus dan istrinya, Rismayana, pindah ke Borneo, rumah itu belum laku-laku juga.
Tiba-tiba Bi Sumi, asisten rumahtangga, muncul dari dalam rumah. "Pak-Bu, ada orang pakai mobil berhenti di depan rumah. Mungkin ada perlu...," ucap Bi Sumi.
Rafilus dan Rismayana berpandangan. Bersamaan dengan itu, handphone Rafilus melantunkan lagu yang indah, tanda ada yang menelpon. Rafilus memperhatikan si penelpon, tak ada namanya. Dia terima telpon itu.
"Ya, halo...," sambut Rafilus.
"Selamat sore, Pak. Kebetulan kami lewat depan rumah ini dan ada tulisan 'dijual.' Kami tertarik dan mampir. Ingin melihat-lihat dulu. Sekarang kami berada di halaman depan ini, kalau bisa bertemu Bapak pemiliknya?" kata suara itu, suara lelaki.
"Oh ya, tunggu. Saya sendiri. Sebentar saya ke luar," balas Rafilus.
Seorang lelaki berkaca mata hitam, nampak gagah, berdiri di samping mobil sedan berwarna biru muda, tersenyum menyambut kemunculan Rafilus dari dalam rumah. Mereka berjabat tangan dan menyebutkan nama masing-masing. Usia mereka nampak sepantaran saja. Kurang lebih empat puluh tahunan.
"Aswad."
"Rafilus."
"Bapak pemilik rumah ini? Rumah yang sangat bagus."
"Ya, benar."
"Kenapa dijual, Pak?"
"Selain karena saya akan dipindahtugaskan ke Borneo, itu sekaligus sebenarnya pulang kampung, saya juga perlu modal banyak untuk membuka perkebunan buah-buahan di kampung nanti. Itu saja alasannya." Rafilus tertawa. "Bukan karena rumah ini berhantu, atau apa? Murni memang dijual karena akan pindah dan membuka usaha perkebunan di Borneo."
Dari dalam rumah, dibalik kaca jendela yang berwarna gelap, diam-diam Rismayana memperhatikan lelaki yang sedang berbincang dengan suaminya itu. Rismayana terkejut. Dia pertajam penglihatannya. Tidak salah! Benar dia Aswad, pikir Rismayana dengan jantung berdegup kencang.
Sementara itu, di dalam mobil sedan biru muda itu, yang mesinnya masih menyala, dari balik kaca mobil yang juga berwarna gelap, seorang perempuan cantik juga terkejut menyaksikan lelaki pemilik rumah yang sedang berbincang dengan Aswad, suaminya. Dia pertajam penglihatannya. Tidak salah! Benar dia Rafilus, pikir Maryani dengan jantung berdegup kencang.
"Mama, kita nggak temanin Papa turun?" usik Raka, putra kandung Maryani dan Aswad yang berumur lima tahun.
"Mama....Ikut Papa," celoteh Tika, adik kandung Raka, yang baru berusia dua tahun lebih.
"Iya, iya, sebentar kita turun temani Papa. Papamu mau membeli rumah itu, kalau nanti cocok harganya," sahut Maryani, asal saja.
"Boleh, kalau Pak Aswad mau lihat-lihat dulu bagaimana kondisi dalam rumahnya," kata Rafilus. "Kalau memang merasa cocok, masalah harga bisa dinego kok."
"Memang Pak Rafilus mau lepas harga berapa rumah ini?" tanya Aswad.
"Yaah, satu milyar lebih sedikitlah...."
Pada saat itu, bersamaan, Rismayana ke luar dari dalam rumah, sementara itu Maryani juga keluar dari dalam mobil sambil menuntun Raka dan Tika.
Melihat perempuan yang baru ke luar dari dalam mobil dengan menggandeng bocah-bocah kecil yang gagah dan cantik itu, Rafilus terkejut setengah mati. Maryani, bisiknya dalam hati.
Aswad pun demikian. Betapa terkejutnya dia melihat Rismayana ke luar dari dalam rumah dan melangkah pelan menghampiri mereka. Oh, Rismayana, pikir Aswad.
"Itu istri Pak Rafilus ya?" tanya Aswad pura-pura tidak mengenal Rismayana. Dan Rismayana pun demikian, berlagak tak kenal dengan Aswad.
"Iya, benar. Itu istri saya, Rismayana. Dan yang itu, tentu istri Pak Aswad ya?" kata Rafilus, berpura-pura tidak mengenal Maryani. Dan Maryani pun demikian, berlagak tak kenal dengan Rafilus.
"Iya, benar. Itu istri saya, Maryani beserta anak kandung kami berdua, Raka dan Tika," sahut Aswad tanpa memandang ke arah Rismayana. "Dulu sekali, saya sudah pernah berumahtangga, Pak Rafilus. Tujuh tahun lebih usia perkawinan kami, tapi kami tidak beroleh keturunan. Meskipun dokter katakan bahwa kami semua sehat-sehat saja, belum saatnya aja dapat keturunan. Saya sangat mencintai istri saya itu dan tidak ingin berpisah, saya minta dia menunggu beberapa waktu lagi siapa tahu kami akhirnya memperoleh keturunan, dan saya usulkan pula untuk mencoba mengadopsi seorang anak sebagai pancingan, karena biasanya -- berdasarkan pengalaman pasangan yang belum punya anak -- setelah itu istri bisa hamil, tapi dia tetap menolak dan minta berpisah. Dia ingin mendapatkan keturunan dari lelaki lain yang akan menjadi suami barunya. Kami pun akhirnya berpisah," lanjut Aswad panjang-lebar, dan kini sebelah tangannya memeluk pundak Maryani yang bagus itu.
Rismayana menarik napas panjang sembari membuang muka, memandang ke rumpun-rumpun bunga melati dan mawar di sudut halaman. Hatinya serasa ditusuk duri mendengar penuturan Aswad, yang memang sengaja menyindir dirinya itu, karena dia memang mantan istrinya Aswad.
Ya, seandainya dulu aku tetap bertahan menjadi istrinya Aswad, sebagaimana permintaannya dulu, mungkin akhirnya aku bisa mengandung dan memperoleh keturunan, sebagaimana wanita cantik yang telah menjadi istrinya itu, dan memberikannya dua orang anak yang gagah dan cantik. Hati Rismayana terus berkata-kata sendiri, seolah menyesali apa yang sudah terjadi.
"Mah, mungkin Pak Aswad dan istrinya ingin melihat-lihat keadaan rumah kita," ucap Rafilus mengalihkan topik perbincangan sambil mencoel pundak istrinya, Rismayana. Hatinya sendiri serasa pilu mendengar cerita Aswad tadi, karena apa yang dialami Aswad, sama benar dengan yang dia alami sendiri.
Ya, seandainya dulu aku tetap bertahan menjadi suaminya Maryani, sebagaimana permintaannya dulu, mungkin akhirnya aku bisa memperoleh keturunan, sebagaimana yang telah didapatkan Aswad dari Maryani, dua orang anak yang gagah dan cantik. Hati Rafilus terus berkata-kata sendiri, seolah menyesali apa yang sudah terjadi.
Akhirnya Aswad dan Maryani beserta kedua anak kandung mereka, diajak melihat-lihat kondisi dalam dan luar rumah. Ketika ada kesempatan Maryani berdua saja dengan Rismayana, mereka lalu berbicara sebagaimana dua orang perempuan.
"Rumah ini memang cukup bagus, Bu. Sayang terlalu di pinggiran kota," kata Maryani.
"Itu benar. Dan, asal tahu saja, Bu, saya kadang-kadang merasa takut kalau ditinggal suami sendiran di sini. Di lantai dua, kadang di malam-malam tertentu, saya mendengar seperti ada orang bercakap-cakap. Hantu kali ya? Hhhiih," ucap Rismayana.
"Tapi juga sebenarnya, untuk Ibu dan suami, rumah ini terlampau besar. Apakah kalian sudah memperoleh keturunan?" usik Maryani dengan hati-hati dan suara pelan, takut istri Rafilus itu tersinggung.
"Belum. Tapi kami sudah saling sayang dan mencinta, kami harus pertahankan rumahtangga kami ini, sampai Tuhan memberi kami anak yang lahir dari rahim saya sendiri," tukas Rismayana.
"Saya doakan, semoga kalian langgeng dan kelak beroleh keturunan."
"Terima kasih, Bu." Rismayana memeluk Maryani.
Maryani tidak ingin suaminya membeli rumah milik Rafilus ini, yang mantan suaminya. Sementara Rismayana juga tak ingin rumah ini sampai jatuh ke tangan Aswad, yang juga mantan suaminya. Oleh sebab itu, dia sengaja menakut-nakuti Maryani dengan membuat cerita seakan rumah itu memang berhantu.
Ketika Aswad, Maryani, dan kedua anak mereka sudah kembali berada di dalam mobil dan menuju pulang, mereka memutuskan untuk tak jadi menawar dan membeli rumah milik Rafilus dan Rismayana itu.
"Rumah berlantai dua itu terlalu besar rasanya buat kita," kata Aswad berkilah, sambil mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang.
"Dan kata istrinya pak Rafilus tadi, rumah itu juga ada hantunya, Bang," terang Maryani sambil pura-pura bergidik ngeri.
"Aku nggak mau kalau rumah ada hantunya," timpal Raka.
"Hantu...hantu...ih, takut," kata Tika pula sembari menutup mukanya dengan kedua tangan.
Aswad dan Maryani yang melihat itu tertawa-tawa.
Sampai mereka berpisah tadi, Maryani tetap berlagak tidak mengenal Rafilus. Demikian pula Aswad, pura-pura tidak kenal Rismayana. Rafilus selamanya tidak mengetahui kalau Rismayana adalah mantan istri Aswad. Dan Aswad juga selamanya tidak tahu kalau Maryani adalah mantan istri Rafilus.
Begitu juga Rismayana selamanya tidak tahu kalau Rafilus mantan suaminya Maryani. Dan Maryani pun selamanya tak pernah tahu kalau Rismayana adalah mantan istri Aswad. Hanya Tuhan yang tahu. Biarlah itu semua, menjadi kenangan! ***