Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Lelaki yang Menyendiri

8 Juli 2024   11:32 Diperbarui: 9 Juli 2024   13:58 171 4
Oleh: Akhmadi Swadesa

     TERDENGAR suara langkah halus dari arah jalan setapak yang berliku di tengah hutan belantara itu. Seketika Hadran berhenti menebas ranting kecil di depannya, dan masih dengan parang di tangan kanannya, dia menunggu sebentar. Seorang anak kelaki sekira berumur sembilan tahun, muncul dari jalan setapak itu sambil memikul seikat kayu sungkai yang semuanya lurus-lurus, baru ditebangnya dengan panjang kira-kira dua meteran dan besarnya seukuran jempol kaki orang dewasa.
     Hadran terkesima memandang bocah lelaki itu. Siapa anak ini, pikirnya. Dia sama sekali tidak mengenalnya.
     Bocah lelaki itu juga terkejut melihat Hadran berdiri di semak pinggir jalan setapak itu.
     Hadran memasukkan parang ke kumpang atau ke sarung parang yang menggantung di pinggang kirinya. Dia memberikan senyumnya kepada anak lelaki yang nampak bersih dan ganteng pula.
     "Siapa kamu ya?" tanya Hadran, pelan.
     "Aku Iknas, anak Jumriah," sahut lelaki kecil itu, sedikit malu-malu. Dia letakkan pikulan kayu sungkainya di tanah perlahan-lahan.
     Hadran terkejut. "Anak Jumriah...?"
     "Ya. Aku tadi mencari kayu sungkai ini untuk buat kandang ayam. Aku mau memelihara ayam."
     "Hah. Bukankah kalian selama ini tinggal di kota?"
     "Mulai sekarang tidak lagi. Aku dan mamaku sudah dua bulan pulang ke kampung ini."
     "Bapakmu?"
     Iknas menggeleng dan tersenyum. Katanya pelan: "Mama dan bapakku sudah pisah. Tapi aku ikut mama, pulang dan mau menetap di kampung mamaku ini."
     Hadran makin terkejut mendengar cerita yang polos dari lelaki kecil bernama Iknas itu. Dia terdiam, dengan gerakan tangannya dia suruh Iknas memikul kembali ikatan kayu sungkainya, dan mempersilahkan anak itu melanjutkan perjalanannya menuju pulang.
     Hadran pun meneruskan langkahnya dalam arah yang berlawan dengan anak lelaki tadi, lebih masuk ke dalam hutan, pulang juga ke rumahnya. Hari sudah mulai sore. Hadran memutuskan untuk beristirahat saja di rumah, setelah tadi selesai membersihkan tanah humanya.
     Dari atas pohon yang tinggi dan besar beberapa ekor burung enggang ramai berkaok-kaok, asyik bercengkerama dengan sesama mereka, ditingkahi oleh suara angin yang tak henti-hentinya bertiup.
     Sesampai di rumahnya, Hadran langsung membuat kopi dan mengambil sepiring kecil singkong rebus dari dalam panci, lalu duduk di dekat jendela yang menghadap sungai kecil di samping rumah. Sambil sesekali menyeruput kopinya dan makan singkong rebus, terbayang-bayang lagi di matanya wajah Jumriah. Perempuan yang sebenarnya sudah dia lupakan, namun kini teringat lagi olehnya gara-gara pertemuannya dengan anak lelaki yang mengaku sebagai anak Jumriah tadi.
     Lama sekali rasanya Hadran tidak pernah lagi bertemu Jumriah. Bagaimanakah keadaannya sekarang? Mengapa dia berpisah dengan suaminya?
     Hadran menggelengkan kepalanya. Tidak perlu diingat-ingat lagi, pikirnya. Lantas dia bangkit dari duduknya dan menghampiri onggokan dua buah karung goni yang bersandar di dinding papan rumahnya. Satu karung berisi buah jengkol yang sudah dikupas kulitnya, dan yang satu karung lagi berisi buah durian sarikaya yang kecil-kecil namun aromanya sangat harum. Semua itu dia panen dari tanah humanya sendiri. Besok pagi-pagi, dengan sepeda motornya, akan dia bawa ke pasar kecamatan, dan langsung dia antar ke warung yang memesannya.
     Lumayan juga besok aku bakal dapat uang dari hasil jual jengkol dan durian ini, pikir Hadran tersenyum.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun