Sedangkan shalat tahajjud, bila ada santri yang meninggalkannya, Kiai Badrul tidak akan memanggilnya. Seusai berjamaah shalat subuh, setelah berdzikir dan berdoa, beliau akan berdiri menghadap jamaah untuk membacakan ayat suci al-Qur’an yang berbunyi, “Waminal laili fatahajjad bihii naafilatal laka ‘asaa an yab’atsaka rabbuka maqaaman mahmuudaa.”* Itu saja, tanpa tambahan pesan apa pun, lalu beliau duduk kembali. Dan, beliau akan melakukan hal yang sama bila ada santri yang tidak menjalankan shalat tahajjud lagi. Demikianlah, hingga akhirnya di dada para santri tertanam sebuah kesadaran bahwa shalat tahajjud memang bukan kewajiban, tetapi kebutuhan yang teramat rugi bila ditinggalkan.
Adzan subuh terdengar lirih berkumandang dari sebuah pengeras suara masjid di depan sana. Laju bus JS mulai melambat. Setelah tampak sebuah masjid di kanan jalan, bus JS semakin pelan, berbelok dan memasuki halaman masjid.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu, mohon maaf kita berhenti dulu, bagi penumpang yang akan shalat subuh dipersilakan turun,” kondektur bus itu berkata dengan sopan kepada para penumpang.
Penumpang yang hampir semuanya sejak tadi ketiduran, bangun satu per satu. Selanjutnya, semua penumpang itu berbondong turun. Termasuk bapak tua yang duduk di sampingku.
“Maaf, sejak tadi saya tidur lelap sekali sehingga tidak tahu kalau Adik duduk di samping saya…,” ujarnya sambil mengulurkan tangannya untuk mengajak bersalaman. “Nama saya Syamsul, nama Adik?”
“Hasan. Nama saya Hasan Abdurrahman,” jawabku sambil menjabat tangannya.
“Adik akan shalat subuh?”
“Ya, tentu saja.”
“Mari….”
Ternyata, ini adalah sebuah masjid yang berada di wilayah Ngawi; letaknya tidak begitu jauh dari Pondok Pesantren Putri Gontor yang ada di Mantingan. Masjid ini tidak begitu besar sebenarnya, bila dibandingkan dengan masjid-masjid yang biasanya ada di pusat kota, atau banyak daerah berada di sebelah barat alun-alun kota. Tetapi, meskipun tidak begitu besar, masjid ini mempunyai halaman yang luas; cukup untuk beberapa bus besar dan kendaraan pribadi.
Keberadaan masjid di pinggir jalan besar memang sangat dibutuhkan oleh orang-orang yang sedang menempuh perjalanan jauh. Memang, di dalam syariat Islam, bagi orang yang sedang menempuh perjalanan (bukan dalam rangka maksiat) diperbolehkan melakukan shalat dalam kendaraan, atau shalat dengan cara jamak dan atau qashar.** Tetapi, bila perjalanan itu tidak tergesa-gesa dan memungkinkan untuk berhenti, maka keberadaan masjid di pinggir jalan memang sangat diperlukan untuk para musafir. Di samping untuk menunaikan ibadah shalat, juga sebagai tempat untuk istirahat melepas kelelahan.
“Alhamdulillah…, rasanya segar sekali. Terima kasih, ya Allah…, kesegaran terasa mengalir lewat air wudhu ini menembus kelelahan jiwa dan ragaku. Beban ini memang sungguh terasa berat. Perjalanan sendirian ini terasa sangat jauh sekali. Tetapi, dengan wudhu ini, Engkau telah mengirimkan rahmat-Mu; jiwa serasa lebih ringan, raga serasa lebih segar,” pipiku kembali membasah. Bukan hanya karena usapan air wudhu, tetapi air mataku merembes kembali. Air mata rasa syukur yang berkelindan dengan kepasrahan yang mendalam.
(Bersambung)
* “Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS. al-Israa’ [17]: 79.
* Menjamak shalat adalah menggabungkan dua shalat fardhu yang dikerjakan dalam satu waktu; zhuhur dengan ashar, dan maghrib dengan isya’. Sedangkan mengqashar shalat adalah meringkas bilangan rakaat shalat fardhu; yang boleh diqashar adalah shalat zhuhur, ashar, dan isya’, yang mestinya empat rakaat boleh dikerjakan hanya dua rakaat saja.