Tampak dari jalan arah timur sebuah bus dengan tulisan JS di atasnya. Tulisan itu begitu jelas karena ukuran hurufnya yang besar juga diterangi lampu yang menyala. Aku melambaikan tangan untuk menghentikannya. Dan, bus itu perlahan berhenti. Setelah berhenti dan seorang kenek turun lalu mempersilakan aku naik, aku pun segera menaiki bus kelas ekonomi yang full AC tersebut.
Alhamdulillah, ada satu kursi yang kosong di barisan nomor tiga dari belakang. Di sebelahnya, telah duduk seorang lelaki berumur sekitar 50-an tahun. Tampaknya dia tertidur dengan pulas. Tapi, bukan hanya dia yang tampak tertidur dengan pulas. Hampir semua penumpang bus ini, kecuali sopir, kondektur, dan kenek tentunya, sepertinya telah lelap dalam mimpinya masing-masing.
Aku duduk pelan-pelan, takut mengganggu ketenangan bapak tua yang berada di sampingku.
“Selamat tinggal semuanya…!” desahku dalam hati saat bus mulai melaju.
Tapi, patutkah aku mengucapkan selamat tinggal? Selamat tinggal kepada siapa? Kepada abah, ibu, adikku; tak mungkin aku mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Sebab, mereka memang secara fisik telah meninggalkan aku, tetapi secara ruhani di mana pun aku berada, tak mungkin aku bisa melupakan mereka. Doaku selalu teruntai untuk mereka.
Tapi, barangkali aku perlu mengucapkan selamat tinggal kepada desaku; kepada kotaku. Bagaimanapun, meski di desa dan kotaku sendiri, aku telah kehilangan semuanya. Semuanya telah direnggut begitu saja dari kehidupanku, biarlah kuucapkan selamat tinggal. Agar kekejaman yang serupa tidak terjadi lagi. Tidak menimpa orang selain aku dan keluargaku.
(Bersambung)