Kenikmatan yang Alloh berikan pada tidak hanya itu saja. Berbagai fasilitas yang membuat kita bisa istirahat nyaman, dapat kita rasakan tiap saat. Ketika cuaca dingan, kita tinggal mengambil jaket terbaik yang harganya ratusan ribu. Saat malam menjelang, ranjang yang empuk menjadi sarana pelampiasan lelah kita. Sedikitpun tidak ada yang menganggu kita. Nyamukpun terusir karena ada pembasmi jika ada mereka mengganggu kita. Saat udara siang membuat gerah, nyala AC menjadikan raungan serasa di bawah pohon yang rindang. Dingin dan nyaman. Bius kenikmatan itu melupakan kita pada mereka ,anak-anak jalanan, orang-orang yang tidur dibawah kolom jembatan, untuk mencari puing-puing rizki yang mungkin kita anggap remeh. Astaghfirulloh...
Ketika amanah diberikan pada kita, terkadang menjadikan kepedulian pada orang lain disekitar berkurang, bahkan lenyap dari agenda kita. Kita tersibukan dengan kegiatan-kegiatan besar dengan niatan agar amanah itu menjadikan kita untung secara materi. Agar pujian datang tiap waktu datang pada kita. Kedudukan mulia sudah didapatkan, kekayaan sudah lebih dari cukup, namun rasa puas sebiji sawipun tidak pernah mampir dalam diri. Sungguh beruntung orang yang senantiasa bersyukur.
Renungan itu mengingatkan kita pada sosok sahabat yang keras, tetapi memiliki hati selembut sutra. Ketika malam telah pekat, selimut-selimut semakin dirapatkan para pemiliknya untuk menambah lelap. Angin sahara menderu akrab ditelinga, dingin menusuk, kesunyian hadir sejak tadi. Dia mengendap-endap keluar dari petak rumah sederhana, menyusuri setiap lorong perkampungan Madinah. Jubah kumal bertambalan itu menemaninya pergi. Ditajamkannya pendengaran, adakah rakyatnya menyelami derita yang luput dari perhatian. Diawaskannya mata, terdapatkah rakyat alami duka akibat kepemimpinannya. Jika dia berlalu dan mendengar dengkuran halus pemilik rumah, senyuman menemaninya berpatroli.
Meski seorang khalifah dia sendirian menerjang malam, langkahnya berjinjit khawatir mengganggu istirahat rakyat yang begitu dicintai. Dari setiap detik yang mengalir, selalu kecemasan yang membayang di wajah pemberaninya, jangan-jangan di rumah ini ada janda dengan anak-anak yang kelaparan, atau khawatir di rumah selanjutnya orang tua terkapar kesakitan tanpa sanak saudara, adakah di rumah itu yang sakit hati karena pajak terlalu tinggi. Sendirian dia menikmati paruh malam, menyulam harapan keadaan rakyat sentosa senantiasa, merajut do'a agar rakyat dibawah naungan perlindungannya dilingkupi pilinan kedamaian.
Siapakah dia seorang yang sangat peduli dengan rakyatnya. Yang senantiasa kwatir terhadap rakyatnya. Dia adalah Umar Bin Khattab, khalifah kedua bergelar amirul mu'minin, pemimpin bagi orang-orang mu'min. Begitu Mahsyur. Pernah dalam periode kekhalifahannya terjadi tahun abu. Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu.
Keputus-asaan dalam menjalani liku-liku kehidupan terjadi dimana . Saat itu, Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya seksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari diinstruksikan menyembelih onta-onta potong dan disebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong ribuan rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, "Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran ditangan ini"
Sejarah menorehkan kisah Umar yang mengharamkan daging, samin dan susu untuk perutnya, khawatir makanan untuk rakyatnya berkurang. Ia, si pemberani itu hanya menyantap minyak zaitun dengan sedikit roti. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata "Kurangilah panas minyak itu dengan api". Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, "Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, hingga rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar. Mungkin inilah ucapan yang tidak pernah terdengar dari pemimpin-pemimpin kita. Atau kita sendiri
Tahun abu pun berlalu. Daerah kekuasaan Islam bertambah luas, pendapatan negara semakin besar. Masyarakat semakin makmur. Apakah umar berhenti berpatroli? Masih dengan jubah kumal, umar didampingi pembantunya berkeliling merambahi rumah-rumah berpelita. Kehidupan keluarga umar, masih saja pas-pasan. Padahal para gubernur di beberapa daerah hidup dalam kemewahan. Para sahabat, mulai berkasak-kusuk, mereka mengusulkan untuk memberi tunjangan dan kenaikan gaji yang besar untuk Umar. Namun, para sahabat tidak berani menyampaikan usul ini langsung kepada umar. Lewat Hafsah putri Umar, yang juga janda Rasulullah, usul ini disampaikan. Sebelumnya mereka berpesan supaya tidak disebut nama-nama mereka yang mengusulkan.
"Siapa mereka yang mempunyai pikiran beracun itu, akan ku datangi mereka satu persatu dan menamparnya dengan tanganku ini," berangnya kepada Hafsah. Selanjutnya tatapannya meredup, dipandanginya putri kesayangan itu, "Anakku, makanan apa yang menjadi santapan suamimu, Rasulullah!" Hafsah terdiam, pandangannya terpekur di lantai tanah. Ingatan hidup indah bersama sang purnama Madinah, tergambar. Terbata Hafsah menjawab, "Roti tawar yang keras, ayah. Roti yang harus terlebih dahulu dicelup ke dalam air, agar mudah ditelan".
"Hafsah, pakaian apa yang paling mewah dari suamimu," seraknya masih dengan nada kecewa. Hafsah semakin menunduk, pelupuk mata sudah tergenang. Terbayanglah tegap manusia sempurna, yang selalu berlaku baik kepada para istrinya. "Selembar jubah kemerahan, ayah, karena warnanya memudar. Itulah yang dibangga-banggakan untuk menerima tamu kehormatan". Pada saat menjawab, kerongkongan Hafsah tersekat, menahan kesedihan.
"Apakah, Rasulullah membaringkan tubuh diatas tilam yang empuk?" pertanyaan ini langsung dipotong Hafsah "Tidakk!" pekiknya. "Beliau berbantal pelepah keras kurma, beralaskan selimut tua. Jika musim panas datang, selimut itu dilipatnya menjadi empat, supaya lebih nyaman ditiduri. Lalu kala musim dingin menjelang, dilipatnya menjadi dua, satu untuk alas dan bagian lainnya untuk penutup. Sebagian tubuh beliau selalu berada diatas tanah". Saat itu meledaklah tangis Hafsah.
Mendengar jawaban itu, Umar pun berkata, "Anakku! Aku, Abu Bakar dan Rasulullah adalah tiga musafir yang menuju cita-cita yang sama. Mengapakah jalan yang harus kutempuh berbeda? Musafir pertama dan kedua telah tiba dengan jalan yang seperti ini." Selanjutnya Umar pun menambahkan "Rasulullah pernah berkata: Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang berpergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak dibawah pohon, kemudian berangkat meninggalkannya".
Jejak indah itulah yang tidak pernah hengkang oleh terpaan waktu dan akan senantiasa menjadi pelajaran berharga bagi siapapun yang dapat mengambilnya sebagai pelajaran kehidupan. Sampai akhirnya Umar pun menutup mata selama-lamanya lewat tikaman pisau Abu Lu'Lu'a, budak Mughira bin Syu'bah. Kitapun merindukan orang-orang seperti mereka. Wallahu'alam.