Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Kasih Anak Haram

23 Juni 2013   17:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:33 236 1
Ketika aku bertumbuh sebagai seorang gadis kecil ibuku, aku sudah diberi tahu oleh orang-orang disekitarku. Aku bertumbuh dengan berita-berita itu yang akhirnya menjadi hal biasa.

"Aku adalah anak haram"

Namaku Kim Kim, namun sering dipanggil Sen. Anak Tunggal dari ibuku, ayahku meninggal pada bulan september tahun 2008. Berikut adalah kisah pendek hidupku.

Ayah menikahi ibuku setelah berpisah dari istri pertamanya, namun pernikahan tak berjalan semestinya, beberapa saat setelah ibu hamil anak pertama hasil perkawinan itu, ayah meninggalkan ibuku dan kembali ke istri pertamanya. Walau sakit hati dan berat menanggung beban hidup, ibu menerima kenyataan itu dengan berbesar hati dan tidak menuntut, mungkin karena demikianlah gaya hidup atau kebiasaan di desa kami.

Ketika aku lahir dan bertumbuh, aku sudah terbiasa dengan kondisi ku sebagai seorang gadis kecil tanpa ayah. Pernah sekali ayah berkunjung ke rumah kami, saat itu usiaku sudah beranjak remaja. Aku merasa senang karena untuk sesaat aku memiliki ayah, namun kunjungan singkat itu tak sampai beberapa jam saja, jelasnya aku tak tahu alasan kunjungan ayah, namun aku menikmati kunjungan itu, walaupun aku tak bisa berbicara dengannya ataupun memeluknya.

Aku juga tak mengalami perasaan ibu yang mengalami lika-liku jalan hidup yang penuh luka, aku rasa, karena ibu dan kakek serta paman bibiku mengasihi aku sehingga aku merasa cukup.

Kini sebagai seorang pemuda, aku membantu pelayanan di gereja tempat kami sekeluarga berjemaat. Aku ditugaskan mengajar anak-anak sekolah minggu, usia 4-6 tahun. Pagi itu, yaitu pagi yang paling terkenang dalam hidupku, salah satu pagi dibulan september tahun 2008,  kelas sekolah minggu baru saja selesai dan anak-anak sedang berhamburan keluar dari ruangan kelas berukuran kecil yang dindingnya terbuat dari bambu ini.

Seorang teman, sesama guru di sekolah minggu memberitahukan berita besar yang sangat mengejutkan "Kim Sen, (demikianlah nama panggilan ku) ayahmu baru saja meninggal" Berita yang sangat mengejutkan bagi si pembawa berita itu, semakin membuatnya terpukul ketika melihat responku yang biasa-biasa saja. "O ya, kapan dan bagaimana cerita?" tanyaku...

Sebuah speaker / toa besar dipasang diatas pohon lontar dan suara doa pendeta-pendeta Budha terdengar jelas dari desa tetangga yaitu dari rumah duka dimana ayah disemayamkan. Semua orang desa kami mengetahui berita kematian ayah, suatu yang wajar, tapi yang tak wajar ialah hati ini. Aku tahu kalau aku adalah seorang yang sedang berduka, tetapi sikap dan pembawaanku tidak menunjukkan kedukaan itu.

Kini, setelah Pendeta di gereja kami mengutus aku untuk bersekolah di sebuah Sekolah Alkitab di Propinsi Siem Reap, Kamboja. Aku belajar dan mengalami banyak hal. Namun hal istmewa yang kualami ialah "kenangan akan ayah"

Setiap kali mengikuti kuliah, setiap kali mendengarkan dosen menjelaskan kasih Allah Bapa dan mengumpamakannya dengan kasih Ayah Lahiriah, aku teringat kembali akan ayah. Kenangan kini berbeda karena kenangan ini kini diikuti dengan kerinduan akan pelukan dan kasih sayangnya.

Kuliah tentang "Pengampunan" adalah sebuah topik lain yang sungguh membedah hatiku hingga berkeping-keping. Ternyata disamping kerinduanku, terselip rasa kecewa yang mendalam terhadap ayah, ayah yang menelantarkan ibu dan anaknya.

Hari jumad kemarin, Dosen kami memimpin sebuah perenungan sore tentang kasih. Pengajaran agar kami memberi pengampunan terhadap mereka yang mengecewakan dan menyakiti hati. Bahkan kami juga harus bersedia mengampuni diri sendiri yang terlalu banyak menuntut orang lain untuk menjadi sempurna bagi kami. Perenungan ditutup dengan sebuah ajakan agar kami menggunakan kesempatan yang ada untuk mengungkapkan cinta kasih kami secara verbal terhadap orang-orang yang kami kasihi.

Air mata yang sedari awal masuk Sekolah Alkitab ini kini bagai hujan deras yang membanjiri kota. Aku tak sanggup menahan kesedihan ini. Kesedihan karena penyesalan mendalam telah menyia-nyiakan waktu kehidupan ayah, aku tak pernah mengunjunginya bahkan ketika dia sakit hingga menghembuskan nafas terakhir. Aku bahkan tidak merasa perlu untuk hal itu.

Aku bertelut dan berdoa memohon pengampunan Allah Bapa yang mengasihiku dengan sempurna,

Aku bertelut dan mengampuni diriku sendiri,

Aku bertelut dan mengucap syukur untuk saat-saat yang walaupun hanya sebentar ketika aku melihat ayah berkunjung kerumah kami, aku bersyukur untuk rasa rindu yang mendalam ingin berada dalam pelukan ayah, aku bersyukur karena aku memiliki ayah dengan segundang daftar ketidaksempurnaannya. Aku bersyukur karena melahirkan aku.

Di penutupan perenungan sore itu, aku berdiri dan diberikan waktu untuk berbicara;

aku menghimbau teman-teman sekampusku agar tidak terlambat mengucapkan;

"I love Papa, I love Mama"

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun