Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Manusia Palsu

24 Juli 2017   14:59 Diperbarui: 24 Juli 2017   15:14 350 0

Sebuah kemerdekaan sudah selayaknya dimiliki oleh setiap individu tanpa terkecuali, tanpa memaksakan kehendak kepada orang lain, termasuk kepada anak. Mengapa takut memberi kemerdekaan kepada anak? Membiarkannya mengenal semangat zamannya biarkan dia memahami realitas kehidupannya.

Mengurung diri dalam pasungan pemikiran sempit pasti akan membawa kepada suasana kebuntuhan intelektual yang pengap, bahkan bisa membawa seseorang hidup dalam dunia semu, tidak menyentuh realitas.

Membatasi anak hanya pada apa yang dikehendaki orangtuanya merupakan sebuah dinamika sosial yang tidqk mereka pahami dimana dimasa silam jauh sudah sangat berbeda dengan kondisi saat ini, terutama bagi kaum perempuan yang dibiarkan terkungkung didalam rumah, kondisi tersebut tidak dapat dibiarkan begitu saja dengan adanya pemisah perempuan atau seorang anak dalam lingkungan sosialnya.

Tidak boleh sekali-kali sesorang dipaksakan dalam segala hal baik itu agama, iman, karena hukum dunia tidak berhak mengadilinya, artinya meskipun seseorang berbeda pandangan dengan kita tidak boleh dikucilkan sama sekali. Mengutip penafsiran hamka: kalau anak itu sudah menjadi yahudi,  tidaklah boleh dia dipaksa memeluk islam.

Penting untuk mengingat  indonesia dewasa ini diserang oleh virus anti kebebasan, kebebasan seorang anak kadang terabaikan orangtua sering memaksakan kehendak demi kepentingannya tanpa memahami keinginan sang anak.

Ungkapan bahwa "hidup ini adalah pilihan" memang cocok untuk dilontarkan dihari anak nasional ini, untuk membiarkan seorang anak memilih jalan hidupnya sendiri dalam proses pencarian jati diri. Dengan begitu akan tercipta sebuah karakter generasi bangsa yang berpikiran universal dalam memahami realitas bukan hanya memahami realitas dari apa yang didiktekan kepadanya.

Tentunya naluri orang tua terhadap anaknya memang tak bisa ditepikan, perasaan khawatir terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak memang selalu ada, takut ketika anaknya terjerumus dalam pergaulan bebas dan sebagainya. Namun disisi lain mereka lupa untuk memastikan apakah anaknya bahagia dengan pilihannya? Percayalah, tidak semua anak merasa bahagia dengan pilihan orang tuanya dalam hal apapun itu.

Memposisikan diri sebagai anak memang jarang dilakukan oleh setiap orangtua sehingga tidak jarang mereka tidak membiarkan anaknya memilih untuk masa depannya kelak, berakhir bahagia atau tidak itu sudah menjadi resiko. Anak berharap agar orang tua dapat mengerti keinginannya, selalu berada disampingnya, mendukung pilihannya, dan tetap menjadi orang tua terbaik bagi kami anaknya...

Biarkan kami sebagai anak berjalan pada apa yang telah kami pilih, kebahagiaan kami pun berada dijalan kami. Izinkan pula kami membahagiakan kalian dengan cara kami sendiri. Biarkanlah mereka mengecap pahit getirnya kehidupan, menghormati dan berusaha memahami dengan pandangan mereka."

Setiap orang tidak suka dipaksa dalam keputusan yang kita mampu buat sendiri. Kita menolak paksaan. Bahkan ketika kita menghadapi keputusan yang lebih serius, yang memiliki implikasi moral, adalah penting bagi kita untuk memilih untuk diri kita sendiri. Allah memberi kita hak pilihan dan akan selalu menghormati kebebasan kita untuk membuat pilihan. Walaupun kita "bertanggung jawab" atas pilihan tersebut.

Namun paradigma kaku yang biasa berkembang dimasyarakat tentang ketaatan mutlak seorang anak terhadap orang tua yang membuat anak cenderung takut dan potensinya "disetir" orang tua harus mulai diubah. Karena bagaimanapun keluarga ideal bukanlah suatu pemerintahan yang otoriter namun lebih cocok jika mencerminkan suatu keluarga yang berkarakteristik demokrasi.

Setiap anak dilahirkan ke dunia ini untuk menjadi apa yang dia inginkan. Bukan menjadi apa yang orang lain inginkan. Itulah jati diri yang sesungguhnya tampil sebagai diri sendiri tanpa harus menjadi manusia-manusia palsu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun